Senjata Doxing dan Keterancaman Nalar Kritis

Mahasiswa
Senjata Doxing dan Keterancaman Nalar Kritis 22/02/2020 1994 view Lainnya pixabay.com

Sejak tanggal 17-19 Februari 2020, Koran Kompas selalu menurunkan berita yang sama seputar fenomena doxing. Kesamaan berita-berita tersebut nampaknya terarah pada soal tanggapan serius pemerintah untuk lebih melihat doxing sebagai ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut, letak keseriusan ancaman tersebut adalah imbas kerja doxing yang berusaha untuk mengekspose privasi seseorang kepada publik dengan tujuan untuk membungkam suara kritis. Sejumlah aktivis kemanusiaan dan kalangan jurnalis menjadi korban doxing, yaitu pembongkaran dan penyebaran data pribadi dengan narasi yang dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah benar. Praktik tersebut diduga sebagai upaya untuk membungkam suara kritis (Bdk. Kompas 17 Februari 2020 hlm. 2).

Fakta kemunculan doxing menjadi sebuah keniscayaan apabila kita berpatok pada geliat realitas yang serba canggih dan modern. Terciptanya jagat maya dengan konektivitas yang sangat cepat dan meluas memudahkan informasi tersebar ke pelosok.

Dampak luas dari kecepatan daya gedor informasi ini berakhir pada pembongkaran semua aspek dalam diri manusia termasuk aspek privasi atau data dari para netizen (aktor jagad maya). Jika dicrosscheck dengan baik padahal belum lama ini, kita dihebohkan dengan kemunculan fenomena buzzer yang ramai diperguncingkan publik. Nah, sekarang kita diterpa lagi oleh serangan dari senjata yang sama dengan wajah yang baru yakni senjata doxing.

Menurut Kamus Oxford, dox berarti “mencari dan menyiarkan informasi pribadi tentang seseorang di internet, biasanya untuk maksud tidak baik”. Sekadar contoh penggunaan, “peretas dan vigilan online secara rutin men-dox figur publik dan perseorangan (Bdk. Kompas 18 Februari 2020 hlm. 6). Contoh lain dari cara kerja senjata doxing misalnya menimpa seorang aktivis di mana dua fotonya diedit dengan setingan yang blur dan dibuat seolah-olah tanpa busana.

Pengeditan ini meninggalkan sebuah kesan bahwa si aktivis sendiri yang melakukan tindakan tersebut. Padahal berdasarkan informasi bahwa dirinya masih menyimpan dengan rapi foto-foto tersebut di memori internal handponenya. Tidak hanya itu, rupanya kasus doxing amat meluas dan variatif. Objek buruan yang paling sering digilas oleh senjata doxing adalah jurnalis dan aktivis sosial-kemanusiaan.

Apabila merujuk pada definisi yang dicetus oleh Kamus Oxford maka dapat dipahami bahwa tindakan yang dilakukan oleh aktor doxing selalu diobori oleh muatan unsur kesengajaan. Kesengajaan ini bahkan lebih kejam cara kerjanya dibandingkan dengan hacker yang hanya meretas data pribadi. Akan tetapi, doxing melakukan dengan sedikit gerakan yang cukup berbeda yakni dengan terlebih dahulu mencari dan seterusnya mengkspose informasi tersebut. Itu berarti, sudah ada rencana yang terselenggara sebelumnya.

Menelisik pada fakta, jargon doxing sebenarnya muncul sejak tahun 2017 silam. Artinya sejak 3 tahun sebelumnya sudah terdapat banyak ketimpangan yang sudah terjadi di jagad maya. Efek sekarang adalah endusan efek setelah menumpuknya banyak fakta yang runyam dan biner tentang doxing ini.

Di tengah kondisi meluasnya fenomena kejam seperti ini nampaknya kita perlu lebih serius lagi menanggapi persoalan tentang proteksi akun pribadi seseorang.

Proteksi ini hendaknya tidak melampaui lintas batas. Itu berarti, pihak pengelola data jagad maya bisa mempertimbangkan dengan baik mana yang perlu diekspose ke publik dan mana yang perlu menjadi konsumsi pribadi si pemilik akun.

Hingga saat ini, kita perlu mengapresiasi kinerja pihak kepolisian yang berusaha untuk mengkategorisasi kasus doxing sebagai kasus dengan tingkat pelanggaran yang sangat serius.

Kepala bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra membenarkan hal ini dengan berusaha untuk memasukan persoalan ini ke dalam bahasan RUU PDP. Sebab, fenomena itu perlu disikapi melalui sebuah ketentuan yang jelas dan tegas, terutama untuk melindungi privasi seseorang (Bdk. Kompas 19 Februari 2020 hlm. 2).

Namun, di tengah keseriusan untuk menanggapi kenyataan ini dalam tubuh berita yang sama tertanggal 19 Februari 2020 termuat juga tanggapan dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang memberikan penilaian bahwa term doxing ini tidak perlu dimasukan dalam RUU PDP. Sebab pembongkaran dan penyebaran data pribadi telah diatur di Undang-Undang Informasi dan Elektronik (ITE).

Lebih lanjut persoalan ini diperparah oleh informasi dari Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyahari yang menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi. Alasannya, masa persidangan II Tahun 2019-2020 akan berakhir 27 Februari 2020. Setelah itu, seluruh anggota DPR memasuki masa reses hingga 22 Maret 2020.

Beragam kesulitan seperti yang terjadi di atas menghantar kita pada sebuah pemahaman bahwa penyikapan terhadap senjata doxing belum terlalu mendapat perhatian yang serius.

Efek lanjut dari kekurangseriusan ini turut membuka peluang bagi si pengontrol doxing untuk terus melakukan aksi kejinya. Akibatnya kita berhadapan dengan fenomena keterkejutan yakni keterancaman akan matinya daya nalar kritis.

Tentu kita bertanya di mana letak keterancaman akan kematian nalar kritis berhadapan dengan fenomena doxing. Seperti yang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa serangan utama yang dilakukan oleh senjata doxing terarah kepada para jurnalis dan aktivis kemanusiaan.

Kaum Jurnalis dan para aktivis adalah pemerhati lingkup sosial kemanusiaan yang berusaha untuk membongkar tatanan dan kebangkitan status quo yang sedang tumbuh dan berkecambah dalam suatu negara. Namun, ketika mereka (baca: jurnalis dan aktivis kemanusiaan) mendapat serangan dari senjata doxing maka mereka cenderung patuh, bisu dan tidak berani untuk menyuarakan kebenaran.

Selain itu, efek lebih seramnya adalah terbukanya sebuah paradigma publik berupa ketidapercayaan mereka kepada para jurnalis dan aktivis kemanusiaan lantaran telah mengekspose keburukan  ke hadapan publik. Tepat pada bagian inilah kita mengalami kondisi keterancaman nalar kritis bahkan yang lebih buruknya bisa masuk pada fase yang lebih serius dan alot yakni kematian nalar kritis dan keengganan untuk menyuarakan kebenaran.

Berhadapan dengan kondisi yang serius ini kita hendaknya sigap untuk mengambil sikap. Oleh karena itu, menurut saya keharusan pertama yang perlu dibuat oleh setiap netizen (aktor dan penghuni jagad media) adalah berhati-hati dalam penggunaan media sosial. Praktik kehati-hatian ini tertuang dalam sikap bijaksana untuk memosting sesuatu yang berfaedah bagi diri sendiri dan publik.

Di lain pihak, pemerintah juga hendaknya harus secara lebih serius dan terorganisir mengadakan sosialisasi dan praktek literasi digital bagi semua anak bangsa.

Dengan tindakan seperti itu maka semua orang mendapat perhatian dan tempat dalam perlindungan terhadap akun dan data pribadi di hadapan media.

Bukan tidak mungkin bahwa senjata doxing ini akan meluaskan koneksinya ke ranah yang lebih serius dan problematis. Kita sebagai penikmat konten dalam media tidak sekadar hadir sebagai para penonton semu yang takluk di bawah kuasa dan senjata doxing. Mari menjaga lentera kebenaran!!!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya