Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Malam ini, saya duduk di beranda sambil menyesap secangkir kopi, merenungkan berita-berita yang terus bermunculan di media. Semakin saya membaca, semakin saya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres di negeri ini, terutama menjelang Pilkada 2024. Seolah-olah demokrasi yang kita bangun dengan susah payah, sedang terguncang oleh kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat.
Satu hal yang paling mengganggu pikiran saya adalah adanya upaya dari Koalisi Indonesia Maju yang tampak ingin memastikan bahwa calon-calon mereka di berbagai daerah tidak akan mendapat perlawanan berarti, bahkan jika itu berarti harus melawan kotak kosong atau calon independen yang tidak dikenal masyarakat. Saya bertanya-tanya, apakah ini benar-benar demokrasi? Di mana letak keadilan ketika rakyat dipaksa memilih antara kandidat yang sudah diatur atau sekadar memilih "tidak memilih"?
Belum selesai dengan kegelisahan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengeluarkan putusan pada 20 Agustus kemarin yang menyatakan bahwa partai politik tidak perlu memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Awalnya, saya berpikir bahwa ini bisa membuka peluang bagi calon-calon baru yang lebih segar dan tidak terikat dengan oligarki politik. Tapi, semakin dipikirkan, semakin saya merasakan ada yang tidak beres. Dengan kebijakan ini, mungkinkah justru memberi ruang bagi kekuatan politik besar untuk bermain lebih leluasa? Dalam situasi di mana kontrol atas demokrasi sudah mulai dipertanyakan, ini bisa jadi pisau bermata dua.
Keputusan MK ini ternyata tidak dibiarkan begitu saja oleh DPR. Besoknya, mereka langsung merespons dengan mengadakan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada. Ini, bagi saya, bukan sekadar reaksi spontan, tapi lebih terasa seperti strategi terencana untuk mengekang potensi munculnya calon-calon baru yang tidak sesuai dengan keinginan partai-partai besar. Ada aroma manipulasi yang kental dalam langkah ini, seolah-olah ada yang sedang berusaha untuk memastikan bahwa kompetisi politik tetap dikuasai oleh segelintir orang yang sama.
Dalam hati saya, terbersit kekhawatiran mendalam. Apalagi ketika mendengar kabar bahwa Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mencoba mengakali putusan MK dengan melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, namun hanya untuk partai politik yang tidak punya kursi di DPRD. Rasanya seperti menyaksikan sandiwara politik yang sudah bisa ditebak akhirnya.
Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan sekadar perasaan subjektif, tapi sebuah kenyataan yang tercermin dari berbagai data dan fakta. Menurut laporan dari Indikator Politik Indonesia tingkat kepercayaan publik terhadap dua institusi yakni Partai Politik (Parpol) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih terbilang sangat-sangat rendah yakni dengan tingkat kepercayaan publik 55,9 persen dan Partai Politik (Parpol) dengan angka 51,3 persen. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cerminan dari kekecewaan mendalam rakyat terhadap proses politik yang semakin elitis dan jauh dari harapan mereka.
Dalam situasi seperti ini, saya teringat kutipan dari ilmuwan politik terkenal, Samuel P. Huntington, yang pernah mengatakan, "Democracy is not a static condition. It is a process that evolves over time, sometimes in a progressive direction, sometimes in a regressive one." Saya tidak bisa menampik kenyataan bahwa demokrasi kita, yang seharusnya semakin matang, justru sedang mengalami kemunduran yang cukup signifikan.
Sejarah mencatat, bahwa ketika politik sudah sedemikian dikuasai oleh kepentingan-kepentingan sempit, maka rakyatlah yang paling menderita. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terus meningkat di era Jokowi adalah salah satu buktinya. Ini bukan hanya tentang angka- angka statistik, tapi merupakan gambaran nyata dari penderitaan yang dirasakan oleh ribuan orang yang hak-haknya dilanggar oleh negara.
Saya tidak ingin terdengar pesimis, namun realitas yang ada di depan mata tidak bisa saya abaikan. Indonesia, negeri yang kita cintai, sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi kita sedang digerogoti oleh kepentingan politik sempit yang hanya menguntungkan segelintir elit. Dan dalam situasi seperti ini, rakyat hanya bisa berharap bahwa mereka masih memiliki kekuatan untuk melawan, untuk memperjuangkan hak-hak mereka, dan untuk menjaga agar demokrasi tetap hidup.
Mungkin kita perlu merenungkan kata-kata Desmond Tutu: "If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor." Diam dalam ketidakadilan adalah sebuah pilihan untuk mendukung penindasan. Dan saat ini, kita dihadapkan pada pilihan: apakah akan tetap diam dan membiarkan demokrasi kita runtuh, atau bangkit dan melawan, meski hanya dengan kata-kata dan kesadaran.
Indonesia sedang tidak baik-baik saja, namun harapan itu masih ada. Harapan bahwa suatu hari nanti, kita akan kembali ke jalan yang benar, di mana demokrasi bukan sekadar slogan, tapi sebuah kenyataan yang hidup dan memberikan keadilan bagi semua.
Artikel Lainnya
-
91307/02/2021
-
107712/08/2020
-
63203/07/2021
-
Pariwisata, Privatisasi, dan Kemiskinan
142215/10/2019 -
Seni Mencintai Ala Erich Fromm
178825/03/2022 -
609818/05/2022