Bahayanya Politik Dinasti

Dinasti politik sering dianggap sebagai antitesis dari hadirnya demokrasi. Namun, tampaknya hal ini justru telah menjadi bagian dari demokrasi modern.
Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dan mantan pemimpin diktator Libya Muammar Gaddafi, misalnya, merupakan dua contoh pemimpin politik yang merancang dinasti mereka. Mereka mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan kepemimpinan yang mereka bangun untuk terus memiliki kuasa dalam proses pemerintahan.
Di Indonesia sendiri, istilah dinasti politik bukanlah hal yang asing kita dengar. Mulai dari dinasti Ratu Atut di Banten, dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura, dinasti Limpo di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya.
Hari ini, publik sedang melihat makin jelasnya langkah Presiden Joko “Jokowi” Widodo perlahan membangun dinasti politiknya dengan membawa kedua anaknya masuk ke dalam dunia politik. Terkini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) minimal tetap 40 tahun, kecuali jika sudah pernah menjabat kepala daerah.
Putusan ini diyakini banyak pihak sarat akan kepentingan dinasti politik Jokowi guna membuka jalan bagi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat Wali Kota Solo, untuk bisa maju sebagai cawapres di Pemilu 2024. Terlebih lagi Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi.
Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, terpilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meskipun baru beberapa hari resmi bergabung dengan partai tersebut, bahkan baru saja terjun ke dunia politik.
Yan Anton, Bupati Banyuasin yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK menambah catatan buruk akan bahaya politik dinasti. Di usia relatif muda, Yan Anton yang juga putra mantan Bupati sebelumnya, Amirddin Inoed, sudah harus berurusan dengan KPK terkait kasus dugaan suap ijon proyek di Dinas Pendidikan Banyuasin senilai 1 miliar. Jika terus dibiarkan, politik berlandaskan kekerabatan bukan tidak mungkin akan kembali melahirkan tersangka-tersangka korupsi baru di daerah.
Sesungguhnya, perkembangan politik dinasti tidak lepas dari lemahnya partai politik menjalankan fungsinya. Buruknya proses kaderisasi partai politik dan tiadanya sistem internal partai yang demokratis menyebabkan bangkitnya politik dinasti. Tak ayal, banyak parpol yang mengkader calon kepala daerah hanya berdasarkan hubungan kekeluargaan dari mereka yang sedang berkuasa tanpa mempertimbangkan kompetensi dan integritas.
Menghadang Politik Dinasti
Pada prakteknya, politk dinasti cenderung melanggengkan KKN, sehingga upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik sulit tercapai.
Fenomena politk dinasti memang merupakan konsekuensi dari demokrasi. Namun jika politik dinasti terus dibiarkan, bukan hanya mencederai upaya membangun budaya antikorupsi, tetapi kontestasi politik dalam pilkada akan menjadi semu karena dinasti politik yang ikut dalam pilkada dapat menggunakan dengan mudah semua sumber daya publik yang mereka kuasai.
Oleh karena itu, beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menghadang politik dinasti agar tidak berkembang dan menjadi bagian dari kebiasaan politik di Indonesia, di antaranya adalah dengan memutus mata rantai sumber-sumber pendapatan mereka. Sumber utama korupsi daerah adalah belanja daerah. Dengan menerapkan sistem sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement) sebagai contoh, peluang untuk memanipulasi pengadaan akan berkurang. Hal ini harus ditunjang dengan pemberian sanksi tegas kepada daerah yang enggan menerapkan. Kebijakan penggunaan sistem e-procurment harus menjadi mandatori bagi pemerintah daerah.
Upaya lain yang bisa dilakukan dengan mendorong transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah sebagaimana Surabaya, Jakarta, Bandung dan sebagian kota lainnya. Ini merupakan salah satu prasyarat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan keterbukaan yang semakin tinggi, siapa pun bisa mengawasi setiap pelayanan maupun pengelolaan keuangan daerah. Semua mafhum reformasi dibangun atas kesadaran bersama seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejateraan rakyat Indonesia. Salah satu cara yang dinilai efektif adalah dengan menghancurleburkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
12 tahun reformasi Indonesia masih menyisakan masalah besar dengan korupsi. Skandal Korupsi hampir di semua lini pemerintahan masih menggurita sedemikian akut. Usaha pemerintah memang sudah luar biasa keras namun kultur koruptif sepertinya susah untuk diberantas. Banyak sekali regulasi dibuat dan diimplementasikan namun mudah sekali untuk dilanggar.
Setali tiga uang. Nepotisme juga menjadi masalah yang sampai hari ini yang belum tuntas untuk dibumihanguskan dari persada Indonesia. Padahal, karena nepotisme pula, rezim Orde Baru kemudian tumbang dan negara mengalami krisis sampai pada derajat yang tidak bisa ditoleransi lagi.
Dus, fenomena politik dinasti yang hinggap baik di partai (lembaga) politik maupun lembaga pemerintahan merupakan praktek nepotisme yang membahayakan demokrasi. Apa sebetulnya motif para elit politik mewariskan kekuasaannya terhadap sanak famili mereka? Apakah tujuan mereka benar-benar berjuang demi kepentingan rakyat, atau sebaliknya untuk memperkokoh kekuasaan keluarga? Apakah politik dinasti selalu berdampak negatif dalam pelaksanaan pemerintahan?
Penting dicatat bahwa politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (famili). Dinasti politik ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya dengan cara penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam partai (lembaga) politik.
Artikel Lainnya
-
37217/01/2024
-
136913/04/2020
-
66213/04/2025
-
16506/12/2024
-
Hidup dengan Prinsip Filsafat Stoicisme
63823/06/2024 -
300231/08/2021