Bela Negara Itu Dilaksanakan, Bukan Diajarkan

Bela Negara Itu Dilaksanakan, Bukan Diajarkan 24/08/2020 1204 view Opini Mingguan pixabay.com

Wacana memasukkan bela negara dalam kurikulum pendidikan adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Masih banyak ketidakjelasan baik dari segi konsep ataupun motif pelaksanaannya.

Tapi sebelumnya, perlu dipertegas dulu bahwa bela negara tidak sama dengan wajib militer. Bela negara adalah hak sekaligus kewajiban warga negara yang berlaku dalam segala kondisi. Sedangkan wajib militer sifatnya lebih terbatas dan terkait dengan potensi perang melawan negara lain.

Dengan demikian, bela negara sifatnya melekat pada seseorang sebagai konsekuensi kewarganegaraan. Jadi kalau mengaku sebagai orang Indonesia, harus mau mengemban tugas membela NKRI. Ada beberapa alasan untuk mempertegas hal ini.

Pertama dari segi yuridis. Setidaknya ada dua pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konsep bela negara yaitu pada pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1) dan (2). Kedua pasal tersebut menyebut bela negara sebagai bagian dari hak dan kewajiban warga negara.

Selain itu ada pula UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara dan UU No.3 Tahun 2002. Ketiga Undang-undang ini memuat penjelasan lanjutan tentang dua pasal di UUD tersebut.

Alasan kedua terkait tanggung jawab moral. Dengan menyandang status warga negara, maka berarti seseorang harus mengakui adanya tujuan bersama yang ingin dicapai. Dan negara adalah wadah untuk mencapai tujuan tersebut.

Negara sebagai entitas abstrak tak bisa menjalankan fungsinya tanpa keterlibatan warga negara. Negara yang bertujuan untuk mensejahterakan dan mengamankan warganya, perlu dikawal dan dijaga. Dan itu adalah bagian dari kontrak sosial yang harus dipenuhi oleh tiap warga negara.

Berdasarkan dua alasan ini, maka tiap warga negara memiliki kedudukan yang sama terkait hak dan kewajiban bela negara. Maka permasalahan yang sesungguhnya adalah dalam bentuk apa bela negara itu diwujudkan.

Pada bagian inilah wacana memasukkan bela negara ini dalam kurikulum pendidikan menjadi kurang pas. Karena ketika bela negara menjadi sesuatu yang given maka seharusnya semua orang sudah memahaminya. Tinggal yang perlu menjadi perhatian bagaimana mewujudkan pemahaman itu dalam tindakan.

Berkenaan dengan itu, partisipasi seseorang dalam pembelaan negara tidak bisa diseragamkan. Konsep bela negara menuntut peran warga negara sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Petani, tentara, mahasiswa, presiden atau profesi lainnya memiliki peran berbeda.

Seorang petani tidak bisa dipaksa menerima metode angkat senjata sebagai pembelaan terhadap negara. Dan begitu pula berlaku untuk semua warga negara dengan perannya masing-masing.

Jika negara hadir untuk merangkul latar belakang yang beragam tersebut. Maka negara dan unsur sosial di dalamnya harus menerima keragaman metode pembelaan yang ditawarkan warganya.

Dalam kondisi seperti itu, akan sangat sulit menemukan rumusan umum yang mampu merangkum peran yang berbeda-beda tersebut. Apalagi jika harus mengintegrasikannya dalam kurikulum pendidikan. Bisa-bisa hasilnya muatan kurikulum normatif seperti pelajaran PMP atau PPKn di masa lalu. Hal seperti ini berpotensi menimbulkan penafsiran sepihak yang dipaksakan.

Padahal, perlu dipahami bahwa pembelaan terhadap negara bukan hanya sebagai kewajiban, tapi juga sebagai hak. Oleh karena itu setiap warga negara boleh memiliki interpretasi yang berbeda selama tidak melanggar konsensus bersama tentang tujuan nasional.

Lebih lanjut, yang dibutuhkan dari kurikulum pendidikan saat ini adalah aspek penerapannya. Sekedar menguasai ilmu normatif ketatanegaraan tidak akan mampu memunculkan sosok nasionalis.

Para pejuang kemerdekaan di masa lalu adalah sosok yang sudah terbukti loyalitasnya pada negara ini. Tapi mereka tidak berpatokan pada pasal-pasal dalam aturan formal. Nasionalisme mereka muncul karena adanya kesempatan untuk mengabdikan diri mereka pada tujuan bersama waktu itu yaitu kemerdekaan.

Jalur yang dipilih pun tidak seragam. Ada yang mengangkat senjata, ada yang melalui jalur diplomasi dan lain-lain. Artinya, untuk memupuk jiwa nasionalisme dan semangat bela negara dibutuhkan sesuatu yang lebih aplikatif.

Ironisnya, muatan aplikatif yang termuat dalam kegiatan Bela Negara selama ini terlalu identik dengan pelatihan militer seperti baris berbaris, disiplin ketat dan pembinaan fisik. Padahal aspek aplikatif seperti itu hanya sesuai untuk pembelaan negara dalam konteks wajib militer.

Entah ini merupakan bentuk kegagalan penyelenggara dalam memahami perbedaan substansi bela negara dan wajib militer atau sesuatu yang disengaja. Kalau memang ini pemahaman yang keliru, maka sudah sepantasnya seluruh kebijakan terkait bela negara ini dievaluasi dan dikaji ulang.

Tapi kalau memang ini disengaja, maka patut dipertanyakan motif yang melatarbelakanginya. Dengan alasan apa pengambil kebijakan melaksanakan wajib militer dengan mengatasnamakan bela negara? Sementara kondisi keamanan nasional saat ini tidak dalam ancaman perang.

Jika hal ini diteruskan, maka bisa saja muncul spekulasi bahwa pemerintah atas nama bela negara ingin membangun basis pendukung militan. Atau bisa saja muncul tudingan bahwa pemerintah ingin meredam kelompok yang berpotensi oposisi seperti kalangan mahasiswa.

Intinya, baik secara konsep maupun motivasi belum ada pembenaran yang tepat untuk memasukkan bela negara dalam kurikulum pendidikan.

Karena sekali lagi warga negara seharusnya tak perlu lagi diajari tentang kewajiban bela negara. Yang dibutuhkan justru ruang-ruang aktualisasi yang menjamin kesempatan untuk terlibat sesuai dengan peran masing-masing.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya