Kesadaran Diri di Era Digital

Kehadiran telepon pintar seperti pedang bermata dua. Satunya memudahkan manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi tanpa batas ruang dan waktu. Tetapi mata yang satu justru merusak komunikasi dan interaksi. Suatu paradoks yang terjadi. Mau tidak mau kita menerimanya sebagai suatu kenyataan.
Salah satunya terjadi fenomena phubbing. Fenomena phubbing sering terjadi dalam kehidupan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.
Contoh konkretnya, dalam sebuah ruangan keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anak remaja memiliki hand phone masing-masing. Mereka semua asyik dengan smart phone.
Telepon pintar membuat kita membalikkan suatu kenyataan. Mereka yang jauh semakin dekat sedangkan yang dekat semakin jauh. Inilah fakta yang terjadi dan tentu semua orang merasakannya.
Sebuah ulasan yang menarik tentang kehadiran telepon pintar dan dampak penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Kimberly Horlland, editor kesehatan dan gaya hidup dalam artikel How to identify and Manage Phubbing di situs healthline. com, 4 Juni 2018, studi menunjukkan, phubbing merusak relasi sosial dan kemampuan mental. Sebab, perilaku itu mengganggu kemampuan kita terlihat dengan orang-orang di sekitar (Kompas, 12 Agustus 2021 ).
Fenomena phubbing yang terjadi menjadi ancaman bagi kita dalam kehidupan sosial. Ancaman tersebut sebagai tanda alarm bagi kita untuk merefleksikan kembali sikap terhadap penggunaan telepon pintar.
Berhadapan dengan kehadiran telepon pintar, satu pertanyaan yang perlu kita layangkan adalah siapakah kita di hadapan benda tersebut. Pertanyaan ini berhubungan dengan identitas diri kita sebagai manusia.
Bisa dikatakan, manusia menjadi “dewa” atas makhluk lain. Sebab, ia memiliki kemampuan yang tak hebat sehingga bisa mengendalikan makhluk lain. Sama halnya ketika manusia mengendalikan telepon pintar selama penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Artinya, manusia sendiri yang menjadi pelaku utama sebagai subyek dalam pemanfaatan smart phone. Sementara itu, benda-benda digital tersebut sebagai obyek. Sangat jelas dan logis, setiap individu mempunyai hak untuk menggunakan atas keberadaan obyek tersebut.
Akan tetapi, adanya fenomena phubbing menciptakan sirnanya identitas manusia. Manusia yang menjadi pelaku utama (subyek), kini tunduk di hadapan obyek (smart phone). Dengan kata lain, smart phone yang mengendalikan manusia. Dalam keadaan apapun manusia bergantung pada smart phone untuk melihat jati dirinya sebagai bentuk eksistensinya. Eksistensinya ditentukan oleh tindakan digital, yakni uploading, chatting, posting, dan tentu saja-selfie (Arif Budiman, 2021).
Keberadaannya sebagai manusia yang memberikan diri bagi orang lain hanya sebuah kevakuman. Ia menunjukkan jati dirinya melalui smart phone tanpa ada batasan. Dunia yang nyata hanya sebatas utopia dan menjadikan smart phone sebagai tempat menghadirkan jati diri.
Kita mesti memiliki sebuah stand point atau point of view (titik pijak) yang membuat kita memiliki tempat berdiri dalam menilai media dan bagaimana menggunakannya secara arif dan bijaksana (Lilijawa, 2010). Bagi saya, kesadaran diri menjadi titik tolak bagi kita sebagai wadah utama untuk memulai mengakses telepon pintar dalam bentuk apapun.
Kesadaran berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran yang benar dengan tindakan-tindakan yang benar. Kesadaran adalah representasi keutuhan keberadaan seseorang. Kekuatan yang menggerakkan manusia menjadi manusia dalam seluruh keberadaannya (Max Regus, 2002).
Hal yang dituntut adalah bagaimana cara berpikir kita terhadap kehadiran telepon pintar. Ketika menggunakan telepon pintar, pertama-tama yang dilakukan adalah bagaimana cara berpikir kita terhadap benda-benda digital tersebut. Hal yang ditekankan di sini untuk menjadikan telepon pintar sebagai sarana untuk mengakses segala sesuatu.
Jika kita berpikir seperti itu, pemanfaatan telepon bisa terkendali sehingga ekspresi dan kepribadian dicurahkan kepada orang sekitar. Dengan kata lain, kita tidak mengabaikan orang yang ada di sekitar kita sehingga menciptakan interaksi sosial.
Diperlukan juga kehadiran setiap orang dalam meningkatkan kesadaran diri setiap individu. Sesuai tema Harian Aksara Internasional 2022, Tranformasi Ruang-ruang Pembelajaran Literasi, berbagai ruang kehidupan harus dimanfaatkan untuk pembelajaran literasi, mulai dari keluarga hingga ruang digital (Kompas, 7 September 2022). Sangat jelas bahwa peran orang tua dan guru menjadi suatu keharusan untuk mengarahkan siswa dalam mencegah terjadinya phubbing dengan meningkatkan pengetahuan.
Di lingkungan sekolah, keterlibatan guru sebagai faktor penentu di sini. Guru sebagai penyedia jalur bagi individu. Maka dibutuhkan kompetisi dari guru untuk membangun karakter dari setiap siswa selain membaca buku sebagai tuntutan dasar siswa. Sementara itu, di ruang keluarga, kesaksian hidup orang tua sangat penting. Orang tualah yang pertama-tama untuk membangun komunikasi dalam sebuah kebersamaan sehingga terjadinya interaksi satu sama lain.
Pengetahuan yang luas terhadap smart phone akan menuntun seseorang untuk bertindak dengan baik dan bermoral.
Artikel Lainnya
-
128028/05/2020
-
137904/01/2021
-
163208/10/2023
-
Catatan Redaksi: Vaksin Digital Buatan Taiwan
119525/10/2020 -
Menepis Gombalan Politik Anies-Ganjar
95509/10/2022 -
Menyoal Pemudik Menggunakan Sepeda Motor
22010/04/2024