Potensi Menurunya Etika Dalam Masa Kampanye Pesta Demokrasi

Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM dan Kabid PA HMI Cabang Bulaksumur Sleman
Potensi Menurunya Etika Dalam Masa Kampanye Pesta Demokrasi 10/01/2024 651 view Politik indonesianews.id

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan kepercayaan kepada rakyat untuk menentukan nasib bangsanya. Dalam sistem demokrasi peralihan kekuasaan ditandai dengan adanya pemilihan umum atau biasa disebut dengan pesta demokrasi. Adanya peralihan kekuasaan ini, kontestasi berpolitik negara akan mulai memanas. Dengan kontestasi tersebut kemungkinan apapun bakal terjadi. Dimulai dari kelas oposisi yang mengambil alih kekuasaan bahkan, tidak menutup kemungkinan kelas penguasa akan semakin berkuasa.

Melalui penjelasan demokrasi tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengalami pesta demokrasi. Tepat di tahun 2024 Indonesia akan mengadakan pemilu sebagai peralihan kekuasaan.

Menjelang pesta demokrasi 2024, para calon baik dari DPR,DPRD,DPD, dan Presiden serta wakil presiden melakukan kampanye. Sejak tanggal 28 november 2023 kampanye sudah mulai diresmikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Melalui penetapan tanggal pemilihan umum ini, KPU juga turut andil mengatur regulasi yang harus dipatuhi oleh beberapa pihak.

Namun, sebagaimana kepentingan politik, regulasi bisa ditembus dan dilanggar untuk mencapai kepentingan tertentu. Dengan dilanggarnya regulasi yang ditetapkan, menjelang pesta demokrasi 2024 memunculkan sebuah problem etika. Problem etika yang dimaksud ialah tidak adanya landasan utilitarian yang menyangkut seluruh pihak. Melainkan hanya mengutamakan kepentingan per golongan sahaja.

Gagasan Mulai Tidak Laku

Melalui problem etika, kontestasi pemilihan umum 2024 memberikan warna tersendiri. Sebagaimana seorang calon pemimpin, jual beli gagasan merupakan tawaran yang layak diterima oleh masyarakat yang menentukan nasibnya. Akan tetapi, dalam kampanye ini bertebaran gagasan calon pemimpin tidak memberikan kesan substantif. Melainkan hanya akan memberikan kesan normatif. Tidak jarang dalam berkampanye janji-janji diberikan dengan perkataan-perkataan yang sulit diterima secara logika oleh masyarakat.

Di Indonesia ini siapa pun berhak menjadi calon pemimpin asalkan memenuhi regulasi yang ditetapkan. Dengan berdasarkan pada kebebasan tersebut, seorang calon pemimpin di Indonesia ini memiliki mindset yang cukup berbeda. Tidak jarang para calon pemimpin ini menggunakan regulasi hanya sebatas lolos sahaja. Setelah lepas lolos, calon pemimpin ini menggunakan cara apapun untuk mendapatkan suara.

Problem demokrasi yang terjadi di Indonesia khususnya dalam konteks pemilu terletak pada populisme dan finansial. Beragam pendapat publik yang meyakini bahwasanya, ongkos politik di Indonesia ini cukup mahal karena harus mampu mengayomi dan merawat jaringan suara.

Dengan adanya problem etika, pemilihan umum 2024 ini seolah-olah mereduksi gagasan. Keberadaan gagasan hanyalah dianggap sebagai retorika dan dongeng saja.

Selain itu, gagasan yang mulai tereduksi ini secara epistemologis masyarakat, gagasan hanya dipandang sebagai omong kosong. Penilaian omong kosong ini diyakini oleh masyarakat dikarenakan omongan calon pemimpin itu manis dan tidak dengan tindakannya. Melalui pandangan epistemologi itu, seorang pemimpin yang ingin mendapatkan kursi kekuasaan mengusahakan terlebih dahulu mengontrol epistemologi masyarakat.

Pandangan kontrol ini dimaksud untuk memberikan menghalalkan segala cara baik dengan menggunakan uang dan tekanan massa. Rujukan problem demokrasi ini sebenarnya telah digagas oleh salah satu Filsuf Politik Amerika yang bernama Robert Talisse. Melalui gagasanya Robert menilai demokrasi merupakan ajang perang sipil tanpa adanya pertumpahan dari.

Melalui penilaian tersebut sudah sewajarnya perang sipil itu dilakukan dengan menggunakan tekanan massa dan finansial. Calon pemimpin dalam menggunakan etika di masa kontestasi ini rujukanya hanyalah sebagai etika deontologi.

Pandangan etika deontologi tersebut merupakan pandangan etika yang ditujukan hanya kepada seorang yang berkepentingan dan menganggap tindakan yang dilakukan itu benar secara etis. Melalui pandangan deontologi ini, seorang calon pemimpin sudah sepastinya menjadikan deontologi sebagai alternatif untuk mendapatkan suara publik.

Menjaga Etika Menyelamatkan Demokrasi

Berangkat dari pemikiran Romo Magnis Suseno, beliau menilai bahwasanya pemilihan umum di Indonesia ini bukan untuk memilih yang terbaik. Melainkan mencegah yang buruk berkuasa. Nasib sebuah bangsa berada di dalam rakyatnya dan pemimpin yang dipilih di masa yang akan datang.

Melalui pandangan tersebut, sebagai warga negara sudah semestinya memiliki kewajiban untuk menjaga dinamika pemilihan umum. Pemimpin demokrasi tidak akan bisa muncul tanpa adanya dukungan rakyat. Oleh karena itu, menjaga pemilu dan mengawasi pergerakan penerapan etika tidak bisa dilakukan oleh badan resmi saja. Keterlibatan rakyat dalam pemilih juga bukan sebagai pemilih saja.

Keterlibatan rakyat dibutuhkan sebagai pengawas jalanya pemilu untuk mewujudkan keadilan. Walaupun pemilu sudah diawasi oleh badan pengawas pemilihan umum, keberadaanya dirasa masih kurang. Banwaslu hanya bisa memandang regulasi pemilihan umum dan jaringan kampanye calon yang berkontestasi. Sedangkan, objektifikasi keberhasilan pemilu berada di rakyat. Oleh karena itu, keterlibatan rakyat sebagai orang non lembaga dibutuhkan untuk mengawasi pemilihan umum. Pengawasan pemilihan umum dibutuhkan dengan menggandeng beberapa pihak.

Pemilu merupakan wajah dari demokrasi. Selayaknya sebuah wajah demokrasi, perawatan perlu dilakukan. Adanya pemilu yang diawasi beragam pihak memiliki peluang untuk menegakan keadilan. Keadilan yang diperjuangkan di masa pemilu merupakan tonggak awal untuk meninjau keadilan-keadilan di masa pemerintahan yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya