Apakah Luka Sejarah Bisa Disembuhkan?

Pengajar STPM St Ursula Ende
Apakah Luka Sejarah Bisa Disembuhkan? 20/10/2023 243 view Budaya Tempo.co

Tahun ini, bangsa Indonesia sudah melewati 58 tahun pasca Peristiwa G30S PKI di tahun 1965. Peristiwa itu menjadi salah satu peristiwa pembantaian manusia yang cukup besar dalam sejarah bangsa bahkan dalam sejarah peradaban dunia. Menurut Komnas HAM korban yang jatuh berada di kisaran 500-3 juta jiwa yang terbunuh antara tahun 1965-1966. Angka ini baru menunjukkan jumlah yang tercatat karena masih ada jumlah yang tidak tercatat karena masih ada versi-versi yang lain.

Mery Kolimon dalam artikelnya berjudul Para Pelaku Mencari Mencari Penyembuhan (Berteologi dengan Narasi Para Pelaku Tragedi 65 di Timor Barat) mengisahkan pengakuan para eksekutor dalam peristiwa itu menulis kesaksian sang eksekutor bahwa para korban disiksa dan dibunuh dengan cara-cara yang tidak hanya menyakitkan tetapi juga berpretensi memalukan. Namun mirisnya, waktu itu para penyiksa itu sendiri tetap melihat diri mereka sebagai pahlawan meskipun di pihak lain, peristiwa ini mendatangkan ingatan yang buruk dan trauma pada diri mereka. (Kolimon, 2015).

Memang sangat tidak manusiawi bahkan tidak terbayangkan oleh akal sehat tindakan yang dibuat oleh para eksekutor. Sangat pantas, jika perbuatan ini meninggalkan kenangan buruk di batin dan pikiran mereka. Jika mereka yang melakukan saja punya kenangan yang begitu buruk, bagaimana luka yang diderita oleh para korban atau keluarga yang menerima kekejian itu? Tentu trauma dan luka batin besar tertinggal di sanubari mereka. Dalam kondisi demikian, apakah luka itu mereka bisa disembuhkan?

Kekerasan Menjadi Tradisi

Berhadapan dengan persoalan ini, Saskia E. Wieringa dalam artikelnya Healing the Nation pada Indonesia Inside, mengulas bagaimana upaya negara pada masa pemerintahan Jokowi di tahun 2014 yang membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM). Ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan yang secara umum memberikan masukan kepada pemerintah untuk menangani dan menanggulangi termasuk membuat upaya pemulihan bagi para korban.

Meskipun demikian, tindakan yang dilakukan negara masih belum maksimal sehingga sampai saat ini, mungkin masih ada deretan eksekutor atau mereka yang melakukan kekejian itu masih terbebas dari konsekuensi atas perbuatannya. Hal ini membuat proses penanggulangan pelanggaran HAM di tahun 1965-66 itu seperti jalan di tempat. Akibat lebih jauh adalah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran tindakan HAM lain akibat masalah pelanggaran HAM sebelumnya tidak ditanggulangi dengan baik (Wieringa, 2023).

Dalam kajian sosial tindakan seperti di atas bisa diletakan dalam perspektif kajian teori sosial yang paling klasik milik Max Weber. Dalam kajiannya Weber melihat bahwa salah satu yang membuat manusia bertindak adalah, selain pertimbangan rasionalitas, rasionalitas instrumental, atau afeksi, terdapat pula pertimbangan tindakan tradisional (Ritzer and Godman, 2003).

Bahwa tradisi atau kebiasaan yang sudah dilakukan bisa menjadi dasar orang atau dorongan individu untuk melakukan tindakan. Berkaitan dengan statement di atas, maka mungkin banyak orang berpikir bahwa tragedi tahun 1965-1966 telah lama berlalu dan menjadi cerita dongeng. Namun jika dilihat lebih jauh, efek masalah yang tidak diselesaikan dengan baik akan dapat berdampak pada anggapan bahwa jika hal seperti ini dilakukan lagi di masa depan pasti penanganannya akan sama.

