Muktamar KAMMI 2019: Terbukanya Kotak Pandora (Bagian 2)

The Columnist berkomitmen dalam turut mendukung perkembangan gerakan mahasiswa di Indonesia. Oleh sebab itu, menjelang Muktamar KAMMI ke-XI pada 11-15 Desember mendatang di Jawa Timur, The Columnist akan membuka ruang bagi aktivis yang ingin berbagi gagasannya. Dan kali ini, kami merasa beruntung diberi kepercayaan untuk menerbitkan gagasan Adhe Nuansa Wibisono, Ketua Majelis Pertimbangan KAMMI Turki. (Editor-bagian pertama)
Perang Proxy PKS – Gelora di Muktamar KAMMI
Peristiwa penting lainnya yang diperkirakan akan mempengaruhi dinamika internal KAMMI adalah kelahiran Partai Gelora pada awal November 2019. Seperti yang diketahui, kelahiran Partai Gelora ini adalah buntut dari konflik panjang yang mendera PKS. Persaingan antara dua faksi utama dalam PKS, yaitu faksi keadilan dan faksi kesejahteraan, ini berakhir dengan tersingkirnya elite-elite faksi kesejahteraan seperti Anis Matta, Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq dalam posisi-posisi kunci di PKS.
Respon perlawanan awal yang diberikan oleh faksi kesejahteraan adalah dengan mendirikan ormas bernama Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) yang menampung simpatisan dan pendukung Anis Matta. Konflik ini semakin meruncing dengan tindakan sapu bersih yang dilakukan oleh elite faksi keadilan kepada fungsionaris DPW dan DPD PKS di seluruh Indonesia yang dianggap sebagai loyalis Anis Matta.
Dampaknya adalah adanya pergantian struktur besar-besaran pada pengurus DPW/DPD yang dianggap tidak memberikan loyalitas penuh kepada DPP di bawah faksi keadilan. Penggantian sepihak ini lalu direspon dengan pengunduran diri ribuan kader PKS di berbagai daerah dan kemudian mereka menyebrang pindah ke ormas GARBI atau sekarang ke Partai Gelora.
Hal menarik yang perlu dicermati KAMMI dalam konflik ini adalah terpecahnya basis kultural Tarbiyah menjadi dua partai politik, PKS dan Gelora, kemudian juga menyebabkan terpecahnya saluran kanal politik alumni KAMMI yang selama ini hanya terkonsentrasi pada PKS. Perpecahan ini kemudian membagi dua seluruh jaringan sumber daya alumni KAMMI dari tingkatan nasional hingga daerah.
Fenomena itu dapat terlihat dengan jelas di mana saat ini terdapat dua versi kubu alumni KAMMI yaitu Keluarga Alumni KAMMI (KA KAMMI) versi kongres Jakarta di bawah pimpinan Fahri Hamzah dan KA KAMMI versi Bandung yang dipimpin oleh Fitra Arsil. Sampai saat ini pun belum terjadi rekonsiliasi di antara dua badan alumni KAMMI ini.
Kembali kepada muktamar KAMMI. Apakah kelahiran Partai Gelora ini akan berdampak kepada semakin sengitnya persaingan dalam muktamar? Apakah akan terjadi perang proxy antara calon ketua umum yang didukung oleh PKS dan calon lainnya yang didukung oleh Partai Gelora? Sejauh ini belum terlihat kampanye yang massif para calon ketua umum KAMMI. Hanya berseliweran satu dua poster-poster pengenalan para calon dan debat kandidat berskala kecil yang melibatkan beberapa calon ketua.
Pertarungan sebenarnya tentu saja akan terjadi di dalam arena muktamar ketika para calon akan habis-habisan mencari dukungan suara muktamirin perwakilan wilayah dan daerah. Secara langsung kita akan melihat bagaimana dukungan partai politik baik PKS maupun Gelora akan digunakan sebagai salah satu alat legitimasi yang dipakai para calon ketua umum untuk merebut dukungan suara dari muktamirin.
Tumbangnya Patron-klien Tunggal dan Awal Independensi KAMMI
Situasi konflik ini sebenarnya tidak ideal bagi perkembangan independensi gerakan mahasiswa seperti KAMMI. Tetapi jika bisa dimanfaatkan secara tepat, konflik PKS-Gelora ini akan berdampak positif bagi KAMMI. Persaingan dua partai politik Tarbiyah tersebut akan membuka “kotak pandora” patronase tunggal PKS selama ini terhadap KAMMI.
Tentu saja jaringan alumni KAMMI yang berada di Partai Gelora akan melihat KAMMI sebagai potensi sumber daya gerakan yang layak untuk diperebutkan. Persis seperti yang dilakukan oleh PKS sejauh ini.
Kondisi yang dihadapi KAMMI saat ini agak mirip dengan yang dialami HMI pasca pembubaran Masyumi pada tahun 1960. Bedanya adalah HMI kala itu benar-benar mendapatkan peluang independensi penuh dengan hilangnya superordinat Masyumi.
Sedangkan KAMMI saat ini mendapatkan peluang untuk menggeser patronase tunggal PKS. Jika sudah muncul dua alternatif, maka kemunculan alternatif ketiga dan keempat dan seterusnya tinggal menunggu waktu.
Tanpa patronase tunggal, visi politik diaspora KAMMI yang tersebar lintas partai akan segera terwujud. Tidak ada lagi sekat kultural bagi alumni KAMMI untuk berjuang baik melalui partai nasionalis maupun partai agamis ke depannya.
Saya pribadi melihat bentuk independensi politik ini adalah bentuk paling minimal yang penting segera diraih KAMMI. Secara pintar para aktivis KAMMI harus bisa melakukan strategi “mendayung di antara dua batu karang” sembari melakukan ekspansi ke seluruh partai politik yang ada.
Agenda menggeser patronase tunggal inilah yang kemudian menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan oleh muktamirin KAMMI. Jika momok patron politik ini bisa dieliminasi maka cita-cita untuk melihat KAMMI yang lebih independen, lebih plural dan egaliter akan lebih mudah tercapai.
Jika KAMMI sudah mampu merebut independensi politiknya, maka gagasan-gagasan lain yang saat ini sedang berkembang di KAMMI seperti budaya organisasi profesional, kemandirian finansial, dan gerakan impactivist lebih mungkin diwujudkan. Rasa-rasanya mustahil, kalau kita ingin bermimpi terbang tinggi meraih langit tetapi kaki kita masih diikat oleh rantai-rantai oligarki.
Maka dari itu saya berpesan untuk para muktamirin, sahabatku para aktivis KAMMI, inilah saatnya yang tepat untuk memutus rantai tersebut. Lepaskanlah rantainya, maka KAMMI akan terbang tinggi mencapai semua mimpi, cita-cita dan visinya. Selamat bermuktamar!
Artikel Lainnya
-
216116/05/2020
-
40520/01/2024
-
123920/10/2024
-
Undang-Undang Bisnis dan Pengaruhnya Pengoperasian Badan Usaha
45715/06/2023 -
Sinetron Amanah Wali 4 dan Dakwah Memaksa di Televisi
907114/06/2020 -
Influencer Social Responsibility: Aksi Filantropi dan Membidas Hoaks
159417/05/2020