Suara Netizen Indonesia

Suara Netizen Indonesia 08/03/2021 1526 view Opini Mingguan www.dara.co.id

Perseteruan antara Dayana, selebgram asal Kazakhstan dengan Youtuber Fiki Naki asal Indonesia berawal dari kesalahpahaman yang mengakibatkan Dayana sempat di-unfollow oleh banyak pengikut dari Indonesia. Jika awalnya ia memiliki 2,2 juta followers, kini tersisa 1,7 juta followers, bahkan lebih rendah lagi. Live count streaming yang menampilkan jumlah followers Dayana dan Fiki Naki secara real-time juga banyak tersiar di YouTube. Demikianlah jika netizen warga +62 telah bertindak, kenyataan menjadi sulit untuk dihadapi.

Peristiwa Dayana – Fiki Naki terjadi di bulan Februari 2021 yang lalu. Dan di awal Maret, Digital Civility Index (DCI) merilis laporan terbaru yang menyebutkan bahwa warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara dalam hal tingkat kesopanan berinternet. Tentunya hasil laporan ini tidak serta merta dikeluarkan tanpa melakukan survei yang dapat dipertanggung jawabkan. Dampak dari survei tersebut, netizen Indonesia kembali berkomentar dan mengakibatkan akun Instagram Microsoft menutup kolom komentarnya.

Dari dua peristiwa ini secara gamblang terlihat bahwa netizen Indonesia lebih suka menunjukkan perilaku negatif terhadap sesuatu dan adanya indikasi mengajak orang lain juga untuk tidak menyukai hal sama. Tentunya hal ini sangat berdampak pada pandangan dunia terhadap bangsa Indonesia. Jika dulu rakyat Indonesia terkenal dengan ramah tamah dan kesantunannya, namun sekarang bangsa Indonesia terkenal karena ketidaksopanannya.

Perilaku ini tidak dapat dibiarkan secara terus menerus dan berkelanjutan. Dalam jangka panjang akan menimbulkan “budaya radikal” dimana respon terhadap sesuatu dengan disertai emosi dan perilaku negatif.

Beberapa ulasan yang menghasilkan tingkat kesopanan dalam berinternet di Indonesia rendah dapat dilihat dari serangkaian penyebab. Pertama, adanya akun palsu dalam bersosial media. Akun palsu ini diciptakan untuk menutupi identitas asli seseorang sehingga orang tersebut dapat berperilaku sebebas-bebasnya tanpa diketahui jati dirinya. Akun palsu ini selain menutupi identitas untuk berkomentar bebas pada sosial media, bisa juga sebagai tameng terhadap undang-undang ITE dimana pemilik akun palsu dapat menghindari pengaduan atas dasar pelanggaran undang-undang ITE.

Akun palsu juga dapat bertindak sebagai “pasukan bayangan” dimana dalam melakukan dukungan atau serangan terhadap sebuah berita, dapat menambah follower dan hater dari akun penerbit berita. Dalam kasus Dayana – Fiki Naki, usut punya usut bahwa adanya follower Dayana juga ada yang bersifat bot, artinya akunnya merupakan sebuah program komputer yang dibuat sehingga bisa menambah jumlah follower-nya. Beberapa akun palsu diciptakan oleh satu orang. Dengan kata lain, satu orang bisa membuat 1000 bayangan dirinya hanya dengan modal akun palsu.

Kedua, kemampuan rakyat Indonesia dalam mengemukan pendapat secara baik dan santun masih rendah. Budaya rakyat Indonesia dalam mengemukakan pendapat secara baik dan santun tidak terdidik sejak kecil. Anak-anak Indonesia tidak dibiasakan oleh orang dewasa disekitarnya untuk dapat mengungkapkan isi hati dan pikirannya sesuai jalurnya.

Budaya dan pendidikan dalam mengemukakan pendapat merupakan proses yang seharusnya dilakukan sejak kecil. Sehingga, saat anak-anak ini beranjak dewasa, mereka mampu dan memahami bagaiamana bersuara dengan semestinya. Anak-anak Indonesia telah ditutup kesempatannya dalam berpendapat. Sehingga saat berkesempatan untuk bersuara, maka suara yang dihasilkan adalah suara tanpa saringan.

Jika hasil penelitian Digital Civility Index (DCI) menyebutkan bahwa kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong oleh pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen. Sedangkan usia remaja disebut tidak berkontrubusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020 (Kompas, 26-2-2021). Maka dapat dilihat bahwa usia dewasa hari ini merupakan anak-anak pada periode tahun 80 – 90an. Sedangkan remaja hari ini merupakan anak-anak setelah tahun 2000an.

Artinya anak-anak pada masa dulu memang tidak diberikan kesempatan mengemukakan pendapat. Dan akibatnya adalah bersuara bukan pada tempatnya dan waktunya. Tetapi anak-anak yang lahir di atas tahun 2000 telah mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapat karena orang tua muda pada periode tersebut lebih openmind dan menempatkan diri sebagai sahabat dari anak-anaknya di luar kemampuan si anak menyerap budaya dan didikan dari luar rumah.

Kemampuan mengemukakan pendapat juga berkaitan dengan sopan santun atau tata krama dalam berhubungan dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan manusia adalah untuk mencari kesamaan dengan dirinya sehingga saat orang lain tersebut tidak sama dengan dirinya maka akan menimbulkan perbedaan pemahaman dan menunjukkannya dengan komentar-komentar negatif.

Menjadi bagian dari netizen, merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan pada masa sekarang. Dengan segala kebutuhan terhadap internet dalam beraktivitas, kita akan selalu berhubungan dengan orang lain melalui sosial media.

Namun, komentar orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tidak melihat sebuah berita itu benar atau tidak, menjadikan kita harus lebih aware dalam menampilkan aktivitas harian dalam sosial media.

Jika dengan alasan sosial media merupakan ruang kita dalam berekspresi, maka diibaratkan tampilan sosial media adalah etalasi pribadi kita. Apa yang telah kita tampilkan dalam sosial media, maka pada akhirnya hal tersebut akan menjadi milik publik. Dan komentar publik atau kita sebut suara netizen dapat menjadi suara yang bisa menaikkan dan menghancurkan orang lain.

Dan pada akhirnya kita sendiri yang menentukan menjadi pribadi yang nyata di dunia maya atau pribadi yang berbeda antara dunia nyata dan dunia maya.
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya