Revolusi Rumania, Sukatani Punk, dan Manifesto Seni Perlawanan

Revolusi Rumania, Sukatani Punk, dan Manifesto Seni Perlawanan 22/02/2025 266 view Budaya dugtrax.bandcamp.com

Nicolae Ceausescu, Si Tangan Besi yang menjadi presiden Rumania sejak tahun 1974, terlalu mapan dan percaya diri atas dukungan penuh dari koalisi politik Partai Komunis Rumania (PCR), tentara, dan media massa. Dia merasa sangat kuat, hingga mengubahnya menjadi diktator yang amat angkuh. Ia sangat represif terhadap kebebasan berekspresi, termasuk dalam berkesenian. Pemerintah hampir mengontrol semua aspek budaya dan musik, terutama rock dan punk yang dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi komunis. Musik yang dianggap "subversif" dilarang, dan musisi yang mencoba mengekspresikan kritik terhadap rezim menghadapi risiko dibredel karyanya dengan ancaman kriminalisasi.

Namun, meskipun ada pembatasan ketat, kaum muda Rumania menemukan cara untuk mengakses musik terlarang. Siaran radio dari luar negeri, seperti Radio Free Europe, menjadi sumber penting untuk mendengarkan musik dan segala informasi yang dijegal. Rekaman kaset bootleg dari band-band Barat seperti The Beatles, Pink Floyd, The Rolling Stones, dan Bob Dylan ramai diedarkan secara diam-diam, serta deretan konser bawah tanah yang diadakan di tempat-tempat tersembunyi. Kaum muda Rumania adalah mereka yang tumbuh dalam lingkungan otoriter, merasa terus digonjang-ganjing dengan kebijakan politik maupun ekonomi yang mendikte arus kebudayaan dan kesenian.

Pada tahun 1989, ketika situasi semakin penuh dengan teror, rakyat sipil bergerak, termasuk kaum muda. Di tengah lautan para demonstran, lagu-lagu seperti “Deșteaptă-te, române!” (“Bangunlah, orang Rumania!”) dan “Cântecul celor care nu mor” (“Lagu Mereka yang Tidak Mati”) dinyanyikan untuk menghadapi mesiu tantara dan anjing-anjing yang terlatih membunuh. Selang beberapa hari saja Ceausescu ditangkap dalam pelarian, diadili secara darurat dan ditembak mati bersama isterinya. Revolusi itu berlangsung cepat dan bertindak sebagai mesin perubahan.

Wajah Demokrasi Indonesia

Februari 2025, Indonesia diambang Orwellian State. Sebuah keadaan yang digambarkan oleh George Orwell dalam karangan fiksinya yang berjudul Nineteen Eighty-Four (1984). Di mana rakyat selalu diawasi dalam berkarya dan berekspresi. Sementara, para pemimpin politik bebas mengontrol dan memberi kebijakan yang terus memperbodoh rakyatnya sendiri. Tahun-tahun yang diwarnai oleh segala ketersinggungan dan anti kritik.

Belakangan, masyarakat justru sering dihadapkan dengan ketidakpastian bentuk demokrasi. Di dalam demokrasi, pemerintah seharusnya menciptakan ruang kepada masyarakat untuk merespon realitas sosial yang ada. Namun, nyatanya kritik dan respon tampak diabaikan, dan berujung pada pembungkaman kebebasan berekspresi.

Di awali dengan tragedi pembredelan pameran lukisan tunggal Yos Suprapto, penjegalan pentas teater kelompok Teater Payung Hitam, dan baru-baru ini pembungkaman karya lagu “Bayar Bayar Bayar” Sukatani Punk adalah beberapa bukti nyata atas pencederaan asas demokrasi itu sendiri.

Kekuasaan cenderung konservatif dalam memandang arah kesenian, gagal melihat kesenian sebagai sebuah pembacaan atas fenomena perubahan yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan demikian, argumen Baruch de Spinoza bukanlah suatu argumentasi yang naif, filsuf asal Belanda ini mengatakan “Paradoks negara adalah saat ia menetapkan hukum, tidak ada yang membuatnya terikat secara melekat kepadanya”. Indonesia yang menggandrungkan demokrasi, Indonesia pula yang menggerus sistem demokrasi itu sendiri.

Sangat menyedihkan jika seni harus berjuang panjang dalam ketegangan antara retorika kekuasaan yang bisa menjadi absolut atau sekedar basa-basi demokrasi dan tipu muslihat. Ketika berkesenian mulai dicurigai, dinegatifkan atau mendapatkan stigma, maka lantai demokrasi mulai retak. Sepanjang demokrasi cacat dan kekuasaan berjalan membelakangi jalan rakyat, sepanjang itulah kesenian harus menghadapi rambu-rambu yang tercipta dari kepentingan kekuasan dan nilai-nilai yang picik.

Sukatani Punk dan Manifesto Seni Perlawanan

Agaknya realitas masyarakat berhasil didialogkan oleh karya Sukatani Punk. Sebuah balutan estetika yang berpadu dengan realitas publik dapat dijadikan sebagai sarana “diary” untuk mengadu terhadap fenomena yang dirasa tidak adil. Dari sini, ada sebuah proses dialektik yang hidup, antara lagu yang diciptakan oleh band post-punk satu ini dan kehadiran sosial yang tampil di hadapan publik, antara keberhasilan dan kegagalan ekonomi, maupun antara kemajuan dan kemunduran politik. Sukatani Punk barangkali menyadari bahwa ruang publik adalah teks dan konteks itu sendiri. Jika seniman membawa teks dari luar, artinya berbohong pada realitas, maka teks itu akan mengalami agresi dari ruang publik.

Maka, dalam hal ini saya sepakat terhadap estetika Marxis. Suatu teori estetika yang diturunkan dari teori-teori Karl Marx. Teori ini merumuskan bahwa “Seni harus berada pada kepentingan rakyat, dan seniman harus semangat membaur dengan rakyat”. Dengan begitu, seni mampu mengekspresikan kehendak inovatif untuk sebuah perubahan yang progresif melalui pengalaman estetis.

Tujuan negara seharusnya apa yang seperti dikatakan Spinoza. Dalam Tractarus, ia mengatakan “Tujuan negara bukanlah untuk menguasai manusia agar tetap hidup dalam ketakutan, melainkan membebaskan individu dari ketakutan itu, supaya ia sedapat mungkin hidup dalam rasa aman”. Ya, Pemerintah seharusnya mengapresiasi akan kekreativitasan kritik, bukan malah mengeksploitasi terhadap para seniman. 

Pada akhirnya, seni perlawanan mendapatkan panggung sebagai ekspresi keadaan sosial, politik, maupun keyakinan. Jika negara terus melakukan pembredelan atas hal ini, maka konflik berdarah seperti di Rumania adalah salah satu contohnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya