Rapor Merah Reforma Agraria

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM di Lembaga Pusat Riset dan Kajian HAM
Rapor Merah Reforma Agraria 31/10/2024 3330 view Hukum Dok Pribadi

Ketika kita bicara soal reforma agraria, janji yang diusung pemerintahan Jokowi sejak 2014 seolah terdengar manis di telinga. Dalam program Nawacita kelima, visi besar redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria begitu memikat banyak pihak, terutama kaum buruh dan petani yang telah lama mendambakan kepastian lahan. Namun, apakah harapan itu telah terwujud? Melihat kondisi saat ini, sepertinya janji tinggal janji, dan reforma agraria hanya berjalan di tempat.

Berbagai kelompok masyarakat, terutama petani dan buruh, sudah sejak awal menggantungkan asa besar pada program Nawacita ini. Mereka ingin melihat pemerintah serius dalam menyelesaikan sengketa lahan, yang semakin hari justru bertambah kompleks. Sayangnya, setelah 10 tahun pemerintahan Jokowi, harapan itu makin pudar. Reforma agraria, yang seharusnya menjadi agenda prioritas, malah hanya menjadi pajangan kebijakan yang terlihat baik di atas kertas, namun tidak memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Banyak tim dan komite telah dibentuk dalam dua periode pemerintahan Jokowi, mulai dari Tim Reforma Agraria hingga Gugus Tugas Reforma Agraria. Namun, di balik nama-nama besar ini, kinerja yang diharapkan tidak kunjung terasa. Jika kita berbicara dengan petani kecil di pedesaan, mereka akan menceritakan hal yang sama: tanah mereka masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, konflik agraria belum terselesaikan, dan sertifikat tanah yang dibagikan tidak menyentuh inti persoalan.

Sertifikat tanah yang diberikan pemerintah hanyalah sekadar formalitas. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat berita tentang Jokowi yang menyerahkan sertifikat tanah kepada warga di berbagai daerah. Tapi, pertanyaannya adalah, apa makna dari sertifikat ini jika redistribusi tanah tidak pernah terjadi? "Bagi-bagi sertifikat tanah" bukanlah reforma agraria yang sesungguhnya. Reforma agraria itu seharusnya adalah redistribusi lahan kepada rakyat, khususnya kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya. Namun, yang terjadi adalah tanah masih tetap dikuasai oleh segelintir elite, sementara petani kecil hanya menjadi penonton di lahan mereka sendiri.

Menurut Gunawan Wiradi, pakar agraria, "Reforma agraria bukan hanya soal bagi-bagi sertifikat. Yang kita butuhkan adalah perombakan struktur kepemilikan tanah secara menyeluruh dan sistematis." Sayangnya, apa yang dijalankan oleh pemerintah sekarang tampaknya belum sampai pada level ini.

Kita tak bisa menutup mata bahwa program-program yang dijalankan pemerintahan Jokowi terkesan hanya pencitraan. Saya sendiri melihat kalau, agenda reforma agraria lebih condong digunakan sebagai alat politik. Lihat saja bagaimana program ini digemborkan pada saat-saat penting seperti kampanye atau saat popularitas pemerintah mulai menurun. Seakan-akan reforma agraria hanyalah gula-gula politik, yang dilemparkan agar rakyat tetap setia, meskipun janji-janji yang diusung tidak pernah benar-benar terwujud.

Faktanya, redistribusi lahan yang diharapkan tidak pernah terjadi secara signifikan. Lahan-lahan besar masih dikuasai oleh korporasi, dan peran negara dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria tampak semakin lemah. Ketidakadilan ini memicu kekecewaan di kalangan petani dan masyarakat adat, yang tanahnya sering kali dirampas oleh perusahaan besar dengan dalih pembangunan atau investasi.

Jika kita melihat catatan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang pemerintahan Jokowi, konflik agraria justru meningkat. Tahun 2023, KPA mencatat ada 241 kasus konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 638.188 hektare dari 135.608 KK. Sebanyak 110 letusan konflik telah mengorbankan 608 pejuang hak atas tanah, sebagai akibat pendekatan represif di wilayah konflik agraria. Korban konflik ini tentu saja dari petani kecil, sering kali berada di pihak yang kalah. Tanah yang semestinya menjadi sumber penghidupan mereka dirampas demi kepentingan segelintir elit.

Pertanyaan besar yang menggantung di benak banyak orang saat ini adalah: Apakah situasi akan berubah di bawah pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto? Sejauh ini, tak ada tanda-tanda signifikan bahwa reforma agraria akan menjadi prioritas besar di masa depan. Meskipun Prabowo berjanji akan menuntaskan permasalahan agraria, kita harus jeli melihat siapa yang berada di balik layar. Prabowo sendiri dikenal sebagai bagian dari elite yang memiliki aset tanah yang cukup luas. Hal ini memunculkan keraguan apakah dia benar-benar akan melakukan perubahan yang berarti.

Di sisi lain, masyarakat mungkin sudah mulai lelah berharap pada janji-janji besar para pemimpin politik. Setelah melihat kegagalan reforma agraria di era Jokowi, tidak banyak yang optimistis bahwa pemerintahan berikutnya akan mampu melakukan hal yang berbeda. Tentu, kita semua ingin melihat kemajuan. Namun, jika agenda-agenda reforma agraria masih hanya digunakan sebagai alat politik, rakyat kecil akan terus menjadi korban.

Bila kita menilai perjalanan reforma agraria di Indonesia saat ini, yang terlihat jelas adalah kemunduran. Sejak jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi, harapan akan terciptanya keadilan agraria sebenarnya sudah ada. Namun, perjalanan ini terhambat oleh berbagai kepentingan, baik dari pihak swasta maupun pemerintah itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis, "Salah satu kejahatan terbesar bangsa ini adalah ketidakmampuan kita untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil." Kata-kata ini tampaknya relevan hingga hari ini.

Reforma agraria yang ideal seharusnya memberikan keseimbangan kepemilikan tanah antara elite dan rakyat kecil. Namun, dengan situasi yang ada sekarang, apakah itu masih mungkin? Atau kita justru akan terus terjebak dalam siklus ketidakadilan yang sama, di mana segelintir orang terus menikmati kemakmuran sementara mayoritas masyarakat tetap terpinggirkan?

Pada akhirnya, kita semua harus bertanya: Apakah reforma agraria ini memang dirancang untuk kepentingan rakyat, atau hanya untuk melanggengkan kekuasaan segelintir elite? Jalan panjang masih harus ditempuh jika kita benar-benar ingin melihat perubahan yang nyata. Sampai saat itu tiba, mungkin kita hanya bisa menilai, bahwa reforma agraria di Indonesia masih berada di tahap "rapor merah."

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya