Sudah Jatuh Terdampak Corona, Tertimpa PP Tapera Pula

Pegiat FKMJ (Forum Kolumnis Muda Jogja)
Sudah Jatuh Terdampak Corona, Tertimpa PP Tapera Pula 07/06/2020 1161 view Opini Mingguan medanterkini.com

Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2020. Berdasarkan PP tersebut, pekerja akan melakukan penyimpanan secara periodik dalam jangka waktu tertentu untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir. Peserta Tapera adalah pekerja dan pekerja mandiri dengan besaran simpanan 3% dari gaji.

Tapera merupakan kebijakan pemerintah untuk mendorong pemenuhan kebutuhan papan bagi pekerja dengan sistem upah didasari UU No. 4 Tahun 2016 dan untuk memenuhi kewajiban konstitusional sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Pemerintah mengklaim PP tersebut merupakan upaya untuk membentuk sistem yang memberi mekanisme kemudahan dan perlindungan bagi para pekerja, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, untuk memenuhi kebutuhan papan.

Tapera menjamin pemenuhan rumah lebih mudah tanpa persyaratan rumit. Selain itu, Tapera melandaskan mekanisme pada tanggung jawab pemberi pekerjaan untuk membantu proses. Aturan juga memuat aspek perlindungan. Peserta diberikan nomor identitas yang berfungsi sebagai bukti kepesertaan, pencatatan administrasi, simpanan, dan akses informasi Tapera. Perlindungan juga memberi jaminan atas hak-hak peserta Tapera.

PP mewajibkan pemberi kerja mendaftarkan para pekerja sebagai peserta Tapera. Bagi ASN, program Tapera bukanlan hal baru dan tidak menjadi permasalahan serius secara kemampuan. Namun, kritik keras dan keberatan datang dari sektor swasta. Sektor ini terkena dampak berat selama pandemi corona, sehingga kewajiban Tapera semakin membebani dan dikhawatirkan akan menganggu pemulihan ekonomi.

Daftar Panjang Potongan

Kewajiban Tapera menambah daftar panjang beban potongan pekerja pada setiap bulannya. Penambahan potongan Tapera berpotensi memberi dampak negatif ekonomi baik bagi pekerja maupun pengusaha, apalagi saat terpuruk akibat pandemi corona.

Beberapa potongan sudah sering dikenakan dalam perhitungan gaji karyawan atau pegawai setiap bulannya. Pertama adalah Pajak Penghasilan (PPh 21). Pajak penghasilan (PPh 21) dikenakan kepada karyawan langsung atau pihak perusahaan dengan penghasilan yang diterima selama satu tahun. Namun, berdasarkan aturan PTKP 2016, PPh21 ini dikenakan kepada karyawan dengan gaji di atas Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Jadi untuk gaji di bawah itu, tidak akan dipotong.

Pemotongan PPh 21 dilakukan langsung dari gaji dan dibayar setiap tahun sekali, biasanya pada awal tahun. Bagi karyawan yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tarif PPh 21 yang dikenakan sebesar 5% untuk wajib pajak (WP) yang memiliki penghasilan tahunan hingga Rp 50 juta. Sementara penghasilan Rp 50 juta-Rp 250 juta dikenakan tarif 15%.

WP dengan penghasilan Rp 250 juta-Rp 500 juta dikenakan tarif 25% dan penghasilan lebih dari Rp. 500 juta setahun dikenakan tarif 30%. Sementara bagi WP yang tak memiliki NPWP akan dikenakan tarif 20% lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki NPWP.

Kedua adalah BPJS Kesehatan. Pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan di Indonesia untuk mendaftarkan para karyawannya sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Perusahaan yang akan membayarkan iuran BPJS dengan langsung memotong gaji bulanan. Jumlah iurannya adalah 5% dari gaji per bulan, yang mana 4% dibayar oleh perusahaan dan 1% dibayar oleh karyawan. Penghitungan ini telah didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan kesehatan. Sebagai contoh, karyawan menerima gaji sebesar Rp 3.000.000, maka ia harus membayar iuran BPJS sebesar Rp 30.000.

Ketiga adalah jaminan pensiun. Potongan jaminan pensiun pada slip gaji bisa juga disebut dengan BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK), yang akan membantu Anda untuk menyiapkan dana pensiun sejak dini. Besar potongannya adalah 3%, yang mana perusahaan akan menanggung 2% bagiannya dan 1% sisanya dibayar oleh karyawan. Nantinya Jaminan Pensiun diterima setiap bulan oleh karyawan yang sudah memasuki usia pensiun dan memenuhi syarat.

Keempat, jaminan hari tua (JHT). JHT merupakan tabungan dari pendapatan selama Anda aktif bekerja yang sebagian disisihkan sebagai bekal memasuki hari tua. Sedangkan, Jaminan Pensiun adalah pendapatan bulanan untuk memastikan dasar yang layak bagi Anda ketika memasuki hari tua sesuai besaran pendapatan Anda.

Jika Jaminan Pensiun memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi karyawan ketika nanti memasuki usia pensiun, Jaminan Hari Tua merupakan tabungan yang dapat diambil sekaligus saat kondisi karyawan sudah memenuhi ketentuan pencairan JHT, yaitu: memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau cacat tetap. Jumlah iuran JHT per bulannya adalah 5,7%, yang mana 3,7% dibayar oleh perusahaan dan 2% dibayar oleh karyawan.

Kelima adalah jaminan atau asuransi Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Potongan program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Jumlah potongannya relatif kecil, yakni 0,24% untuk JKK dan 0,3% untuk JKM dari total gaji Anda. Dana dari dua jaminan ini bisa langsung dicairkan jika Anda mengalami kecelakaan dan kematian yang terjadi di tempat kerja.

Keenam, potongan lain-lain. Setiap perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda-beda terkait potongan ini. Potongan lain-lain ini bisa berupa potongan kehadiran, yaitu gaji dipotong bila karyawan tidak masuk kerja tanpa keterangan yang jelas atau telat hadir atau cepat pulang. Besarannya pun tergantung kebijakan masing-masing perusahaan. Ada juga potongan koperasi. Potongan koperasi dibuat untuk karyawan yang membutuhkan pinjaman ke koperasi kantor. Pemotongan ini akan diberlakukan sampai karyawan melunasi utangnya. Selanjutnya kadang ada potongan iuran sosial, arisan, dan lainnya.

Catatan Kritis

PP Tapera memang sudah menjadi keniscayaan karena amanat turunan dari UU Nomor 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tujuan yang hendak dicapai pun sebenarnya baik. Namun momentum penerbitannya dipandang banyak kalangan tidak tepat. Kondisi saat ini akibat pandemi corona adalah situasi sangat berat secara ekonomi bagi pengusaha maupun pekerja.

Pengusaha saat ini cash flow-nya sudah sangat berat bahkan ada yang berhenti usaha sejak tiga bulan lalu. Saat ini banyak pula pekerja terkena PHK dan dirumahkan. Sedangkan dari sisi pekerja yang masih aktif, kebijakan tersebut memberatkan karena banyak yang saat ini hanya menerima gaji pokok tanpa ada tunjangan lain bahkan ada yang terpaksa tidak menerima gaji pokok secara penuh. Hal itu terjadi akibat ketidakmampuan pengusaha.

Kebijakan Tapera jelas akan memberatkan pengusaha dan pekerja, karena dalam PP disebutkan besaran iuran Tapera 3 persen. Komposisinya 2,5 persen dipotong dari gaji pekerja dan 0,5 persen ditanggung pengusaha.

Berbagai kalangan profesi maupun pengusaha sebelum terbitnya PP Tapera sudah mengajukan banyak keringanan atau penundaan pembayaran tagihan. Antara lain BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, berbagai pajak, listrik PLN dan lainnya. Dengan demikian, pelaksanaan PP Tapera diprediksikan akan tidak optimal jika dipaksakan.

Pemerintah penting mengevaluasi pemberlakuan dari PP Tapera sampai kondisi ekonomi membaik. Indikatornya adalah stabilitas ekonomi makro, cash flow perusahaan memungkinkan dan pendapatan pekerja juga normal. Bahkan evaluasi komprehensif atas program Tapera yang dilakukan kepada ASN selama ini mesti dilakukan.

Penerapan PP Tapera akan lebih bijak jika ditunda sementara. Jika dipaksakan, maka hasil kontraproduktif siap ditanggung pemerintah, seperti tidak maksimalnya program, kesan pemerintah tidak peka terhadap kondisi dan lainnya. Banyak pihak menuntut PP Tapera dicabut untuk sementara waktu dan diterbitkan kembali pada waktu yang tepat.

Alih-alih mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif, pemerintah mestinya mengeluarkan kebijakan pro bisnis dan pro dunia usaha. Misalnya stimulus dan relaksasi yang cepat dan tepat dalam rangka menggairahkan kembali ekonomi.

Jika pemerintah bersikeras menerapkan segera, maka justru menimbulkan banyak kecurigaan publik. Pemerintah dinilai hanya akan memanfaatkan bunga dana Tapera untuk menambah penguatan fiskalnya. Hal ini tentu menjadi preseden buruk, karena pemerintah dinilai nirkreasi dalam kebijakan ekonominya. Pemerintah juga justru menunjukkan tidak memiliki narasi ampuh guna menghadapi pemulihan ekonomi di era new normal.

Publik dan pengusaha dapat melakukan langkah hukum jika pemerintah tidak bersedia mencabut atau menunda penerapan PP Tapera. Gugatan ke PTUN dapat dilayangkan. Dukungan dan simpati publik diyakini akan mengalir. Publik sudah jatuh terdampak pandemi corona, jangan justru tambah ditimpa tangga PP Tapera ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya