Satir Seorang Ibu Muda

PNS BKKBN
Satir Seorang Ibu Muda 19/12/2019 2171 view Budaya pxhere.com

Anda sudah berkeluarga dan punya anak kecil yang masih bayi serta masih menyusu pada ibunya? Jika ya, jangan sering-sering mengajak istri anda dan anak Anda ke mall atau pusat perbelanjaan. Ini bukan persoalan suami pelit dan tak punya uang, namun ini berkaitan dengan kenyamanan hubungan antara anda, istri dan anak anda.

Memang harus kita akui, jalan-jalan ke mall atau pusat perbelanjaan di hari libur sungguh menghibur. Selain suasana yang nyaman karena ruangan berpendingin AC, hal ini juga dikarenakan berada di mall atau pusat-pusat perbelanjaan memudahkan kita untuk membeli sesuatu sambil refreshing.

Banyak kebutuhan harian, mingguan bahkan bulanan bisa kita dapatkan di sana. Bahkan kalau belanjaan sudah penuh kita bisa cari tempat hiburan semacam bioskop atau sekalian juga bisa mencari makan siang bersama teman-teman atau keluarga. Nyaman bukan?

Memang sungguh nyaman jika aktivitas ngemall tersebut tidak mengajak anak kecil yang masih bayi dan masih menyusu pada ibunya. Namun jika kita mengajak si buah hati yang masih kecil untuk ngemall situasi nyaman itu bisa berubah menjadi sangat tak nyaman, terlebih jika si kecil tiba-tiba lapar atau haus dan minta air susu ibunya.

Jika itu terjadi, sudah bisa saya pastikan bahwa anda akan mencari-cari pelayan atau satpam untuk menanyakan tempat yang aman dan nyaman bagi istri anda untuk menyusui anak anda yang masih bayi. Ini bukan persoalan anda dan istri anda tidak bisa membaca petunjuk yang dapat mengarahkan anda ke nursery room yang disediakan pengelola mall atau pusat perbelanjaan, namun lebih disebabkan masih sangat terbatasnya fasilitas umum di mall atau pusat perbelanjaan tersebut dalam memberikan kenyamanan bagi seorang ibu untuk menyusui anaknya.

Pernah suatu ketika penulis bersama istri pergi ke mall dengan si buah hati. Tiba-tiba si kecil merengek karena haus dan harus segera disusui. Saya dan istri pun kemudian mencari nursery room. Cukup lama kami berputar-putar dan bertanya kesana-kemari mengenai nursery room ini.

Akhirnya kami berhasil menemukan ruang menyusui tersebut dan tempatnya sungguh jauh di pojok serta di lantai yang berbeda. Dan mungkin itu adalah satu-satunya nursery room yang ada di kawasan mall tersebut. Kejadian ini bukan hanya di satu mall saja, tapi hampir di semua mall di kota tempat kami tinggal.

Sudah tempatnya jauh, di pojok, tempatya pun sempit dan sungguh tidak representatif. Karena tempatnya sempit, banyak ibu-ibu yang ngantri di luar. Fasilitas yang ada di dalamnya juga sangat terbatas. Kata istri saya fasilitas yang ada di dalam hanyalah beberapa kursi, kotak sampah dan AC. Minimalis bukan?

Setelah beberapa menit antri dan berhasil menyusui anak kami, kami pun singgah ke tempat makan yang ada di mall tersebut. Dan di sinilah saya kena protes istri saya. Persoalannya adalah, ternyata di tempat makan tersebut disediakan ruang khusus bagi perokok.

Istri saya bilang ternyata kalau fasilitas umum untuk kaum laki-laki seperti tempat merokok banyak tersedia bahkan di tempat makan pun ada, namun untuk fasilitas umum bagi kaum ibu dan perempuan seperti ruang menyusui bagi bayi sungguh sangat terbatas dan jika pun ada terasa sangat dipaksakan tempatnya. Padahal banyak pengunjung mall adalah kaum ibu atau perempuan. Dalam hati saya pun bilang bukankah saat ini yang merokok bukan hanya “laki-laki" tapi “perempuan” juga ada?

Sambil menunggu hidangan makan siang datang, saya pun teringat tentang kondisi di kantor kami yang merupakan salah satu kantor pemerintah. Meskipun di kantor kami pegawainya lebih banyak perempuan dari pada laki-laki namun ternyata hingga hari ini belum ada nursery room bagi kaum ibu untuk menyusui anaknya, padahal ada beberapa rekan kantor kami yang memiliki bayi dan masih menyusui. Namun tidak demikian bagi pojok rokok, yaitu sebuah tempat untuk para ahli hisap rokok tersedia di beberapa titik.

Dari beberapa kejadian tersebut, saya pun berpikir. Apakah pengarusutamaan pembangunan berwawasan gender tidak bisa diselaraskan dengan pengarusutamaan pembangunan ekonomi seperti yang terjadi di mall tersebut? Perputaran uang yang tinggi di mall tersebut untuk menggerakkan roda-roda ekonomi pembangunan kenapa tidak bisa diimbangi dengan kelengkapan fasilitas publik terutama untuk kaum ibu khususnya penyediaan ruang nursery room?

Bukan hanya di mall atau tempat perbelanjaan fasilitas nursery room ini terbatas, di ruang publik yang lain seperti terminal, rumah sakit dan lain sebagainya juga kondisinya banyak yang sama. Bahkan di instansi pemerintah sekali pun yang sering mendengung-dengungkan pengarusutamaan pembangunan berwawasan gender juga terasa masih belum optimal atau jauh dari harapan.

Pertanyaan kemudian yang muncul adalah jika hal-hal yang kecil tersebut saja belum secara optimal terpenuhi, bagaimana dengan tuntutan-tuntutan yang lain seperti jika melahirkan maka seorang perempuan bekerja boleh cuti selama 6 bulan dan juga tersedianya fasilitas tempat penitipan anak di dekat atau di tempat kerja sehingga memungkinkan seorang ibu berjumpa dengan anaknya meskipun hanya beberapa saat ketika berada di tempat kerja. Semoga itu semua bisa terwujud dalam waktu yang tak lama lagi. Semoga.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya