Rezim (Oligarki) yang Selalu Belum, Tak Pernah Sudah

Dugaan kecurangan pemilu masih membuat jagat mayantara gaduh. Belum surut, Presiden Jokowi malah memberikan penganugerahan pangkat istimewa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo.
Kendati Jokowi sendiri menampik anggapan kalau itu bagian dari transaksi politik, namun banyak pengamat masih curiga dan memandangnya sebagai “pelicin relasi interpersonal” kepada sosok yang memenangkan pemilu agar tidak melupakan jasanya. Seolah Jokowi sedang menanam saham agar kepentingannya kelak tidak digeser oleh tarik-ulur parpol—selain dengan ‘menyelundupkan’ putranya di sisi Prabowo.
Melihat rentetan itu, ada kesan bahwa anatomi kekuasaan hari ini tampak ganjil, asimetris, dan memihak kubu penerus jejaring penguasa. Netralitas para pejabat publik, khususnya Presiden Jokowi, diragukan banyak pihak. Ihwal temuan ini banyak tersaji di film “Dirty Vote”. Panorama demikian menamsilkan sebuah upaya ‘gotong royong’ dari para elite untuk mengkonsentrasi kekuasaan dengan sedemikian rupa cara dan taktik. Ini lantas menggumpal dan seolah mempertebal ingatan kita pada sindiran Lord Acton, “Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup.”
Di tahap ini, tidak sedikit warga menilai kecenderungan rezim sekarang memang rakus dan dengan sengaja menulikan telinganya. Isyarat awalnya sudah meletus sejak putusan MK juncto pencalonan anak Jokowi. Segala kritik dan keluhan dari masyarakat dianggap hanyalah pantomim. Bagi penguasa, itu hanyalah pertunjukan bisu. Mereka menyikapinya sebagai mimik hampa tanpa suara. Cukup dilihat, dinikmati, dan karenanya tak perlu direspons serius.
Hukum bisa dibengkokkan, dibonsai sesuai permintaan penguasa. Padahal dalam piramida nilai, di atas hukum masih ada etika, keberadaban, rasa saling percaya (trust) dan tanggung jawab. Kesemua ini yang menghindarkan interaksi dinamis antar individu berujung chaos. Francis Fukuyama bahkan secara implisit meyakini, kalau suatu masyarakat bisa berjalan tertib tanpa aturan hukum, selama kepercayaan dan kesadaran etis itu ada pada masing-masing individu di segala level (Fukuyama, 1995).
Kita belajar banyak soal itu pada masyarakat adat. Dan anasir kepercayaan inilah yang sedang kendor dan memudar hari-hari ini. Sementara demokrasi itu landasannya demi kepentingan publik, orang-orang biasa (demos). Demokrasi artinya sirkulasi elite. Semakin sering berganti, semakin jernih kualitas udara politik. Apabila ada kekuatan yang sedang menyumbat sirkulasi itu, kita berhak curiga: jangan-jangan watak kemaruk sedang menjadi aransemen menonjol dan menjalari sekujur tubuh politik negeri ini.
Wajah Keserakahan
Pepatah Flemish mengabarkan “Dunia adalah setumpuk jerami, dan setiap orang mengambil apa yang dia bisa dapatkan.” Pada abad pertengahan, Hieronymus Bosch menginterpretasikannya lewat lukisan di panel kayu oak. Karya itu berbentuk tiga panel bersambung (triptych) dan dijuduli The Haywain (± 1516).
Panel pertama menyajikan adegan surgawi; adam dan hawa dengan pose melankolik, perbincangan dengan malaikat, lalu mereka menengadah telanjang ke alam atas. Langit masih ramah dan sejuk. Sementara panel terakhir (ketiga), yang tersisa adalah skenario yang chaotic, dystopian, juga nerakawi. Langit sudah bara, gelap dan menciutkan harapan. Yang tersisa hanya katastrofe.
Yang menarik ada pada panel tengah (kedua): aneka sosok rupa tergelar dalam hiruk-pikuk. Segala keanehan, romansa, wujud rupa bangsa hingga raja-jelata silih berebut di panel ini. Ada pembunuhan, pencurian, dan tindih-menindih tampil dalam sengkarut acak. Pusat perhatiannya adalah “setumpuk jerami” yang diperebutkan. Di lukisan ini, siklus manusia terangkum ke dalam trilogi cerita secara masygul tetapi akrab. Lanskap ilustratif itu hadir, bahkan terasa, di kehidupan sehari-hari semua orang. Bahwa manusia dikutuk punya gairah besar untuk memiliki.
Sekarang bayangkan jerami-jerami di lukisan itu adalah hutan seluas Kalimantan, zona terumbu karang pantai dan area laut yang dicemari, jutaan kayu-kayu yang ditebang, bukit-bukit yang dikeruk, desa-desa yang digusur untuk proyek nasional berupa bendungan, bandara, tambang, perkebunan, hingga pariwisata elite.
Ambisi plus rasa tamak punya saham besar dalam semua kasus tersebut. Dorongan psikologi ketamakan membaluri segelintir kartel-elite dan para oligark. Dalam sepak terjang Jokowi sendiri, ia sudah menjalin hubungan dengan para oligark sejak menduduki Walikota Solo dan berhasil membangun kartel partai politik yang kawin-mawin dengan jaringan bisnis swasta dan keluarga (Mietzner, 2023, hal. 198-197). Di sinilah semua titik bengkak kesengkarutan politik dan katastrofe ekologis kita hari ini semakin parah.
Untuk contoh kecilnya, distribusi penguasaan hutan Indonesia saat ini sangat memiriskan. Dari total lahan seluas 42,2 juta hektar, 95,76 persen dikuasai swasta, hanya 4,14 persen milik masyarakat, dan 0,1 persen untuk kepentingan umum (KLHK, 2018). Indonesia bahkan termasuk paling tinggi dalam hal deforestasi di area pertambangan dengan total 1.901 km2 sepanjang periode 2000-2019 (Stefan Giljum, et al., 2022). Itu masih di area pertambangan saja. Belum termasuk lahan perkebunan sawit, megaproyek food-estate, dan pertambangan nikel. Bagaimana hal ini tidak mencerminkan wujud keserakahan yang prominen dan kegagalan untuk menyejahterahkan rakyat?
Hak ekosob (ekologis-sosial-budaya), yang sejatinya melekat pada martabat manusia, justru sering dilanggar di bawah panji-panji pembangunan. Banyak dari kalangan akar rumput yang tersingkir ruang hidupnya, sumber pencariannya, hingga secara ironis mengalami kriminalisasi dan penganiayaan.
Fakta-fakta semacam itu menyandikan suatu wajah yang pelik. Jangan-jangan republik besar ini justru mendapat, atau bahkan memuja, pemimpin berwatak seperti Ba’al Zebub (Beelzebub), salah satu pangeran penjaga neraka dalam mitologi pra-Kristen. Simbol kerakusan yang selalu belum dan tak pernah sudah.
Parahnya, Beelzebub di tanah air ini nyatanya bukan cuma satu orang. Ia gerombolan. Menjelma kartel oligark yang ‘gotong-royong’ mengeruk keuntungan sepuas ego mereka. Jika sudah begitu, rakyat sipil musti pasang kuda-kuda agar tidak semakin terbenam dan membiarkan keserakahan penguasa bekerja semua-maunya.
Artikel Lainnya
-
435002/12/2019
-
114105/04/2020
-
110312/08/2023
-
Relevansi Komunikasi Efektif dalam Meminimalisir Konflik Bisnis Modern
42103/08/2023 -
Menanti Kampus Ramah Lingkungan
26807/08/2024 -
Fortifikasi Pangan Sebagai Solusi Stunting
222111/02/2021