Polemik Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
"Jangan Sekali Kali Melupakan Sejarah (JASMERAH)" . Namun bagaimana ketika Sejarah itu kini direvisi oleh pemerintah?
Hal itulah yang membuat intuisi sebagai seorang mahasiswa menyikapi kebijakan Fadli Zon yaitu mengenai penulisan ulang sejarah Indonesia yang menuai pro dan kontra di tengah-tengah dan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Apakah sejarah yang direvisi ini menghasilkan sejarah yang benar-benar valid dan sesuai dengan peristiwa di masa lalu yang terjadi di Indonesia atau penulisan ulang sejarah ini hanya sebagai upaya politisasi di kalangan tertentu? Tentunya kita berharap penulisan ulang sejarah ini menghasilkan sesuatu yang baik bagi Indonesia tanpa mengaburkan satu peristiwa sejarah yang terjadi.
Polemik penulisan ulang sejarah Indonesia muncul karena kekhawatiran sejumlah pihak bahwa proses ini dapat mengarah pada penyusunan "sejarah resmi" yang hanya merefleksikan tafsir tunggal pemerintah, menghilangkan fakta-fakta penting, dan berpotensi memanipulasi narasi sejarah.
Sejarawan dan aktivis Hak Asasi Manusia khawatir hal ini akan membungkam kebebasan berpikir dan mengaburkan peristiwa sejarah yang krusial.
Gagasan untuk menulis ulang sejarah Indonesia kembali berembus kencang, memicu riak perdebatan yang tak pernah usai. Ini bukan sekadar wacana akademis belaka, melainkan sebuah pergulatan mendalam tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan melangkah sebagai sebuah bangsa. Di satu sisi, desakan untuk meninjau kembali narasi yang ada begitu kuat, terutama bagi mereka yang merasa terpinggirkan oleh versi resmi. Di sisi lain, kekhawatiran akan manipulasi dan penghapusan memori kolektif menjadi hantu yang menakutkan.
Kita tak bisa memungkiri bahwa buku-buku sejarah yang kita pelajari di bangku sekolah, atau narasi yang didengungkan oleh media massa di masa lalu, banyak dibentuk oleh kekuatan yang berkuasa. Era Orde Baru, misalnya, dengan gigih menanamkan versi tunggal yang kerap memutihkan satu sisi dan mengaburkan sisi lain. Ada banyak episode kelam, pahlawan yang terlupakan, atau perspektif minoritas yang sengaja dibungkam demi menjaga stabilitas dan legitimasi kekuasaan. Dari situlah muncul argumen kuat bahwa penulisan ulang atau mungkin lebih tepatnya, pengayaan dan koreksi adalah sebuah keniscayaan. Ini adalah kesempatan untuk melakukan rekonsiliasi yang lebih tulus, mengakui luka-luka masa lalu yang belum sembuh, dan memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Sebuah sejarah yang lebih inklusif dan jujur tentu akan membangun fondasi bangsa yang lebih kokoh.
Namun, di balik niat baik itu tersimpan jebakan yang berbahaya. Jika tidak dilakukan dengan hati-hati, penulisan ulang sejarah bisa menjadi pedang bermata dua. Ada kekhawatiran besar bahwa agenda ini akan dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk memanipulasi narasi demi kepentingan sesaat. Sejarah, yang seharusnya menjadi cermin masa lalu, bisa berubah menjadi alat propaganda yang melegitimasi kekuasaan atau bahkan menghapus jejak-jejak kesalahan. Bayangkan jika sejarah diubah hanya untuk memoles citra kelompok tertentu, atau untuk memicu perpecahan baru alih-alih menyatukan. Integritas keilmuan bisa terancam, dan yang muncul bukanlah kebenaran yang lebih utuh, melainkan kebohongan baru yang justru memperkeruh pemahaman kita tentang masa lalu. Sejarah adalah ilmu yang dibangun di atas bukti dan riset, bukan opini atau pesanan.
Maka, polemik ini bukan tentang apakah sejarah boleh ditinjau ulang atau tidak, melainkan bagaimana cara kita meninjau ulang itu. Ini bukan tentang menghapus total apa yang sudah ada, melainkan tentang memperkaya dan melengkapi dengan data, sudut pandang, dan interpretasi yang selama ini terabaikan. Proses ini harus melibatkan banyak pihak. Para sejarawan, akademisi dari berbagai disiplin ilmu, budayawan, bahkan komunitas dan individu yang memiliki memori kolektif yang relevan. Transparansi dan akuntabilitas ilmiah harus menjadi prinsip utama. Hanya dengan pendekatan yang kolaboratif, berbasis bukti, dan didorong oleh semangat rekonsiliasi, kita bisa berharap untuk membangun narasi sejarah yang lebih jujur, lebih lengkap, dan pada akhirnya, lebih bermakna bagi perjalanan bangsa Indonesia di masa depan. Jika tidak, "penulisan ulang" bisa menjelma menjadi "penghapusan", dan kita berisiko kehilangan bukan hanya masa lalu, tetapi juga arah kita sebagai bangsa.
Artikel Lainnya
-
128703/10/2023
-
267201/10/2020
-
192213/07/2020
-
Mencegah Kebangkitan Medusa di Kampus
316813/06/2020 -
Menyoal Kebijakan Satu Peta: Meniadakan Tumpang-tindih Kawasan, Mengabaikan Fakta di Lapangan
235003/02/2020 -
Instruksi Lock down Vs Iklim Kepatuhan Kita
179429/03/2020
