Covid-19 : Elegi dan Luka Religi?

Mahasiswa
Covid-19 : Elegi dan Luka Religi? 05/04/2020 1141 view Lainnya pixabay.com

"Di balik setiap keburukan yang kita dengar selalu tersembunyi kebaikan, seolah mau memperlihatkan bahwa setiap bencana adalah blessing in disguise kalau saja kita mampu menerima dan menggali maknanya. "

Hidup dalam suatu rentang waktu yang diwarnai oleh peristiwa-peristiwa menyejarah pada kenyataannya menghadirkan dua opsi batin bagi manusia yang mengalaminya.

Ada orang yang bangga menikmati setiap peristiwa yang terjadi, bahkan berharap peristiwa itu terus dialaminya agar ia ikut tercatat dalam sejarah, lantas mengutuk keadaan ketika peristiwa itu berakhir. Tak sedikit pula orang yang mengutuk waktu yang dialaminya, bahkan mengutuk dirinya sendiri lantaran terlahir dalam suatu dunia yang dipenuhi tragedi, lantas bersyukur ketika tragedi itu berlalu.

Saya teringat dengan sebuah tulisan tentang waktu yang sering dipersepsikan manusia. Bunyinya demikian, “waktu adalah terlalu lambat bagi yang menunggu. Terlalu cepat bagi yang merasa ketakutan. Terlalu lama bagi yang menderita dan terlalu pendek bagi yang sedang berbahagia”.

Barangkali, konsep yang berbeda-beda itulah yang turut membentuk sikap manusia dalam menghadapi suatu peristiwa waktu yang sama. Ada manusia yang ingin sesegera mungkin menemukan apa yang dicarinya, tetapi kalah dalam bersabar, ada yang sukar merasa puas dengan apa yang telah didapatkannya, sampai akhirnya kurang bersyukur atas kepenuhan hidupnya.

Tidak sedikit orang yang terlampau kehilangan harapan, hingga akhirnya marah atas hidup dan kalah oleh takdirnya. Ada yang terlampau egois, sampai akhirnya tidak lagi bersolider dengan mereka yang barangkali hidupnya tidak seberuntung dirinya. Suatu situasi yang kita hidupi, sebab pada hakikatnya manusia tidak pernah puas dengan apa yang ada pada dirinya. Itulah manusia. Kalau ada yang senantiasa puas, percayalah, dia bukan manusia!

Perlu disadari, sebesar apapun perbedaan bentuk konsep kita, satu kenyataan yang mesti dipikul bersama adalah bahwa kita tidak bisa terhindar dari suatu kenyataan sejarah yang sama. Konsep yang kita bangun tidak serta-merta meloloskan kita dari tragedi. Konsep yang kita bangun lahir atas keyakinan intuisi yang pertama-tama memberikan penghiburan bagi hati yang di ambang kehilangan asa. Di sinilah kegunaan filsafat.

Filsafat tidak secara praktis membuat bangunan fisik segera tertata, tetapi dengan filsafat, mental dan karakter seseorang dapat dibentuk. Konsep lahir supaya kita tidak kehilangan harapan dan lebih luas memandang kehidupan. “Bukankah manusia tidak dapat menghargai puncak-puncak kehidupannya tanpa pernah mengalami pula jurang-jurangnya?”, demikian kata Richard Nixon sesaat setelah dirinya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden AS.

Tidak sedikit orang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika diperhadapkan pada situasi semacam ini. Ada orang yang kemudian memilih untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan dan bahkan ada yang lari dari pada-Nya. “Di manakah Tuhan?” Pertanyaan klasik yang sering dilontarkan dari zaman ke zaman ketika manusia merasa ditinggalkan.

