Merdeka Sejak Dalam Pikiran: Menuju Kemerdekaan Sejati

Merdeka Sejak Dalam Pikiran: Menuju Kemerdekaan Sejati 21/07/2024 1021 view Lainnya warungsatekamu

“Berpikirlah secara bebas, dan bebaslah dari pikiran sendiri.” Penggalan kalimat ini saya temukan beberapa tahun silam ketika berselancar di media sosial, menelusuri berbagai tulisan. Kalimat yang awalnya biasa saja, pada waktu itu hanya saya gunakan untuk gagah-gagahan. Namun, kalimat tersebut, yang dulunya saya anggap biasa saja, seketika menjadi luar biasa ketika saya mulai banyak belajar, sehingga terjadi perubahan cara pandang. Hal ini juga memverifikasi kata-kata yang dulu pernah diucapkan orang-orang bahwa “Selain isi dompetmu, isi kepalamu juga akan mengubah cara pandangmu.”

Tulisan ini saya beri judul “Merdeka Sejak Dalam Pikiran: Menuju Kemerdekaan Sejati”, makna tersiratnya adalah untuk menjadi manusia merdeka, maka berpikirlah !!

Asal Muasal Keresahan

Ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada beberapa tahun silam, sebagian besar perantauan, baik yang kerja maupun kuliah, memilih untuk mudik ke kampung halaman. Banyak aktivitas yang dilakukan di rumah, hal ini tentunya berdampak pada naiknya intensitas berselancar di media sosial; dari sinilah informasi tentang banyak hal masuk, mulai dari informasi yang berisi (pengetahuan) hingga informasi yang hanya membuat berisik. Jiwa observer kemudian muncul ketika melihat kelakuan lucu orang-orang di media sosial; ada yang marah-marah, ada yang seketika menjadi ustad/ustadzah, ada yang seketika menjadi dosen, ada yang berbagi kesenangan, dan ada juga yang sibuk mencari pujian, serta masih banyak lagi kelakuan lucu lainnya.

“Mengapa?” adalah pertanyaan yang muncul pada saat melihat berbagai perilaku orang-orang tersebut. Ternyata jawabannya adalah karena itulah yang diinginkan oleh dirinya (pikiran); ada rasa puas ketika melampiaskan perasaan marah serta sedih, ada rasa senang ketika mendapatkan pujian, ada rasa senang ketika terlihat pintar di media sosial, ada rasa senang ketika terlihat jadi orang benar (suci) di media sosial. Intinya adalah rasa senang. Ada sebuah identitas — konstruksi tentang aku (diri palsu/ego) yang hendak dipuaskan dengan “rasa senang”. Pikiran diidentikan dengan diri, sehingga apa yang terlintas di dalam pikiran, itulah yang kemudian ditanggapi secara reaktif tanpa ada ‘jeda’. Maka tidak heran, yang keluar dari mulut dan perbuatan orang seperti ini adalah angkara murka. Fakta ini mengonfirmasi perkataan kaum arif, “Pikiran adalah pelayan yang baik tetapi tuan yang buruk,” artinya pikiran tidaklah pantas untuk dijadikan sebagai penuntun, sebab fungsi pikiran hanyalah alat yang fungsinya untuk melayani.

Konon dalam cerita Ramayana, penderitaan Rama terjadi ketika Sita — istri dari Rama — diculik oleh Rahwana — penguasa Negeri Alengka. Tokoh-tokoh tersebut dalam penafsiran kaum arif hanyalah simbol dalam diri manusia; Sita sebagai simbol kesadaran, Rama sebagai simbol tubuh/aspek fisik, sedangkan Rahwana sebagai simbol pikiran. Artinya, penculikan Sita oleh Rahwana itu merupakan bentuk lain dari berkuasanya pikiran atas tubuh ketimbang kesadaran, sehingga yang terjadi adalah penderitaan. Di akhir cerita, kemudian Rama berhasil mengalahkan Rahwana di Negeri Alengka — kota ini digambarkan sebagai tempat yang sangat kaya dan kuat, tetapi dikuasai oleh kekuatan jahat Rahwana. Kemenangan Rama atas Rahwana dapat diartikan sebagai pencapaian kontrol atas pikiran-pikiran negatif dan kemunculan kembali Sita (kesadaran).

Berbagai fakta serta cerita di atas yang kemudian memantik penulis untuk merenungi secara serius tentang penggalan kalimat di atas yakni “Berpikirlah secara bebas, dan bebaslah dari pikiran sendiri.”

Berpikir: Subjek dan Pikiran

“Pikiran adalah pelayan yang baik tetapi tuan yang buruk,” penggalan kalimat ini menyiratkan makna bahwa pikiran hanyalah alat, maka harus dipergunakan. Dari sini dapat dimaknai bahwa kegiatan berpikir adalah kegiatan menggunakan pikiran, namun penggunaan sebuah alat untuk tujuan tertentu hanya dapat dilakukan jika alat tersebut dikuasai. Artinya, setelah menguasai, baru bisa digunakan alat tersebut, dan penguasaan merupakan keadaan di mana subjek memiliki otoritas penuh atas sebuah objek.

Dari rumusan tersebut, tentunya yang menjadi objek adalah pikiran. Maka yang menjadi subjek adalah siapa? Yang menjadi subjek adalah ‘kesadaran’ atau dalam bahasa lain ‘diri sejati.’ Apa dan seperti apa kesadaran atau diri sejati itu? Kata Eckhart Tolle, penulis buku The Power of Now, ketika ada yang bertanya kepadanya mengenai apa itu kesadaran, jawabannya adalah “Apapun yang kamu pikirkan tentang kesadaran, itu bukanlah kesadaran,” intinya tak terjelaskan tapi dapat dipahami.

Seperti pada rumusan di atas bahwa penggunaan dilakukan setelah penguasaan, dan penguasaan bisa terjadi ketika telah sadar bahwa ada perbedaan antara pikiran dan diri. Kesadaran ini yang akan membantu tiap orang untuk tidak merespons setiap hal yang ada di dalam pikiran. Dari sinilah kontrol diri atas pikiran bisa dilakukan, atau bahasa lainnya, pikiran sudah bisa digunakan; pada kondisi inilah manusia benar-benar berpikir, tidak lagi dipergunakan pikiran. Uraian ini sejalan dengan salah satu prinsip dalam ajaran stoikisme, yakni dikotomi kendali, prinsip ini menerangkan bahwa manusia tidak bisa mengendalikan hal-hal di luar diri manusia, dan manusia hanya bisa mengendalikan apa-apa yang ada di dalam diri manusia, yakni pikiran.

Hakikat Kemerdekaan

Dalam bahasa Melayu, kata ‘merdeka’ berarti bebas atau tidak terikat. Tidak terikat ini bukan hanya pada hal-hal di luar diri (dipenjara, dijajah, dikurung, dan lain-lain), tetapi tidak terikat juga pada pikiran — ego (konstruksi aku). Ketidakterikatan, atau dalam bahasa para salik (orang yang menempuh jalan sunyi) ketidak-melekatan terhadap pikiran, adalah yang dapat menjadikan setiap orang merdeka dan tentunya bahagia, bukan hanya senang. Merdeka sebagai puncak dari perjalanan juga dapat dimaknai sebagai pencerahan yang dalam bahasa Buddha adalah “akhir dari penderitaan.”

Kondisi tidak terikat dengan pikiran menunjukkan bahwa pikiran telah berada di bawah kendali kesadaran, serta telah digunakan sebagaimana mestinya, yakni sebagai alat berpikir. Jika kondisinya demikian, maka sejatinya perbudakan pikiran atas tubuh telah berakhir atau penculikan Sita oleh Rahvana telah berakhir dengan kemenangan Rama pada pertarungan di Negeri Alengka, pada saat itulah manusia menjadi merdeka.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya