RUU TNI Dwifungsi ABRI: Mengancam Keberadaan ASN dan Menghancurkan Pilar Demokrasi

RUU TNI Dwifungsi ABRI: Mengancam Keberadaan ASN dan Menghancurkan Pilar Demokrasi 19/03/2025 159 view Politik images.app.goo.gl

RUU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengembalikan konsep dwifungsi Angkatan Bersenjata (ABRI) menjadi salah satu isu kontroversial yang memicu pro dan kontra di masyarakat. Banyak orang khawatir tentang kembalinya peran ganda militer dalam kehidupan sipil. Mereka takut ini akan berdampak pada keberadaan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan demokrasi di Indonesia. Jika RUU ini disetujui, militer akan kembali terlibat dalam urusan politik dan birokrasi, meningkatkan ketegangan di dalam negeri dan mengancam stabilitas demokrasi, gangguan terhadap transparansi dan akuntabilitas, berpotensi menggeser tatanan demokrasi, ancaman terhadap independensi ASN, juga terhadap risiko dominasi militer dalam pengambilan keputusan.

Dwifungsi ABRI, yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru, memberikan militer kekuasaan untuk berperan baik dalam urusan pertahanan maupun dalam sektor sipil. Meskipun pada akhirnya dwifungsi ini dibubarkan setelah Reformasi 1998, konsep ini tetap memiliki daya tarik bagi sebagian pihak yang menganggap bahwa militer dapat memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas negara. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa dominasi militer dalam politik dan birokrasi dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dikelola oleh aparat sipil yang independen dan bebas dari intervensi kekuatan militer.

Seperti yang diketahui, ASN berfungsi sebagai ujung tombak dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari dan merupakan bagian penting dari pilar negara sipil. Dengan penerapan kembali dwifungsi ABRI, ruang bagi ASN untuk berkembang dan berfungsi secara profesional akan semakin terbatas. ASN seharusnya tidak terlibat dalam intervensi politik atau militer, tetapi karena memiliki dua fungsi, profesionalismenya bisa dipertanyakan karena militer dapat terlibat dalam kebijakan birokrasi.

Selain itu, pengembalian dwifungsi ABRI membuat militer semakin mendominasi pemerintahan, menggantikan peran sipil yang seharusnya mengawasi kebijakan negara. Akibatnya, demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah pasca-Reformasi berisiko tergeser karena militer dapat kembali menguasai ruang politik dan administrasi sipil. Ini dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih otoriter dengan sedikit ruang untuk oposisi atau kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Keberadaan ASN yang profesional dan mandiri sangat penting untuk menjamin pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Jika militer kembali mengontrol sektor-sektor sipil, seperti yang diatur dalam dwifungsi ABRI, transparansi pemerintahan akan terganggu. ASN, yang seharusnya mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, pelayanan publik, dan profesionalisme, dapat kehilangan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan aturan saat ini karena tekanan dari pihak militer yang lebih kuat dan berkuasa.

Bukan hanya itu, keterlibatan militer yang berlebihan dalam birokrasi dapat menyebabkan ketidakadilan dan memperburuk hubungan pemerintah-masyarakat. Militer yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga negara, bukan sebagai penguasa dalam pemerintahan, dapat meningkatkan ketegangan antara pemerintah dan rakyatnya. Ketika militer berkuasa, banyak kebijakan dibuat tanpa meminta pendapat rakyat atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, warga tidak puas.

RUU TNI yang mengembalikan dwifungsi Angkatan Bersenjata ini harus dipertimbangkan dengan cermat. Sejauh mana rakyat dan wakil rakyat dapat memastikan bahwa militer tetap melakukan tugas utamanya, menjaga kedaulatan negara, akan memastikan keberlanjutan demokrasi Indonesia. Jika RUU ini disetujui, kita akan memasuki era dominasi militer, yang akan membahayakan kemajuan ASN dan mengancam kebebasan dan hak-hak sipil yang telah kita perjuangkan selama ini.

Dalam hal ini RUU TNI yang berupaya mengembalikan konsep dwifungsi ABRI berpotensi mengancam kestabilan tatanan demokrasi Indonesia dan menggoyahkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan sipil yang telah tercipta sejak Reformasi 1998. Implementasi dwifungsi ini dapat mengintimidasi independensi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang memegang peran krusial dalam menjalankan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dominasi militer dalam ranah politik dan birokrasi berisiko memperburuk relasi antara pemerintah dan masyarakat, menimbulkan ketidakadilan, serta menciptakan ketegangan sosial yang dapat mengarah pada polarisasi. Lebih jauh lagi, kembalinya peran militer dalam struktur pemerintahan dapat membuka jalan menuju sistem otoriter yang membatasi ruang bagi kebebasan sipil dan pengawasan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen negara untuk mengevaluasi dengan cermat implikasi jangka panjang dari RUU ini, guna melindungi kelangsungan demokrasi dan menjaga supremasi sipil yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya