Represi, Ideologi, dan Krisis Legitimasi: Membaca Gelombang Protes di Indonesia

Gelombang demonstrasi yang kembali mengguncang berbagai daerah di Indonesia bukanlah beberapa waktu lalu bukanlah fenomena baru. Dari era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, jalanan selalu menjadi ruang tempat rakyat mengekspresikan kekecewaan. Namun, ada hal yang berbeda dalam dinamika beberapa tahun terakhir. Suara-suara protes tidak lagi berhenti pada tuntutan kebijakan atau seruan reformasi, melainkan menjelma menjadi narasi keras yang menyebut perang, bahkan penjarahan. Bagi sebagian kalangan, itu terdengar menakutkan. Tetapi bagi mereka yang turun ke jalan, ekspresi tersebut adalah bentuk keputusasaan, sekaligus simbol bahwa jalur komunikasi politik formal tidak lagi dipercaya.
Masalahnya, aksi semacam ini nyaris selalu dijawab dengan cara lama: represi aparat. Kepolisian, yang secara hukum didesain sebagai pengayom, lebih sering tampil sebagai garda terdepan kekuasaan. Gas air mata, pentungan, hingga korban jiwa menjadi berita rutin setiap kali demonstrasi besar terjadi. Tidak mengherankan jika akronim ACAB (All Cops Are Bastards) kembali hidup di ruang publik, bukan semata slogan impor, tetapi pengalaman nyata dari mereka yang merasa dilukai oleh aparat.
Dalam kacamata teori, fenomena ini dapat dibaca melalui pemikiran Louis Althusser. Ia membedakan dua instrumen utama yang dipakai negara untuk menjaga kekuasaan: aparatus represif dan aparatus ideologi. Aparatus represif merujuk pada institusi seperti polisi, militer, hukum, dan pengadilan. Mereka bekerja secara terbuka dengan cara koersif: kekerasan, ancaman, dan paksaan. Ketika massa aksi dipukul mundur dengan peluru karet atau ditangkap secara sewenang-wenang, di situlah aparatus represif bekerja dalam bentuk paling telanjang. Indonesia adalah contoh jelas bagaimana negara sering lebih memilih jalur ini ketimbang membuka ruang dialog.
Namun, represi tidak pernah cukup. Kekuasaan juga membutuhkan cara yang lebih halus: aparatus ideologi negara. Di sini, institusi yang tampak netral—sekolah, keluarga, media, bahkan lembaga agama—berperan menanamkan nilai dominan agar masyarakat “patuh” tanpa merasa dipaksa. Perhatikan bagaimana media arus utama sering menggambarkan demonstrasi sebagai kerusuhan, bagaimana aktivis distigma sebagai provokator, sementara aparat digambarkan sebagai penjaga ketertiban. Itu bukan sekadar bias, melainkan bagian dari mekanisme ideologi. Polisi bisa menghadapi massa di jalan, tetapi media menghadapi pikiran rakyat di rumah.
Meski demikian, tidak semua persoalan bisa dijelaskan oleh Althusser. Di sinilah Antonio Gramsci memberi kunci tambahan melalui konsep hegemoni. Menurut Gramsci, kekuasaan yang stabil tidak hanya bertahan lewat paksaan, tetapi juga melalui persetujuan “spontan” dari masyarakat. Persetujuan itu lahir karena elite berhasil menciptakan konsensus: janji kesejahteraan, retorika pembangunan, atau proyek-proyek populis yang seakan-akan menjawab kebutuhan rakyat. Dengan begitu, rakyat tidak merasa dipaksa, melainkan rela tunduk.
Namun, Indonesia saat ini sedang menghadapi situasi ketika hegemoni mulai rapuh. Janji kesejahteraan yang tidak terpenuhi, ketimpangan ekonomi yang makin terasa, dan krisis kepercayaan terhadap elite politik membuat konsensus itu terkikis. Akibatnya, negara semakin sering mengandalkan aparatus represif untuk menjaga stabilitas. Inilah paradoksnya: semakin rapuh legitimasi politik, semakin keras cara kekuasaan bertahan.
Fenomena demonstrasi yang marak beberapa tahun terakhir bisa dibaca sebagai tanda krisis legitimasi. Tiga lapis mekanisme kekuasaan—represi, ideologi, dan hegemoni—sedang diuji sekaligus. Represi memang bisa meredam massa, tetapi juga melahirkan dendam dan resistensi baru. Ideologi memang bisa menanamkan narasi, tetapi di era media sosial, wacana tandingan cepat menyebar dan menantang kebenaran versi negara. Hegemoni pun kehilangan daya pikatnya, karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji yang tidak pernah ditepati.
Krisis legitimasi inilah yang membuat ruang jalanan kembali penting. Ketika kanal politik formal macet, ketika parlemen dianggap tidak representatif, dan ketika media arus utama kehilangan kepercayaan, jalanan menjadi arena artikulasi politik yang paling otentik. Di situlah mahasiswa, buruh, petani, dan kelompok sipil lain bertemu, membentuk solidaritas, dan menyuarakan tuntutan yang tak didengar di ruang parlemen.
Pertanyaan besar bagi negara adalah: sampai kapan pola lama ini bisa bertahan? Demokrasi tidak mungkin tumbuh dengan mengandalkan represi. Legitimasi tidak bisa hanya dibangun dengan propaganda. Hegemoni tidak bisa dijaga dengan janji yang berulang kali dilanggar. Jika kekuasaan terus mengabaikan suara rakyat, maka sejarah bisa saja berulang: jalanan bukan hanya ruang protes, tetapi juga titik balik yang mengguncang singgasana.
Artikel Lainnya
-
308806/06/2020
-
40031/12/2023
-
595622/08/2024
-
Sapa Penulis #2 Anno Susabun: Intermediate Writer Bidang Filsafat
331006/01/2020 -
345031/10/2024
-
83813/09/2022