Pasca Demostrasi, Berpijaklah Pada Filsafat Konkret Gabriel Marcel !

Demonstrasi adalah sebentuk public resentment. Sukidi, pemikir kebinekaan, menegaskan bahwa public resentment adalah ungkapan kemarahan publik terhadap situasi ketidakadilan yang dipertontonkan oleh aparatur negara yang bobrok, korup, dan menyimpang. Hal ini nyata dalam tindak-tanduk elite politik yang nyaris tidak mencerminkan predikat sebagai pelayan publik, tapi sebagai kacung keluarga dan kroni-kroninya. Kebijakan-kebijakan politik lebih berorientasi pada upaya mencari kemerdekaan personal daripada keadilan sosial.
Belakangan, potret amukan massa melalui aksi demonstrasi semakin besar, dan hampir tak dapat terbendung. Hal ini dapat kita saksikan dalam platform-platform digital seperti Facebook, Twitter, Tik-tok, Youtube, Instagram, dan lain-lain. Ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Makassar, Bandung, Surabaya, Bali, Solo, dan kota-kota lainnya (Kompas, 31/8/2025). Para demonstran datang dari aneka latar belakang. Ada kalangan mahasiswa. Kalangan akademisi. Serikat buruh. Masyarakat sipil, dan lain sebagainya. Mereka hadir dalam posisi yang sama yaitu korban kebijakan politik yang dangkal.
Betapa tidak, di tengah kasus kemiskinan, krisis ekonomi, dan kelangkaan lapangan kerja, pemerintah malah menunjukan apatismenya pada nasib masyarakat. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang tak masuk akal dan tidak menjawabi kebutuhan masyarakat. DPR yang seyogyannya berperan sebagai penyambung lidah rakyat kini menjelma menjadi penjahat yang tega melukai hati masyarakat. Hal ini nyata dalam kebijakan kenaikan tunjangan dan gaji DPR serta kenaikan pajak yang memungkinkan masyarakat semakin menderita.
Berkonfrontasi pada fakta yang ada, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan politik demikian hanya sekadar mengartikulasi kepentingan elite politik semata. Kebijakan publik tidak lagi bertolak pada teriakan masyarakat yang sedang lapar akan keadilan dan dahaga akan kesejahteraan sosial, dan hasil penilaian dan analisis fakta penderitaan yang sedang dialami masyarakat seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan yang kurang bagus, pembangunan yang tidak merata, angka kemiskinan dan pengangguran yang kian melonjak, dan aneka fakta patologis lainnya. Di sini, egoisme elite politik lebih diutamakan dalam merumuskan kebijakan sedangkan penderitaan masyarakat tidak diperhatikan.
Filsafat Konkret Gabriel Marcel
Rumusan kebijakan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat adalah suatu ide yang dangkal. Hal ini ditentang oleh Gabriel Marcel (1889-1973), filsuf Perancis. Bagi Marcel, cara terbaik dalam merumuskan suatu ide ialah dengan bertolak pada situasi konkret. Polanya ialah bergerak dari kehidupan ke taraf pemikiran, lalu turun lagi dari pemikiran ke kehidupan. Untuk memahami suatu kenyataan, orang harus berhenti berdiri sebagai penonton. Mengambil sikap sebagai penonoton memungkinkan orang memiliki wawasan hidup yang amat sempit dan hanya sebatas dunia individualnya; gagal mengenal dunia, orang lain, dan segala situasi di sekitarnya (Hariyadi,1994:42).
Karena itu, Marcel mengajak orang untuk hadir dalam situasi konkret. Dengan demikian, orang akan lebih mendalami dan merasakan situasi yang terjadi (Hariyadi,1994:40). Dalam kehadiran di tengah situasi konkret itu, orang harus terbuka terhadap realitas yang mewahyukan diri kepadanya. Kemudian, apa yang dialami harus menjadi bahan permenungan agar menghasilkan suatu penilaian yang baik. Dengan demikian, orang akan merumuskan ide yang tentu berkontribusi positif bagi kehidupan baik diri sendiri maupun semua orang. Setiap ide itu yang dirumuskan pun tidak terkesan berada di atas awang-awang, tapi mendarat pada realitas konkret manusia (Hariyadi,1994:45-46).
Makna Politis Filsafat Konkret
Filsafat konkret Marcel di atas memiliki makna politis yang amat mendalam terkhusus dalam merumuskan kebijakan publik, dan menjadi tamparan bagi elite politik yang merumuskan kebijakan dengan bertolak pada pengandaian di dalam ruang sidang yang tertutup. Kebijakan politik harus mengikuti pola yang sama: bergerak dari kehidupan ke taraf pemikiran, lalu turun lagi dari pemikiran ke kehidupan. Karena itu, perumusan kebijakan dalam ruang sidang harus berbasis pada realitas hidup masyarakat, bukan hasil pengandaian elite politik semata dalam ruangan. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat akan menjawabi kebutuhan masyarakat.
Idealisme ini akan terwujud bila elite politik terbuka terhadap realitas hidup masyarakat yang mewahyukan diri pada mereka. Elite politik harus melihat apa yang ada, bukan apa yang seharusnya ada. Misalnya, elite politik harus cermat melihat dan menilai kasus kemiskinan, krisis ekonomi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memprihatinkan, dan kelangkaan lapangan kerja yang memungkinkan anjloknya angka pengangguran di Indonesia. Pasca memahami realitas ini, elite politik harus segera mencari langkah solutif, bukan mengabaikannya.
Kemudian, di tengah gelombang demonstrasi yang semakin besar, elite politik harus terbuka terhadap para demonstran, bukan menyembunyikan dan mengasingkan diri di tanah asing. Elite politik harus mendengarkan aneka keluhan masyarakat terkait kebijakan politik yang harus diubah. Tentu, tindakan itu tidak sebatas mendengarkan, tapi harus segera melakukan revolusi kebijakan agar demonstrasi, kericuhan, bentrokan akan segera berhenti. Tidak ada lagi korban. Tidak ada lagi gedung yang dibakar. Tidak ada lagi rumah elite politik yang dijarah. Hidup berlangsung damai. Negara kembali tenteram.
Artikel Lainnya
-
123929/03/2020
-
115226/07/2020
-
14907/06/2025
-
Catatan Redaksi: Syekh Ali Jaber, Memori Indah untuk Indonesia
155317/01/2021 -
90713/04/2025
-
Mengevaluasi Kebijakan Program Percepatan Penurunan Stunting
21104/05/2024