No Buy Challenge Sebagai Jawaban Impulse Buying

Magister Sains Psikologi Universitas Brawijaya
No Buy Challenge Sebagai Jawaban Impulse Buying 13/04/2025 168 view Lainnya tirto.id

Pada era modernisasi, informasi yang mudah diakses dan mengikuti perkembangan, menjadi konsumsi wajib supaya masyarakat tidak kehilangan berita atau dianggap kurang up to date. Media sosial seperti Instagram, tiktok, dan aplikasi serupa lainnya, seringkali menjadi sarana yang sangat mudah diakses untuk mendapatkan informasi yang sedang viral. Sebagai contoh saat ini, kita sering membaca dan mendengar istilah impulse buying atau perilaku masyarakat yang membeli barang / jasa tanpa memikirkan rencana penggunaan di masa depan. Fenomena impulse buying sudah menjadi perhatian masyarakat Indonesia sejak awal 2010, seiring dengan pertumbuhan pesat e-commerce dan meningkatnya penetrasi internet. Fenomena ini menjadi viral terutama pada masa pandemi, dimana aktivitas belanja online menjadi meningkat drastis akibat pembatasan sosial dan perubahan gaya hidup.

Sekitar 15 tahun, masyarakat tanpa sadar menciptakan kebiasaan yang berdampak negatif. Hal ini mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang menilai bahwa memiliki suatu barang dapat menjadi sumber kebahagiaan atau memenuhi derajat / kasta sosial, padahal kenyataannya bersifat sementara dan sering menimbulkan stres akibat tagihan yang menunggu di akhir bulan. Melalui fenomena tersebut, pada awal 2025, muncul sebuah istilah no buy challenge, sebuah tantangan yang mengajak individu untuk menahan diri dari pembelian barang-barang non-esensial selama periode tertentu. Berbagai influencer sudah menerapkan gerakan ini melalui akun media sosial masing-masing dengan menggunakan #NoBuyChallenge. Tantangan ini menawarkan sebuah pendekatan bertahap dalam mengendalikan keinginan impulsif, dengan menetapkan aturan-aturan personal. 

Secara garis besar, no buy challenge mengajak kita untuk memperbaiki cara berpikir tentang kebutuhan dan keinginan. Dengan demikian, tantangan ini tidak hanya bersifat praktis sebagai cara menghemat uang, tetapi juga berperan sebagai intervensi psikologis yang melatih kontrol diri dan berpikir kritis terhadap dorongan konsumtif yang sering muncul secara tiba-tiba. Untuk memahami bagaimana no buy challenge sebagai jawaban dari impulse buying, kita dapat melihat melalui accessibility theory (E. Tory Higgins) dan social cognitive theory (Albert Bandura).

Accessibility Theory menjelaskan seberapa mudah suatu informasi diakses dalam pikiran kita, maka akan sangat mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Menurut teori ini, informasi yang sering kita temui dan yang baru-baru ini diproses akan menjadi dominan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks impulse buying, berbagai bentuk iklan dan pesan promosi yang kita temui setiap hari membentuk sumber informasi yang selalu aktif dalam pikiran. Semakin mudah pesan-pesan tersebut diakses, semakin besar pula kemungkinan kita untuk bereaksi secara impulsif.

Namun, no buy challenge muncul sebagai bentuk perlawanan besar untuk mengubah pikiran kita secara impulsif tersebut. Dengan secara sadar memilih untuk tidak terpapar secara berlebihan pada rangsangan konsumerisme, atau dengan secara aktif menggantinya dengan konten yang mendidik tentang manfaat pengendalian diri dan nilai-nilai minimalisme, informasi baru yang positif dan mendukung dapat menjadi lebih mudah diakses. Misalnya, ketika kita melihat testimoni seseorang yang berhasil menghemat uang melalui tantangan ini, hal tersebut akan mengubah prioritas otak kita. Alih-alih memberikan respon otomatis untuk membeli, pikiran kita mulai mengasosiasikan pembelian impulsif dengan konsekuensi negatif seperti penyesalan finansial atau kecemasan tentang masa depan keuangan.

Proses kognitif ini menjelaskan bagaimana pikiran kita bisa diarahkan untuk memilih perilaku yang lebih adaptif. Dengan mengubah rangsangan yang kita terima, misalnya, mengurangi paparan pada iklan dan menggantinya dengan konten motivasional tentang penghematan, informasi yang mendukung pengendalian diri akan menjadi lebih mudah diakses. Dengan demikian, masyarakat akan lebih cenderung mengambil keputusan yang lebih rasional dan evaluasi mendalam daripada merespon secara otomatis.

Social Cognitive Theory menekankan peran penting observasi dan modeling dalam pembelajaran perilaku. Teori ini berargumen bahwa individu tidak hanya belajar melalui pengalaman langsung, tetapi juga melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain dan konsekuensinya. Dalam konteks no buy challenge, masyarakat termotivasi untuk berpartisipasi karena mereka melihat contoh nyata dari orang-orang yang berhasil menerapkan gaya hidup hemat dan menikmati dampak positifnya.

Melalui media sosial, masyarakat sering melihat kisah-kisah inspiratif tentang mereka yang telah menjalani no buy challenge dengan sukses. Cerita-cerita ini tidak hanya memberikan gambaran tentang manfaat finansial, tetapi juga menyajikan transformasi psikologis, dari kebingungan dan kegelisahan akibat kebiasaan belanja impulsif, menuju kehidupan yang lebih terkendali dan penuh makna. Konsep self-efficacy atau keyakinan diri dalam kemampuan untuk mengubah perilaku, juga menjadi kunci dalam teori ini. Ketika kita melihat bahwa orang lain yang memiliki latar belakang dan tantangan yang serupa berhasil, keyakinan kita untuk melakukan hal yang sama semakin diperkuat.

Sebagai contoh, seorang influencer yang secara rutin membagikan pengalaman no buy challenge, dengan strategi-strategi sederhana untuk menghindari godaan belanja, secara tidak langsung memberikan model perilaku yang dapat diikuti oleh para pengikutnya. Pengalaman mereka yang berhasil menahan diri dari pembelian impulsif menjadi bukti nyata bahwa perubahan perilaku itu mungkin dicapai. Dengan demikian, pengamatan terhadap model-model sukses ini meningkatkan self-efficacy individu, mendorong mereka untuk mencoba menerapkan pendekatan serupa dalam kehidupan sehari-hari. Konsep ini sangat relevan ketika berhadapan dengan dilema impulse buying, di mana seringkali pengetahuan teoritis tentang pengendalian diri tidak cukup tanpa adanya keyakinan bahwa perubahan tersebut benar-benar dapat dicapai.

Ketika kita mengintegrasikan kedua teori psikologi sosial tersebut, gambaran yang muncul adalah sebuah mekanisme psikologis yang saling memperkuat dalam mengatasi perilaku impulse buying. Di satu sisi, accessibility theory menjelaskan bagaimana rangsangan yang mudah diakses dapat mengubah cara berpikir dan keputusan, sehingga individu yang rutin terpapar pada informasi tentang manfaat hidup hemat dan minimalis akan lebih cenderung menolak pembelian impulsif. Di sisi lain, social cognitive theory menawarkan jalur melalui mana individu belajar dari lingkungan sosialnya, mengamati model-model perilaku sukses dan membangun keyakinan diri untuk menolak godaan konsumtif.

Dalam praktiknya, no buy challenge menerapkan kedua prinsip tersebut secara simultan. Misalnya, dengan mengikuti akun-akun media sosial yang secara konsisten menekankan nilai-nilai penghematan dan minimalisme, para peserta tidak hanya mendapatkan informasi yang mendukung pengendalian diri, tetapi juga mendapatkan contoh nyata dari orang-orang yang telah berhasil menjalankan tantangan tersebut (modeling and self-efficacy). Interaksi antara keduanya menciptakan kondisi ideal bagi perubahan perilaku. Pesan-pesan yang mengedukasi tentang pengaruh negatif impulse buying menjadi lebih menonjol dalam pikiran, sementara dukungan sosial dari komunitas yang serupa menambah kekuatan keyakinan diri untuk bertahan terhadap godaan.

Selain itu, integrasi kedua teori tersebut bisa dimanfaatkan untuk merancang strategi yang lebih efektif. Kampanye yang mengkombinasikan penyebaran informasi lewat media digital dengan testimoni, memiliki potensi untuk merubah norma sosial tentang pola konsumsi. Hal ini juga mendorong masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab. Misalnya, program pendidikan keuangan yang mengintegrasikan diskusi tentang dampak impulse buying, di samping menyajikan strategi praktis untuk mengatasi dorongan tersebut melalui tantangan seperti no buy challenge.

Tidak dapat dipungkiri bahwa mengubah perilaku konsumtif bukan hal mudah. Impulse buying telah lama menjadi bagian dari konsumerisme yang dikuasai oleh strategi pemasaran modern. Namun, dengan pendekatan psikologis yang terintegrasi, kita memiliki kerangka kerja untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi pola pikir masyarakat.

Sebagai contoh, Ketika kampanye penghematan uang berhasil menggantikan iklan-iklan yang mendorong pembelian non-esensial, maka informasi yang berkaitan dengan sikap hemat akan lebih mudah diterima masyarakat. Sebaliknya, ketika masyarakat melihat influencer inspiratif yang bahagia dan sukses karena memilih untuk hidup dengan lebih sederhana, hal tersebut tidak hanya memotivasi, tetapi juga mengubah persepsi bahwa kebahagiaan tidak harus selalu diukur dengan tingkat konsumsi.

Disisi lain, peluang untuk mengubah pola pikir secara menyeluruh juga dilakukan melalui platform digital yang memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat. Misalnya, media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan konten edukatif yang menekankan perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, sekaligus memberikan inspirasi melalui kisah sukses nyata. Dengan memanfaatkan kekuatan komunitas daring, pesan-pesan positif tentang hidup minimalis dan hemat bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas, sehingga mengurangi ketergantungan pada model konsumsi impulsif yang selama ini mendominasi.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya