Dramaturgi menuju New Normal

Mahasiswa
Dramaturgi menuju New Normal 06/06/2020 3088 view Lainnya pixabay.com

Pekerjaan rumah terbesar pemerintah menuju normal baru (new normal) adalah membangun kembali kepercayaan publik (Kompas, 31 Mei 2020). Layaknya sebuah pementasan drama, kesalahan sedikit dapat menciptakan kesan buruk yang membuat penonton beranjak dari kursi manisnya. Sebaliknya, skenario yang matang, pertunjukkan yang apik, dan kekompakkan team menjadi syarat mutlak keberhasilan pertunjukkan.

Adalah Erving Goffman (1922-1982), seorang sosiolog Kanada yang melahirkan teori dramaturgi. Dalam buku pertamanya, Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman mengibaratkan kehidupan seperti sebuah drama dan teater di mana orang harus memainkan peran ketika melakukan interaksi sosial. Pijakan dasar teorinya berawal dari ketegangan yang terjadi antara “I” dan “Me” (gagasan George Herbert Mead). Konsep “I” merujuk pada kespontanan, ke-apa-adaannya, sedangkan konsep “Me” merupakan konsep yang harus merujuk pada diri orang lain (sosial).

Maka jika pemerintah ditamsilkan sebagai “self” yang sedang berhadapan dengan publik (konsep Me), mau tidak mau ia harus menarik diri sejenak dan mulai menciptakan skenario terbaik bagi audience sosialnya menuju new normal.

Menimbang Fakta

Di tengah grafik penyebaran virus yang semakin meningkat dan angka kematian yang belum juga menurun, pemerintah kita telah memutuskan untuk berdamai dengan Covid-19 alias melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Meskipun bermaksud baik, kebijakan ini tentu saja menuai banyak tanda tanya sekaligus polemik baru.

Belajar dari PSBB sebelumnya, banyak pihak menilai negara kita belum cukup siap menuju new normal. Lock down setengah hati (PSBB), tes masif yang nanggung-nanggung (sejauh ini target Presiden Jokowi untuk 10 ribu tes per hari tak pernah terpenuhi), dan kalaupun herd immunity, belum terasa penambahan kapasitas dan kualitas fasilitas kesehatan yang ada (Jawa Pos, 29 Mei 2020) menunjukkan betapa prematurnya keputusan ini. Dengan maksud menggerakkan roda perekonomian bangsa, pemerintah menganjurkan untuk tetap menjalankan protokol kesehatan. Namun bila melihat ketidakkonsistenan negara dan aparat penegak hukum dalam menindak pelanggar PSBB (70.448 orang melakukan pelanggaran selama 37 hari), publik ragu protokol kesehatan di era new normal ini dapat terlaksana.

Berdasarkan data yang dibagikan Litbang Kompas, sebanyak 43,8 % menilai rencana pelonggaran PSBB demi menghidupkan kembali aktivitas ekonomi dinilai tidak tepat, sementara hanya 47,5 % yang menyetujuinya. Dengan proporsi yang demikian dekat, pendapat tersebut terbilang sama besar (Kompas, 31 Mei 2020).

Menimbang fakta di atas, saatnya bagi pemerintah membuktikan kepada publik bahwa new normal adalah alternatif terbaik saat ini. Karena itu, Erving Goffman menekankan dua hal penting yang harus diperhatikan demi berhasilnya sebuah pementasan, yakni penampilan di atas panggung dan artribut penyelamatan.

Penampilan di atas Panggung

Pemerintah, terlepas dari peran protagonis dan antagonis (karena Goffman tidak membicarakan hal ini), adalah aktor utama dalam drama menuju new normal ini. Mereka bertindak di bawah pengaruh naskah, struktur, dan sistem yang sudah ditulis sutradara.

Berkaitan dengan hal ini, Goffman membedakan tempat pertunjukkan para aktor menjadi dua bagian utama, yaitu:

Pertama, panggung depan (front stage) adalah tempat di mana pemerintah mendefinisikan situasi bagi publik yang menyaksikan penampilan tersebut. Selama pertunjukkan berlangsung, tugas utama aktor adalah mengendalikan kesan yang disajikan selama pertunjukkan. Maka pada titik ini pemerintah mesti belajar dari pengalaman sebelumnya.

Sejak mencuatnya kasus pertama dan kedua Covid-19 pada awal Maret 2020, publik sudah berhadapan dengan berbagai situasi yang gamang. Ketidakjelasan informasi, silang pendapat mengenai karantina wilayah, pengoperasian alat transportasi, persoalan mudik, ketidaktegasan atas PSBB, dan wacana pembukaan kembali aktivitas sekolah merupakan kesan pemerintah yang mengecewakan publik. Di sini apa yang disebut sebagai interaksi simbolik oleh Herbert Blumer (1937) mesti diperhatikan dengan baik oleh pemerintah; publik akan selalu menanggapinya dengan “simbol yang diberi makna.”

Inilah kesan yang muncul di panggung depan drama menuju new normal. Karena itu, sebagai aktor yang digerakkan oleh skenario, pemerintah mesti tunduk pada teks. Improvisasi oleh para menteri atau kepala daerah dalam mengambil keputusan atau sekadar melempar wacana, hendaknya tetap memperhatikan naskah. Ketidakmampuan pemerintah dalam mendamaikan “I” dan “Me” dalam dirinya mampu menjadi bola salju bagi dirinya sendiri, sekaligus memperparah ketidakpercayaan publik.

Kedua, panggung belakang (back stage) adalah tempat di mana pemerintah yang terdiri atas presiden dan seluruh jajarannya merancang naskah dan melakukan latihan. Menurut Ritzer (2009:399), selayaknya pertunjukkan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan pertunjukkan. Di sini Goffman menggunakan istilah team sebagai “sejumlah individu yang bekerja sama mementaskan suatu drama” (Goffman, 1959). Kata kuncinya adalah kerja sama. Yufal Harari mengatakan, Homo Sapiens adalah satu-satunya spesies di muka bumi yang mampu berkerja sama secara fleksibel dalam jumlah besar.

Maka, meluncurkan new normal mengandaikan pemerintah dan seluruh jajarannya telah duduk bersama menyiapkan naskah, skenario, strategi, dan protokol penting demi berjalannya pementasan. Adanya rasa saling percaya antara pimpinan dan bawahan, ataupun sebaliknya, akan membawa tim pada makna krusial dari kerja sama. Karena itu, di hadapan publik, pemerintah harus kompak karena perbedaan pendapat tidak hanya melumpuhkan kesatuan bertindak, tapi juga membuat kikuk realitas.

Atribut Penyelamatan

New normal sudah dikumandangkan oleh pemerintah dan layar panggung telah disingkap. Di hadapan penonton, pemerintah siap tampil menjadi aktor-aktris yang handal. Pementasan ini diandaikan mampu menggerakkan kembali roda perekonomian bangsa sembari tetap menjalankan protokol kesehatan menurut WHO.

Namun meskipun demikian, situasi gawat di atas panggung bisa terjadi kapan saja. Para aktor yang lupa teks, vokal yang kurang jelas, silang pendapat di panggung belakang, ataupun listrik yang tiba-tiba padam bisa merusak pementasan, sebagaimana yang dikecewakan publik selama ini. Maka terhadap hal ini, Goffman, masih dalam bukunya yang sama, menawarkan tiga atribut penyelamatan sebagai antisipasi demi menyelamatkan pertunjukkan.

Pertama, langkah bertahan yang harus diambil oleh si pelaku. Pemerintah sudah meluncurkan new normal sebagai salah satu fase baru penanganan Covid-19 di Indonesia. Meskipun menuai banyak kritik, toh pemerintah tetap teguh juga pada pendiriannya. Harapannya keteguhan ini tetap bertahan sampai akhir pementasan meskipun situasi gawat di atas panggung bisa terjadi kapan saja. Meminjam istilah Menteri Komunikasi, Jhony Plate, “agar kita tetap optimis” (Kompas, 3 Juni 2020) adalah poin yang harus ditekankan di sini.

Kedua, langkah pencegahan yang diambil oleh pihak lain untuk membantu si pelaku menyelesaikan pertunjukkan. Memasuki bulan keempat menghadapi pandemi Corona Virus 2019 ini, negara kita telah membuktikan bahwa pemerintah tidak berjalan sendirian. Ada banyak pihak yang telah meringankan beban pemerintah, baik yang bersifat materi maupun yang rohani. Sebut saja kegigihan tim medis sebagai garda terdepan, nasihat para tokoh agama, donasi para influencer, ataupun hiburan dari para musisi dan program-program menarik televisi swasta telah dan akan terus membantu pemerintah dalam menyelesaikan pementasan.

Ketiga, si pelaku menciptakan kondisi yang memungkinkan pihak lain mengambil langkah pencegahan untuk melindunginya. Keterbukaan informasi dari pihak pemerintah alias komunikasi, mampu memancing “empati” publik untuk bersama-sama memerangi Covid-19 sekaligus membangkitkan ekonomi yang lesu di era new normal ini.

Akhirnya, pemerintah harus selalu mengingat bahwa pementasan baru saja dimulai. Situasi gawat darurat bisa terjadi kapan saja. Sementara publik dengan kepercayaannya yang tertinggal setengah, duduk menghakimi dari kursi manisnya. Maka tidak bisa tidak, pemerintah harus menyiapkan skenario yang matang di panggung belakang plus dengan kekompakkan timnya, lalu menjaga kesan di panggung depan, dan sigap menyiapkan atribut penyelamatan bila terjadi situasi gawat darurat.

Kata Goenawan Muhamad, ada sebuah tempat yang dengan cepat-dan gugup-jadi harapan: Negara.

Selamat menyaksikan!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya