Hati, Kecerdasan, dan Pengetahuan dalam Pandangan al-Ghazali
Konsep "Hati" (Qalb) menurut al-Ghazali adalah inti dari kognisi manusia dan membedakan mereka dari binatang non-rasional. Hati bukan hanya organ fisik, tetapi lebih merupakan "tempat kognisi tentang Tuhan" (mahall ma‘rifat Allah) yaitu tempat di mana manusia memperoleh pengetahuan tentang realitas ilahi.
Hati adalah inti dan realitas sejati manusia (haqiqat al-insan), sebuah entitas spiritual yang halus dan ketuhanan (latifa rabbaniya ruhaniya), yang berhubungan dengan hati fisik dan mengatur tubuh melalui hubungan tersebut.
Meski terkait dengan hati fisik, hati menurut al-Ghazali berbeda karena ia tidak berwujud dan abadi, berada di dunia yang berada di luar atau melampaui kemampuan persepsi indra manusia. yang disebut "dunia dominion" (‘alam al-malakÅ«t).
Dalam berbagai konteks, hati juga disebut sebagai roh (ruh), jiwa (nafs), terutama "jiwa yang tenang" (al-nafs al-mutma’inna), dan akal (‘aql). Hati juga dijuluki sebagai "mata batin" (‘ayn batina), yang memiliki penglihatan batin (basira) sebagaimana mata fisik (‘ayn zahira) memiliki penglihatan luar (basar).
Al-Ghazali mengidenaqltifikasi hati sebagai "amr ketuhanan" (amr ilahi atau amr rabbani), mengacu pada percikan ketuhanan dalam manusia. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur'an "Mereka bertanya kepadamu tentang roh; katakan: roh itu berasal dari perintah Tuhanku (min amr rabbi)" (Q. 17:85). Ayat ini, menurut al-Ghazali, menegaskan bahwa hati berasal dari ‘alam al-amr atau ‘alam al-malakut.
Hati adalah entitas abadi yang tidak bisa dihancurkan. Ketika seseorang meninggal, hati tidak ikut hancur tetapi memasuki keadaan lain, terlepas dari keterikatan pada dunia fisik dan bebas dari tubuh fisik.
Meskipun al-Ghazali menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan hati, esensi dari diskusinya tetap konsisten: hati adalah jiwa rasional (al-nafs al-natiqa) atau akal (‘aql). Dengan menggunakan istilah hati, al-Ghazali tidak bermaksud untuk mengubah konsep ini secara radikal tetapi untuk membuatnya lebih dapat diterima oleh kalangan ulama.
Kecerdasan
Kecerdasan (‘aql) menurut al-Ghazali adalah fitur intrinsik (ghariza) yang memungkinkan hati manusia, yaitu jiwa rasional, untuk memahami objek-objek yang dapat diketahui. Kecerdasan adalah kualitas hati, konfigurasi spesifik yang membuat hati mampu menerima jejak bentuk-bentuk yang dapat dipahami. Jika hati dianalogikan sebagai cermin, kecerdasan adalah pancaran cermin tersebut yang memungkinkan hati menerima jejak bentuk objek yang terlihat.
Kecerdasan adalah karakteristik yang membedakan manusia dari binatang non-rasional, mempersiapkan manusia untuk menerima pengetahuan teoretis (al-‘ulum al-nazariya) serta mengelola kerajinan halus yang melibatkan pemikiran (tadbir al-sina‘at al-khafiya al-fikriya). Kecerdasan sesuai dengan apa yang dalam bahasa filsafat disebut potensi (quwa) dari jiwa rasional untuk menerima pengetahuan teoretis, atau predisposisi (isti‘dad) dari akal manusia untuk menerima yang dapat dipahami sebelum akal tersebut benar-benar menerima apa pun.
Kecerdasan adalah pemberian Tuhan, sumbernya adalah kebaikan (jud) dan rahmat tanpa batas (rahma) Tuhan, yang merupakan asal mula pengetahuan yang diberikan secara Ilahi. Kecerdasan sering disebut sebagai "cahaya Ilahi," "cahaya iman dan kepastian," dan "cahaya yang dilemparkan ke dalam hati," serta merupakan kunci bagi kognisi dan penyingkapan Ilahi (kashf). Penyingkapan ini memerlukan persiapan melalui praktik asketis dan etis, yang dianalogikan dengan mengkilapkan cermin hati.
Pengetahuan
Al-Ghazali tidak memberikan definisi pengetahuan (‘ilm) dalam arti filosofis yang ketat tetapi menjelaskan bahwa pengetahuan harus dipahami melalui pembagian dan perbedaan (taqsim, tamyiz) serta analogi (mithal). Pengetahuan sejati berbeda dari ketidaktahuan (jahl), keraguan (shakk), dan dugaan (zann), serta dari i‘tiqad, yaitu tindakan mempertahankan pandangan atau opini tertentu tentang suatu subjek tanpa tingkat kepastian yang kritis.
Al-Ghazali mengkritik definisi Mu‘tazila tentang pengetahuan sebagai “menganggap sesuatu sesuai dengan apa adanya” (i‘tiqad al-shay’ ‘ala ma huwa bihi), yang menurutnya terlalu sempit dan terlalu inklusif.
Menurut al-Ghazali, pengetahuan sejati adalah "membuka simpul-simpul opini" (inhilal al-‘uqad), yang ditandai dengan penyingkapan dan pelebaran dada (kashf wa-nshirah). Pengetahuan sejati tidak bisa diruntuhkan oleh argumen menipu, sementara opini yang benar bisa.
Dalam pandangan al-Ghazali, pengetahuan sejati membutuhkan proses "membuka simpul-simpul opini" melalui pengalaman langsung dan penyingkapan Ilahi, bukan sekadar argumentasi dan logika. Kecerdasan yang dipersiapkan dengan praktik asketis dan etis menjadi kunci untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi ini.
Secara keseluruhan, al-Ghazali menekankan bahwa hati, kecerdasan, dan pengetahuan saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam pencarian manusia untuk memahami dan berhubungan dengan realitas Ilahi. Dengan memahami hati sebagai pusat kognisi spiritual, kecerdasan sebagai alat penerimaan pengetahuan, dan pengetahuan sebagai penyingkapan kebenaran, seseorang dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan Tuhan.
Artikel Lainnya
-
114313/02/2021
-
123602/08/2020
-
186114/09/2019
-
189015/02/2020
-
Remaja dan Persoalan Anarkisme Geng Motor
202714/11/2021 -
Peran Perempuan dan Revolusi Mental Bung Karno
206030/12/2020