Pertanyaan klasik yang sejauh ini memiliki satu jawaban (klasik) pula yang mau tidak mau manusia harus merasa puas dengan jawaban itu, “Tuhan turut hadir dalam penderitaan kita”. Sebuah kalimat yang juga memunculkan perbedaan tafsir dari dua golongan manusia, yang pesimis dan yang optimis. Yang pesimis bisa jadi menganggap Tuhan jahat, lantaran telah membiarkan diri-Nya dan umat-Nya berlarut dalam ketiadaan harapan. Yang optimis memiliki pandangan lain. Kebaikan Tuhan justru semakin dialami pada saat-saat seperti ini.

Alih-alih menghindar dari penderitaan, penderitaan sepertinya tidak ada, lantaran penderitaan hanya sebuah konsep yang dibangun oleh manusia yang berbeda pemahaman, manusia yang sering memperdebatkan sesuatu. Tidak ada derita yang secara serentak dan pada waktu yang sama menghampiri semua manusia. Rupanya baik dan buruk hanyalah dua pandangan yang berbeda terhadap satu kenyataan yang sama. Lalu, tragedikah yang tengah kita alami saat ini? Tragedi corona?

Seseorang pernah bertanya, apa hal pertama-tama yang seringkali ditampilkan dalam film ketika tokoh-tokohnya berada dalam titik enggan untuk bergerak dan berjuang (terlepas dari skenario yang mengharuskannya bertindak demikian)? Umumnya, yang ditampilkan adalah meniadakan interaksi dengan yang lain.

Secara psikologis, sang sutradara film sepertinya sangat mengerti dengan hal-hal kejiwaan. Bahwa dalam kesendirian terkadang kedamaian lebih leluasa menyapa dari pada dalam hiruk-pikuk massa yang memekikkan telinga. Bahwa dalam kesempatan tertentu, ketenangan batin seseorang lebih dihargai ketika ia berselancar dalam dirinya sendiri.

Kita biasanya menalar dialog batin yang sedang terjalin di antara pemeran film. Selain dialog dengan dirinya sendiri, sebetulnya ada dialog lain, yang lebih intens terjalin di sana yakni dialog dengan yang transenden, dengan Yang Ilahi, dengan yang melampaui batas kewajaran dan cara berpikir manusia.

Dalam kerisauan hidupnya, manusia senantiasa membutuhkan Tuhannya, menyapa dan disapa-Nya. Memang agaknya manusia kurang adil, bahwa ia menempatkan Dia hanya ketika manusia di ambang kedunguan berpikir dan keengganan bertindaknya. Itulah manusia! Yang tidak setiap saat mengingat Dia. Itulah kita!

Kerisauan manusia saat ini bertambah tatkala diumumkannya penutupan untuk sementara waktu pintu-pintu gedung keagamaan dan kuil-kuil penyembahan.

Mari kita bijak berpikir! Penutupan pintu bangunan keagamaan tidak berarti menutup keberimanan kita dan banyak orang di luar sana. Bahwa kuil-kuil penyembahan bukan satu-satunya gelanggang penghayatan iman dan bukan satu-satunya tempat menjumpai yang ilahi. Di balik bayang-bayang itu senantiasa tersembunyi terang yang sedikit terhalang, yang kekuatannya melebihi kegelapan kecil yang coba menutupinya! Nirvana bersembunyi di balik Samsara, penyelenggaraan ilahi tersembunyi di balik nasib yang sering tidak kita mengerti.

Di balik setiap keburukan yang kita dengar selalu tersembunyi kebaikan, seolah-olah mau memperlihatkan bahwa setiap bencana adalah blessing in disguise kalau saja kita mampu menerima dan menggali maknanya; mengubah harapan menjadi kepastian, mengubah ketakutan menjadi keberanian dan selalu berbahagia serta selalu mencintai dalam setiap situasi hidup yang kita alami. Sebab, bagi yang mencinta, waktu itu tidak keterlaluan! Corona, blessing in disguise, rahmat yang tersembunyi. Corona, o felix culpa, kekeliruan yang membahagiakan!.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya