Zuhud: Hakikat dan Makna Sebenarnya
Islam bukanlah agama yang membenci kekayaan. Tetapi apa yang diingatkan dan dikritik berulang kali oleh Alquran adalah keserakahan akan kekayaan, yang menyebabkan orang mengabaikan tanggung jawab mereka dan kurang kesadaran akan keuntungan spiritual yang lebih berharga. Kesenangan dan pengabaian sementara inilah yang disebut Alquran sebagai "dunia", bukan dunia tempat kita hidup. Sebaliknya, "akhirat" adalah kualitas spiritual yang mengarah pada kebahagiaan atau kedamaian abadi. Mencintai dan mengejar dunia merupakan sumber kesengsaraan karena dapat menghapus nilai-nilai moral bahkan membuat manusia sama sekali mengabaikan tujuan mulianya.
Al-Quran menyebut Qarun sebagai contoh orang kaya yang hina. Al-Qur'an tidak mencela kekayaannya, namun yang menjadi sasaran perhatian Al-Qur'an adalah sikap mentalnya yang berubah total akibat kekayaan tersebut. Qarun menjadi orang yang keras kepala dan menganggap semua kekayaan yang ada di tangannya adalah miliknya sepenuhnya. Dia lupa bahwa semua itu sepenuhnya anugerah dari Tuhan, dan dia tidak ingin berterima kasih kepada siapa pun.
Qarun beranggapan bahwa semua pemberian tersebut diperoleh karena keahliannya, maka ia menolak semua nasehat yang diberikan (Q S. al-Qasas: 76-78). Inilah akar bencana yang menimpanya. Qarun adalah simbol kesombongan. Tapi bukan berarti tidak ada yang begitu kagum dengan kekayaannya. Sebelum dia dihancurkan oleh Allah, banyak orang yang bermimpi menjadi seperti dia dan membayangkan betapa enaknya menjadi seorang Qarun. Namun setelah musibah menimpanya, barulah orang menyadari betapa ruginya menjadi seorang kafir. Hanya orang-orang berilmu yang sadar sejak dini (Q.S. al-Qasas: 79–82).
Dari sinilah konsep Zuhud dimulai, yaitu dengan kesadaran moral yang tinggi dan kepekaan terhadap segala akibat harta duniawi. Zuhud bukan berarti malas dan hampa kreativitas, tetapi asketisme adalah kemauan untuk mencapai sifat-sifat manusia yang sejati dan menjauhi segala kemungkinan rintangan yang membatasi jalan menuju cita-cita mulia tersebut. Oleh karena itu, Imam al-Ghazali membagi asketisme menjadi beberapa tingkatan, dari yang tercela hingga yang sangat mulia.
Asketisme Zuhud adalah orang-orang yang malas: dia tampak membenci dunia, tetapi hatinya penuh dengan mimpi untuk menjadi kaya. Asketisme yang paling mulia adalah asketisme yang dipraktikkan oleh Nabi: selalu berkreasi dengan keikhlasan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan individu, dan menolak segala kesenangan yang menipu. Jadi zuhud lebih kepada sikap mental, yang kemudian mempengaruhi sikap hidup seseorang. Sifat ukhrawi seorang zahid lebih bermakna dari pesona duniawi.
Seperti yang sudah disebutkan, pada dasarnya yang diperhatikan Alquran bukanlah kaya atau miskin, melainkan bagaimana mentalitas seseorang menyikapi kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong orang kaya agar tidak lalai dan tertipu oleh kekayaannya dan mendorong orang miskin untuk selalu tabah. Demikian pula, yang kaya harus membantu saudara-saudaranya yang miskin, dan yang miskin harus berusaha untuk menjadi kaya dan dapat membantu saudaranya yang lain dan seterusnya.
Tapi kenyataannya, masalahnya tidak sesederhana itu. Yang kaya umumnya tetap kaya, dan yang miskin tetap miskin dan melarat. Sayangnya, orang kaya mengeksploitasi kekuatan orang miskin, sehingga yang terakhir selalu berada di bawah kendali kelompok asal. Kesimpulannya, kemiskinan selalu dipertahankan untuk kepentingan orang kaya.
Karena sekedar mengingatkan manusia bahwa Islam mensyaratkan harta (zakat) untuk dikumpulkan dari orang kaya dan disalurkan kepada orang yang membutuhkan dan miskin tidaklah cukup. Dalam hal ini, negara atau pemerintah memiliki posisi yang signifikan. Karena stabilitas suatu negara sebenarnya ditentukan oleh sejauh mana keberpihakannya kepada yang lemah atau rakyat jelata.
Islam pada dasarnya adalah pemberontakan melawan arogansi status quo yang berkuasa dan mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap rakyatnya. Para nabi yang diutus Tuhan juga biasanya “memberontak” terhadap arogansi para elit pada masanya. Karena itu, para pemimpin kalangan tersebut menuduh para nabi mereka bodoh, gila, kurang akal, sok suci, dan sebagainya, dan para pengikutnya dianggap sebagai orang-orang hina (Q.S. al-Araf: 59-91). Karena itu Islam menjadi gerakan perlawanan sejak awal kemunculannya karena memang ingin memberantas penindasan. Setelah Islam menang, zakat menjadi kewajiban dalam rangka menjaga stabilitas kezaliman agar tidak terulang kembali.
Zakat tidak hanya berpijak pada konsep pemahaman moral tetapi juga memiliki tujuan sosial yang ingin dicapai, yaitu kemakmuran dan pemerataan, agar kekayaan tidak menumpuk di tangan segelintir orang saja sedangkan yang lainnya hidup dalam kesengsaraan (Q.S. al-Hasyar:7)
Artikel Lainnya
-
159119/04/2020
-
54816/09/2024
-
55111/11/2024
-
Byung-Chul Han: Eros Online dan Gairah Selfi
111212/05/2025 -
Warisan Pemikir Islam: Filsafat Di Balik Sorban
18207/12/2024 -
Bukti Vaksinasi dan Kemerdekaan yang Hakiki
71817/08/2021