Dalam artian tidak ada tindakan yang tegas dalam permasalahan yang boleh dibilang sangat lama dapat mengantar pada bahaya yang membuka kemungkinan bagi pihak lain untuk tidak takut melakukan tindakan yang hampir sama. Pendasaran yang pasti adalah orang beranggapan bahwa tradisi di negara ini sudah jelas, tindakan pelanggaran HAM bukan cerita baru dan bukan cerita baru juga bahwa penanganan akan masalah ini tidak serius.

Waktu akan mengikis semua perlakuan yang salah itu. Orang akan melupakan dan pelaku akan bebas. Banyak tragedi pelanggaran HAM lain, seperti kasus Munir, kasus 1998, atau kasus pembunuhan yang melibat aparat keamanan, belum terselesaikan tuntas ataupun menghasilkan hukuman yang tidak setimpal bagi pelaku. Dalam situasi dan tradisi kekerasan seperti ini lagi-lagi patut dipertanyakan, apakah luka para korban tragedi ini bisa disembuhkan?

Menyembuhkan Luka

Menyembuhkan luka batin dan kekecewaan atas tragedi di masa silam, bukanlah perkara yang mudah. Mekanisme hukum Hammurabi, mata ganti mata atau gigi ganti gigi, pun tidak menjanjikan menjadi penawar yang manjur untuk luka yang telah bertahun itu. Namun demikian, itu juga bukan berarti tidak perlu usaha untuk melakukan penanggulangan terhadap situasi ini.

James B. Syah (2011) dalam tulisannya The History of Wound Care pada Journal of the American College of Certified Wound Specialists, menulis bahwa pada orang Yunani Kuno, aspek mengobati luka yang penting adalah kebersihan, di mana mereka akan menggunakan air bersih yang sudah direbus, anggur juga vinegar (cuka) untuk membersihkan luka. Jika proses ini dianalogikan dalam konteks ini maka usaha dan proses untuk menelusuri para korban dan mulai menelusuri para pelaku atau mengurai benang kisut yang memburamkan alur perlu dilakukan. Hal ini bisa diperkuat dengan membersihkan segala stigma terhadap korban ketidakadilan atau keluarga besar korban yang difitnah berafiliasi garakan makar di tahun 1965 itu. Tentunya memberikan sanksi yang setimpal pada para pelaku menjadi hal penting lain yang tidak boleh pula dilewatkan.

Luka memang sulit disembuhkan tetapi perasaan para korban dan keluarganya bahwa masalah ini tidak dibiarkan, ditelusuri secara jelas, pemulihan nama baik dan penjatuhan sanksi baik langsung maupun tidak langsung bagi para pelaku bisa mengobati kekecewaan dan bisa membantu mereka membesarkan hati menerima kenyataan dan bahkan sampai pada level memaafkan. Hal ini kemudian bisa membuat para korban atau keluarga korban bisa menerima setiap kondisi baik yang sudah terjadi dan sedang berlangsung dan mungkin perlahan bisa menyembuhkan lukanya.

Selain itu, langkah preventif lain bagi munculnya luka-luka baru pada tubuh dan jiwa bangsa dan negara ini adalah adanya kesadaran bagi bangsa ini untuk tumbuh menjadi bangsa yang tidak mudah lupa pada tragedi yang telah menulis sejarah. Manusia-manusia baik itu di Indonesia, maupun di tempat-tempat yang lain mesti bertindak lebih waras dan mawas diri sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama di waktu yang akan datang.

Lebih jauh, yang tidak kalah pentingnya adalah generasi sekarang maupun yang akan datang mesti melek sejarah. Perlu ada langkah pelurusan dan pengajaran sejarah di lembaga-lembaga pendidikan termasuk sejarah yang paling kelam sehingga generasi kini dan nanti tidak membiarkan berbagai kemungkinan yang akan memicu kejadian yang sama di masa depan.

Memang sebagaimana kata Soekarno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, tetapi bangsa yang besar juga harus selalu tahu dan menolak lupa pada alur sejarah yang merupakan situasi yang melingkupi dan menciptakan para pahlawan itu. Hal ini penting karena itu adalah basis untuk menulis sejarah-sejarah lain di waktu yang akan datang. Hal itu berarti jika Indonesia hendak tumbuh menjadi bangsa besar maka sejarah yang telah terkubur mesti diangkat untuk dikenang, diselesaikan setiap persoalan dan diambil nilai-nilai nya, sehingga bangsa ini tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya