Refleksi 20 Mei 1998: Dari Jalanan ke Kekuasaan!

Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak momen monumental dalam sejarah bangsa: Reformasi Mei 1998. Tanggal 20 Mei, yang berdekatan dengan keruntuhan Orde Baru, menjadi simbol perjuangan anak bangsa melawan otoritarianisme dan penindasan. Saat itu, mahasiswa, aktivis, buruh, dan rakyat biasa turun ke jalan, meneriakkan satu kata yang begitu kuat: reformasi. Sebuah kata yang bukan sekadar tuntutan politik, tapi juga harapan akan lahirnya tatanan sosial yang lebih adil, demokratis, dan bebas dari korupsi.
Namun ketika kita menatap kondisi politik hari ini, ironi itu terasa menyayat. Para aktivis 1998, yang dulu berdiri di barisan depan melawan kediktatoran, kini telah masuk ke dalam sistem birokrasi dan kekuasaan. Mereka duduk di kursi legislatif, eksekutif, bahkan memegang posisi strategis di partai politik dan lembaga negara. Sayangnya, banyak dari mereka justru tidak lagi membawa semangat dan agenda reformasi yang dulu mereka perjuangkan.
Agenda reformasi yang dahulu begitu jelas antara lain, penghapusan dwi fungsi ABRI, penegakan HAM, pemberantasan KKN, supremasi sipil atas militer, dan pembukaan ruang demokrasi, hari ini terlihat samar. Dalam sistem yang sekarang, politik justru lebih banyak diwarnai oleh transaksionalisme, oligarki, dan kompromi pragmatis. Para eks-aktivis yang masuk ke dalam sistem seringkali terseret dalam logika kekuasaan yang sama seperti yang dulu mereka lawan.
Beberapa dari mereka bahkan terlibat dalam praktik korupsi, memperkuat dinasti politik, atau diam terhadap pelemahan institusi demokrasi. Padahal, mereka adalah orang-orang yang paling memahami penderitaan rakyat di masa otoriter, yang paling vokal dalam menyerukan keadilan.
Reformasi yang Terlupakan
Masuknya kelompok reformis ke dalam sistem birokrasi seharusnya menjadi peluang emas untuk mendorong perubahan struktural dari dalam. Namun justru sebaliknya, birokrasi semakin tidak netral, tumpul terhadap kritik, dan rentan terhadap intervensi politik. Banyak kebijakan publik yang tidak lagi berangkat dari semangat keberpihakan pada rakyat, melainkan pada kepentingan elite.
Momen politik hari ini memperlihatkan bagaimana sistem telah berhasil 'menjinakkan' semangat reformasi. Yang dulu bersumpah tidak akan menjadi bagian dari sistem yang rusak, kini malah menjadi bagian integral darinya.
Dua dekade lebih setelah Reformasi 1998, harapan akan hadirnya birokrasi yang bersih, profesional, dan berpihak pada rakyat mulai meredup. Ironisnya, mereka yang dulu berada di barisan terdepan perubahan, kini justru menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka kritik habis-habisan.
Masuknya kelompok reformis ke dalam struktur birokrasi dan pemerintahan semestinya menjadi momentum emas untuk mendorong perubahan struktural dari dalam. Namun yang terjadi, justru sebaliknya. Birokrasi semakin kehilangan netralitasnya, kian tumpul terhadap kritik, dan makin rentan terhadap intervensi politik dari para elite kekuasaan.
Kebijakan publik tak lagi lahir dari semangat keberpihakan pada rakyat. Sebaliknya, banyak kebijakan justru disusun berdasarkan kepentingan segelintir kelompok, mencerminkan kuatnya dominasi oligarki dalam proses pengambilan keputusan. Dalam ruang-ruang kekuasaan, idealisme perlahan dikorbankan demi kenyamanan posisi dan akses terhadap sumber daya.
Kita menyaksikan bagaimana semangat reformasi dijinakkan oleh sistem yang begitu lihai mengakomodasi para pengkritiknya. Mereka yang dahulu berani bersuara, kini memilih diam atau bahkan ikut menjaga status quo. Retorika perubahan berubah menjadi slogan kosong yang hanya digunakan saat kampanye, lalu dilupakan setelah kekuasaan digenggam.
Pertanyaannya, di mana para reformis hari ini? Apakah mereka masih punya nyali untuk kembali menghidupkan agenda perubahan? Atau sudah sepenuhnya larut dan nyaman dalam pelukan sistem yang dulu mereka perjuangkan untuk ubah?
Reformasi bukan sekadar peristiwa sejarah. Ia seharusnya menjadi kompas moral dan politik dalam setiap langkah kebijakan negara. Tapi tanpa refleksi dan koreksi, kita berisiko menjauh dari cita-cita awalnya dan hanya menyisakan kenangan tentang sebuah perubahan yang gagal dijaga.
Pelajaran untuk Generasi Muda
Refleksi ini bukan semata-mata untuk menyalahkan individu, tetapi untuk mengajak kita semua, khususnya generasi muda, agar tidak melupakan sejarah dan idealisme perjuangan. Semangat reformasi tidak boleh berhenti di tahun 1998. Ia harus terus hidup, mewujud dalam kontrol sosial, dalam perlawanan terhadap ketidakadilan, dan dalam keberanian untuk berdiri di sisi kebenaran—baik dari luar maupun dalam sistem.
Reformasi belum selesai. Ia tidak akan pernah selesai jika kita menyerah pada kenyamanan dan pragmatisme. Kita butuh generasi baru yang tidak hanya mengisi kekuasaan, tetapi juga membawa nyala perubahan. Kita butuh politikus yang bukan hanya lahir dari jalanan, tapi juga setia pada cita-cita jalanan itu.
Refleksi ini bukan ajakan untuk menunjuk siapa yang salah, melainkan panggilan untuk mengingat kembali: bahwa idealisme bukan sekadar milik masa lalu. Khusus bagi generasi muda, penting untuk menyadari bahwa Reformasi 1998 bukan titik akhir—ia hanyalah titik awal dari perjuangan panjang menuju keadilan dan demokrasi yang sejati.
Semangat reformasi harus terus hidup—dalam bentuk kontrol sosial yang kritis, dalam keberanian melawan ketidakadilan, dan dalam tekad untuk selalu berpihak pada kebenaran. Tak peduli apakah perjuangan itu dilakukan dari luar sistem atau dari dalamnya, integritas dan keberpihakan tetap harus menjadi fondasinya.
Reformasi belum selesai. Dan ia tak akan pernah selesai, selama kita terus memilih diam demi kenyamanan atau menyerah pada pragmatisme kekuasaan.
Kita membutuhkan generasi baru yang tak sekadar duduk di kursi kekuasaan, tapi yang membawa nyala perubahan ke dalamnya. Kita butuh politisi yang bukan hanya berasal dari jalanan, tetapi yang tetap setia pada cita-cita jalanan itu sendiri—keberanian, kejujuran, dan komitmen untuk membela rakyat.
Kini, tugas menjaga warisan reformasi bukan lagi milik generasi terdahulu. Tanggung jawab itu ada di tangan kita. Pertanyaannya: apakah kita siap memikulnya?
20 Mei bukan hanya peringatan kebangkitan nasional, tetapi juga momentum untuk membangkitkan kembali semangat reformasi yang telah lama terpendam. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga warisan itu, agar ia tidak menjadi sekadar narasi sejarah, tapi menjadi energi yang terus menyala dalam setiap denyut politik bangsa ini.
Artikel Lainnya
-
561830/05/2020
-
71418/11/2022
-
95018/01/2025
-
210305/04/2020
-
164013/07/2020
-
Senjata Doxing dan Keterancaman Nalar Kritis
207222/02/2020