Revitalisasi Militer di Ranah Sipil

Warga Sipil
Revitalisasi Militer di Ranah Sipil 19/03/2025 168 view Politik Kompas

Publik dikagetkan dengan penggerebekan yang dilakukan oleh aktivis KontraS terhadap rapat anggota DPR. Penggerebekan ini terjadi karena DPR secara tertutup tengah membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di sebuah hotel mewah di Jakarta. Pembahasan ini seolah telah disiapkan sedemikian rupa agar tidak diketahui oleh publik luas, tetapi akhirnya terbongkar oleh para aktivis yang mengawasi isu-isu terkait revisi undang-undang TNI. Pelaksanaan yang semestinya dilakukan dengan seksama dan rahasia (dalam bayangan DPR) malah berakhir dalam kekacauan dan akhirnya menjadi konsumsi publik.

Di tengah menguatnya kecurigaan publik terhadap revisi UU TNI yang dianggap berpotensi mengembalikan sistem dwifungsi tentara seperti pada era Orde Baru, DPR tertangkap basah membahasnya secara diam-diam di hotel mewah. Tindakan ini menambah rasa curiga publik yang semakin mendalam. Sebagai representasi rakyat, seharusnya DPR bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat, bukan malah berfungsi sebagai alat dari kepentingan pemerintah. Di sinilah DPR seolah melanggar prinsip konstitutif dan demokrasi yang seharusnya berpihak kepada rakyat.

Pembahasan yang berlangsung secara tertutup tanpa akses publik seperti yang terjadi dalam pertemuan ini, semakin menambah rasa curiga. Tidak ada siaran langsung atau live streaming, sebagaimana biasanya dilakukan dalam sidang-sidang penting. Padahal, sebagai lembaga yang memiliki kewajiban untuk transparan dan akuntabel, DPR seharusnya tidak bersembunyi di balik dinding hotel mewah yang tidak bisa diakses publik, melainkan melakukan pembahasan secara terbuka di ruang parlemen yang sah, di dalam gedung DPR. Lantas muncul pertanyaan, apa yang hendak dikejar dalam rapat itu? Untuk siapa sebenarnya pembahasan tersebut dilakukan? Sejauh mana kepentingan publik didahulukan dalam pembahasan tersebut?

Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Baru, tentara mendapatkan kedudukan istimewa melalui konsep "dwifungsi" yang tidak hanya mencakup fungsi militer, tetapi juga peran dalam sosial dan politik. Namun setelah reformasi, masyarakat sipil berjuang untuk mencabut dwifungsi tersebut dengan tujuan untuk membatasi pengaruh tentara dalam kehidupan sipil dan memulihkan kembali peran mereka sebagai kekuatan militer yang netral.

Beberapa agenda besar yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo menunjukkan kecenderungan untuk melibatkan tentara aktif dalam urusan sipil. Misalnya, penambahan Kodam untuk setiap provinsi yang meningkatkan postur anggaran dan mengarah pada tumpang tindih tugas dengan polisi (juga keterlibatan dalam politik lokal). Personel militer aktif juga mengisi posisi pemerintahan seperti Dirut Bulog dan beberapa kementrian lain. Termasuk dalam hal ini adalah Mayor Teddy (yang sekarang sudah naik pangkat Letkol), seorang tentara aktif yang menjadi Menteri Sekretaris Kabinet. Kemudian Makan Bergizi Gratis (MBG), yang melibatkan tentara secara masif. Semua ini menunjukkan arah kebijakan yang semakin melibatkan militer dalam ranah sipil, yang mengingatkan kita pada masa Orde Baru yang otoriter. Otoriter berarti kontrol total, menghendaki kepatuhan total sipil, anti kritik, sekaligus mengukuhkan rezim pembangunanisme yang absolut. Kontrol militer di atas kontrol sipil, bukan sebaliknya.

Pengabaian rezim hari ini atas kritik publik atas revisi UU TNI dan kritik terhadap berbagai kebijakan publik menandakan bahwa negara ini tengah mengarah pada Leviathan. Hobbes menggambarkan Leviathan sebagai simbol dari negara yang memiliki kekuasaan absolut untuk menjaga ketertiban dan mencegah kekacauan. Dalam konsep ini, negara atau penguasa memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan secara sepihak, tanpa perlu terikat oleh banyak pertimbangan atau kritikan dari pihak lain. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari apa yang Hobbes sebut sebagai keadaan alami, yaitu keadaan anarki dan kekacauan yang bisa timbul akibat perbedaan pendapat dan ketidakstabilan politik. Padahal, perbedaan pendapat adalah nutrisi yang baik untuk demokrasi. Sebab politik tidak hanya tentang konsensus (kesepakatan) yang sering luput melihat dan menghitung sesuatu, akan tetapi dissensus (perselisihan) sebagai bentuk koreksi publik, sebagaimana dipahami Jacques Ranciere.

Di sisi lain, Carl Schmitt (pemikirannya sering di kritik) berpendapat bahwa negara harus memiliki kekuasaan untuk memutuskan keadaan darurat, yang sering kali mengarah pada pengabaian hukum yang sah. Negara menurut Schmitt harus memiliki otoritas untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak sah dalam kondisi normal, namun sangat diperlukan untuk mempertahankan eksistensi negara, dalam hal ini kebijakan-kebijakan. Konsep Schmitt tentang pemerintahan yang kuat ini sangat relevan dengan situasi saat ini, di mana pemerintah, dalam hal ini yang melibatkan militer aktif dalam sektor sipil, memperlihatkan kecenderungan menuju pemerintahan yang lebih otoriter. Melalui keputusan-keputusan yang seolah-olah diambil demi kestabilan beserta kebijakan negara (dengan melibatkan personel militer aktif), pemerintah melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan individu, seperti yang terlihat dalam revisi UU TNI yang diam-diam dibahas di hotel mewah, jauh dari transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya dimiliki oleh lembaga legislatif.

Keterlibatan tentara aktif dalam urusan sipil, revisi UU TNI secara diam-diam dan berkurangnya transparansi dalam pembahasan undang-undang ini sekaligus menandakan krisis demokrasi. Kekuasaan mengabaikan kebebasan sipil dan hak publik untuk mengetahui proses-proses politik, sebuah pola yang sangat mirip dengan rezim otoriter yang melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi. Secara spesifik, penguatan posisi militer dalam ranah sipil melalui revisi UU TNI bukan hanya berisiko mengembalikan dominasi tentara dalam kehidupan politik, tetapi juga sebagai penanda bahwa negara sedang bergerak menuju konsolidasi kekuasaan yang lebih sentral dan otoriter, yang berpotensi besar merusak pondasi negara demokratis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya