Perppu Covid-19 dan Lubang Korupsi
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama pemerintah telah menyetujui Perppu anti krisis efek korona pada Senin (4/5) malam. Pemerintah akan menggunakan Rp 405 triliun dana tambahan yang akan dipakai sebagai jaminan perlindungan sosial, kesehatan, program pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan serta stimulus Kredit Usaha Rakyat.
Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilisasi Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease (Covid-19) tersebut selanjutnya akan dibawa dalam rapat paripurna pada pekan yang mendatang.
Sejak awal perppu yang diterbitkan akhir Maret tersebut sudah menuai polemik. Di satu sisi, ada kepentingan eksekutorial kebijakan yang bersifat segera dengan alokasi anggaran negara yang cukup besar. Sehingga menurut pemerintah diperlukan instrumen hukum yang tegas untuk memayunginya. Namun pada sisi yang lain, perppu tersebut dikhawatirkan bisa menjadi “bumper” bagi praktek-praktek yang keliru dan melanggar hukum.
Pada bagian lain yang lebih tegas, tidak sedikit yang mengaitkannya kekhwatirannya dengan potensi hadirnya korupsi baru dalam perjalanan pemberlakuan perppu tersebut.
Kalau merujuk pada landasan hadirnya perppu, dalam pasal 22 UUD 1945 terdapat empat hal yang diatur terkait perppu. Pertama, kegentingan yang memaksa. Kedua, kewenangan pembentukannya ada di tangan presiden. Ketiga, perppu harus diajukan pada masa sidang berikutnya ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Keempat, jika tak disetujui DPR, perppu akan dicabut. Berdasarkan keputusan MK No.138/PUU-VII/2009 sesuatu bisa dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa yakni: karena adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut butuh kepastian untuk diselesaikan.
Patut disangsikan
Perppu No.1/2020 tersebut semangatnya tentu dilandasi oleh keadaan kahar (force majeour) atau kegentingan yang dialami bangsa ini karena merebaknya pandemik Corona dalam tiga bulan terakhir. Tafsirannya memang subyektifitas presiden. Namun untuk menjaga agar subyektifitas tersebut tetap dalam koridor menjaga semangat nilai-nilai kepublikan maka memang sudah selayaknya hal tersebut selalu dijangkarkan pada konstruksi hukum yang mendasar dan prinsipil sifatnya, yakni taat azas terhadap hukum dan kepentingan bangsa.
Dengan premis tersebut, ada beberapa hal yang “patut” disangsikan dari intensi baik di balik perppu tersebut. Misalnya dalam Pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan perppu mengenai pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian keuangan negara. Di ayat 2, pasal itu seolah memberikan “imunitas” bagi para pejabat pemerintah pelaksana perppu. Bahkan di ayat 3, disebutkan bahwa segala tindakan yang diambil berdasarkan perppu bukanlah obyek gugatan yang bisa diajukan ke pengadilan.
Dengan kata lain, pasal ini memberikan keleluasaan terhadap pemerintah dan atau anggota Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KKSK) (Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk mengambil tindakan-tindakan terutama yang beresiko secara hukum di kemudian hari. Itu sebabnya perppu ini digugat oleh sejumlah tokoh dan akademikus ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada intinya mereka menganggap “kekebalan” hukum tersebut bisa menjadi pintu masuk praktek lancung. Kerisauan ini tidak berlebihan, karena sejauh ini, pesatnya praktek korupsi di kalangan kelompok elite di Indonesia di antaranya muncul dari iktikad kebijakan yang “bercabang” dan sistemik, di mana sebuah produk hukum dinisbikan ketika berhadapan dengan kebijakan publik (Muchsin, 2015). Inilah yang membuat banyak kebijakan publik menjadi “lubang” bagi niat korupsi segelintir orang/kelompok.
Dalam situasi tertentu perlunya antisipasi lewat pilihan kebijakan yang bersifat segera untuk mengatasi keadaan “darurat” tertentu membuat pemerintah diperhadapkan dengan “dilema”, terlebih ketika pilihan tersebut kemudian dipersalahkan oleh hukum seperti yang terjadi pada kasus terdahulu yang menimpa Bank BLBI, Century, dan lain-lainnya. Preseden tersebut yang kemungkinan membuat pemerintah “trauma” sehingga merasa diperlukannya perangkat undang-undang yang bisa menjamin bahwa aspek-aspek pengambilan kebijakan urgen tidak menjadi temuan di kemudian hari, sebagaimana tercermin dalam perppu pandemi Covid-19.
Beda dengan pandemik
Namun membandingkan kasus tersebut dengan apa yang terjadi saat ini tentu tidaklah sepenuhnya rasional. Kasus Bank BLBI, Bank Century, terkait prinsip kehati-hatian (prudential banking) di mana di antara pilihan mau menyelamatkan ekonomi dari kekacauan keuangan sistemik atau mau menyelamatkan dana masyarakat, jelas ada kelompok-kelompok kepentingan yang “bermain” di dalamnya. Di balik kebijakan, tersembunyi kepentingan pihak-pihak, yang sebut saja, dekat dengan kekuasaan yang dapat mengeruk keuntungan dari kebijakan tersebut sehingga intensi menyelamatkan sistem keuangan negara menjadi bias dan berujung pada problem hukum (Muchsin, 2015).
Beda dengan situasi pandemik sekarang ini. Yang ingin diperjuangkan adalah jelas-jelas kepentingan publik sebagai basis pemihakannya. Bagaimana misalnya anggaran negara yang sangat besar itu kemudian bisa didistribusikan secara segera dan tepat sasaran sampai ke level-level terkecil masyarakat, sehingga krisis ekonomi sebagai efek Covid-19 yang mengancam masyarakat kemudian bisa tertangani secara cepat.
Di situ sejatinya moral-etika kebijakan tersebut. Jadi, kecemasan terkait kemungkinan yang muncul berupa keengganan dan ketakutan birokrasi untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat yang bisa berujung temuan, bukanlah alasan yang logis. Sejauh proses dan mekanisme pendistribusian bantuan dilakukan secara transparan, menurut ketentuan hukum yang ada, kemudian bisa dipertanggungjawabkan, maka sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan.
Apalagi mekanisme kontrol publik sejauh ini sudah cukup memadai untuk mengawal seluruh tindakan birokrasi dalam menjalankan tugasnya hingga di level paling rendah. Tahapannya bisa dengan mudah dikontrol dan diverifikasi dengan indikator yang jelas, misalnya terkait administrasi penyaluran dan ketepatan sasaran penerima manfaatnya sehingga goal kebijakan tersebut bisa terwujud.
Lain halnya jika memang awalnya sudah terselip niat buruk, sehingga mekanisme pendistribusian bantuan ke masyarakat kemudian disimpangi oleh praktek-praktek manipulatif yang pada akhirnya memang harus berujung pada pertanggungjawaban di hadapan hukum. Yang kita khawatirkan dari masa depan penerapan perppu Covid-19 ini yakni jangan sampai “jubah imunitas” yang terkandung dalam perppu tersebut berpotensi menjadi “pelindung” bagi perilaku-perilaku deviatif oknum-oknum nakal.
Yang jika benar demikian, maka substansi kemanusiaan di balik roh pemberlakuan perppu tersebut justru akan menjadi ambyar. Bagaimana mungkin sebuah opsi dengan intensi yang baik bekerja dalam situasi dan keinginan yang menafikan tujuan baik itu sendiri.
“Oksimoronitas” perppu ini diharapkan bisa digali dan dikritisi secara jeli dan kritis oleh DPR maupun MK demi mengeliminasi ekses yang tidak diinginkan nantinya. Kita salut dengan sikap pemerintah yang sedemikian cepat menyiasiati krisis, imbas dari pagebluk corona ini.
Namun langkah determinasi tersebut jangan sampai mereduksi keinginan bersama bangsa ini untuk menjalankan praktek pemerintahan yang nir-korupsi, yang bertujuan menyelamatkan kepentingan rakyat dan bangsa.
Artikel Lainnya
-
109021/07/2024
-
179529/03/2020
-
13502/10/2025
-
Pemilu 2024; Reduksinya Nilai Kepemimpinan
47001/10/2023 -
Indonesia Darurat Pernikahan Dini
169216/07/2021 -
Belajar dari Pembelajaran Jarak Jauh
95716/09/2021
