Pertambangan Nikel di Raja Ampat, Ancaman Bagi Surga Bawah Laut
Saya merasa sangat kecewa dan khawatir saat mendengar kabar tambang nikel masuk ke kawasan Raja Ampat, yaitu “surga terakhir” yang diakui dunia sebagai UNESCO Global Geopark. Kawasan ini menyimpan 75% jenis terumbu karang dunia dan ribuan biota laut unik dan keanekaragaman hayati lainnya. Tapi ironisnya, justru di sini gundukan nikel diincar dengan agresif. Kementerian ESDM sejak tahun 2017 mengeluarkan izin tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat, padahal UU No.1/2014 melarang keras eksploitasi di pulau-pulau kecil karena kerusakannya tak dapat dipulihkan. Kebijakan pemerintah ini terasa seperti mengkhianati kebijakan yang ada pada kelestarian alam dan masyarakat adat.
Bukti nyata penderitaan alam Raja Ampat sudah mulai terlihat. Laporan Greenpeace Indonesia mencatat lebih dari 500 hektar hutan alami di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah dibabat untuk tambang nikel. Operasional tambang menggerus daratan dan terumbu karang, memicu erosi pantai dan sedimentasi yang menggurita ke laut. Akibatnya, terumbu karang sehat yang menyokong mata pencaharian nelayan dan pariwisata mulai rusak. Aktivitas kapal pengangkut nikel dan tumpahan limbah tambang juga mencemari perairan, meracuni biota laut yang dulu subur. Kawasan pesisir yang dulu “sarang ikan” kini menjadi dermaga bongkar material nikel. Ekosistem Raja Ampat yang unik terancam hilang oleh tutupan tanah merah dan polusi limbah tambang. Dampak utamanya adalah hutan pulau-pulau kecil hancur, tanah merah tertinggal mengendap ke pantai, limbah tambang menetes ke laut, membahayakan terumbu karang, gangguan besar pada habitat penyu, ikan, dan mamalia laut yang banyak terdapat di sana.
Semuanya terjadi tanpa pertimbangan serius terhadap keberlanjutan lingkungan. Padahal, seperti ditegaskan Menteri Lingkungan Hidup, penambangan di pulau kecil adalah pelanggaran berat dan melanggar konstitusi karena menimbulkan kerusakan yang tak terganti. Setiap penggundulan hutan adalah kerugian besar bagi negara ini, dan saya sedih melihat alam ditelantarkan.
Pariwisata adalah nafas utama ekonomi lokal Raja Ampat. Banyak pihak menekankan bahwa kekayaan ekosistem laut Raja Ampat berpotensi mendatangkan keuntungan berkelanjutan jauh lebih besar daripada tambang sesaat. Akademisi IPB, Nimmi Zulbainarni, menjelaskan bahwa setiap hektar terumbu karang Raja Ampat mampu menghasilkan miliaran rupiah per tahun dari wisata bahari, perikanan, dan jasa lingkungan lainnya. Sebaliknya, kegiatan tambang nikel akan merusak terumbu dan menurunkan produktivitas ikan, membabat pusat ekonomi puluhan ribu penduduk pesisir.
Data konkret pun mendukung argumen ini. Misalnya, dihitung bahwa 21.000 wisatawan asing yang berkunjung ke Raja Ampat dalam setahun bisa mendatangkan kurang lebih Rp300 miliar bagi perekonomian lokal. Pada tahun 2023, 24.467 wisatawan membayar Rp17,1 miliar sebagai tarif jasa lingkungan (lestari.kompas.com). Artinya, pilihan pariwisata berkelanjutan bukan saja layak, tapi juga sangat menguntungkan secara ekonomis. Sayangnya, narasi media dan pemerintah sering menganaktirikan data ini. Media pro pemerintah cenderung membesarkan slogan “transisi energi hijau” yang disematkan pada penambangan nikel, seolah aktivitas merusak itu bisa dibenarkan demi masa depan ramah lingkungan. Padahal kenyataannya, jauh dari hijau, alam Raja Ampat bisa hancur oleh mesin eskavator.
Awalnya, media kita ramai-ramai memuji Raja Ampat sebagai ikon konservasi dan destinasi ekowisata kelas dunia. Kini, banyak narasi bergeser mendukung kehancuran, menyoroti “manfaat investasi”, “lapangan kerja”, dan ujaran “nikel untuk transisi energi”. Narasi ini terasa palsu dan berbahaya. Padahal kenyataannya sebaliknya. Menurut data Greenpeace, dampak tambang jauh dari hijau, pencemaran sungai, hingga pelepasan karbon di wilayah konservasi. Media yang awalnya mengawal rakyat kini malah memutarbalikkan fakta, kritik ekologi disebut “hoaks asing” dan aktivitas perusahaan ditampilkan mulus.
Dari pemerintah pun saya merasakan pengkhianatan. Setelah protes publik meledak pada 5 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil membuat keputusan untuk mencabut izin empat perusahaan tambang nikel dan menghentikan sementara operasi Gag Nikel pada 5 Juni 2025. Namun langkah ini terlalu lambat dan setengah hati. Masyarakat menilai penghentian sementara itu sekadar “sandiwara” yang bertujuan meredakan amarah publik. Kebijakan ini “setengah hati” karena PT Gag Nikel masih diizinkan mengeruk 13.136 ha pulau kecil. Praktiknya, kelima pulau terdampak (Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, Batang Pele) tetap saja ditambang, meski bertentangan dengan UU Lingkungan dan pengakuan UNESCO. Pemerintah baru turun tangan saat sudah terlanjur rusak, membuat saya mempertanyakan keseriusan mereka, apakah kepentingan investasi dan pemodal lebih diutamakan daripada suara rakyat?.
Saya menulis ini dengan rasa marah, dan putus asa. Melihat framing media yang timpang dan sikap pemerintah yang amburadul. Narasi yang berubah dari pelestarian menjadi eksploitasi, membuat saya merasa terkhianati. Raja Ampat bukan komoditas untuk mengisi kantong pemerintah, melainkan warisan dunia untuk dipelihara. Kepedulian publik yang tinggi terlihat dari trending hashtag #SaveRajaAmpat yang justru ditepis atau dibungkam. Karena itu, saya mendesak untuk hentikan segera tambang nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Pemerintah harus tegas mencabut semua izin yang merusak, dan media perlu mengembalikan wajahnya sebagai penyampai kebenaran, bukan sekedar hanya untuk kepentingan. Kita semua harus ikut bicara dan bertindak demi masa depan alam dan masyarakat Raja Ampat yang adil dan berkelanjutan. Jangan sampai kecantikan dan kekayaan Raja Ampat ternoda oleh kecerobohan kita sendiri. Sudah saatnya Indonesia mempertahankan prinsip pelestarian yang dulu dijunjung tinggi, bukan membiarkan “surga dunia” ini terkubur oleh tambang nikel.
Artikel Lainnya
-
158030/10/2020
-
124717/04/2020
-
109118/09/2021
-
Sumpah Pemuda dalam Sila Ketiga Pancasila
110703/11/2023 -
Fortifikasi Pangan Sebagai Solusi Stunting
229311/02/2021 -
Ssst... Inilahlah rahasianya Untuk Cepat Jadi Kaya
142617/08/2019
