Pemilu 2024; Reduksinya Nilai Kepemimpinan

Pemilihan Umum akan diselenggarakan 14 Februari 2024 mendatang, berbagai manufer politik telah menghiasi panggung politik. Manuver tersebut dapat dilihat di berbagai media, baik media konvensional maupun media elektronik. Banyak cara dan strategi telah dilancarkan, mulai deklarasi pembentukan koalisi, deklarasi calon presiden dan wakil presiden, sampai pada konflik internal dalam koalisi untuk menentukan figur mana yang akan diusung pada kontestasi tersebut.
Semua media tidak luput dari pemberitaan politik mulai dari penghianatan pasangan calon sampai dengan perjodohan politik. Hal yang remeh-temeh seperti gimik-gimik politik, sampai dengan hal yang substansi seperti program prioritas telah mencuat ke publik. Sebetulnya tidak menjadi masalah kalau gimik dilancarkan ataupun pencitraan digunakan sebagai bahan mengkampanyekan diri. Tetapi sampai kapan bangsa sebesar Indonesia ini dipikat oleh hal yang sesederhana itu untuk menjadi pemimpin.
Kenapa hal yang tidak sesuai dengan kapasitasnya sebagai calon presiden atau legislatif sering muncul kehadapan publik? Kenapa bukan kapabilitas dan integritasnya? Karena itulah yang dapat dengan mudah diterima oleh khalayak rakyat Indonesia saat ini. Mereka tentu memahami hukum supply and demand, yang dilihat rata-rata oleh rakyat Indonesia saat ini dari prespektif mana dan perspektif itu pula yang lebih dieksposur.
Kalau ruang publik sudah dihegemoni dengan hal-hal yang seperti ini, Indonesia akan tetap begitu-begitu saja, tidak akan ada perubahan yang signifikan. Perubahan ke arah yang lebih baik akan terjadi kalau ide dan gagasan yang melekat pada sosok calon pemimpin yang dijual. Tetapi ide hanya akan menjadi bualan kalau tidak diimplementasikan dalam kebijakan publik, kemampuan implementasi dan konsistensi kampanye bisa dilihat dari track recordnya. Erving Goffman dalam teori Dramaturgi, mengatakan bahwa untuk melihat calon pemimpin jangan hanya melihat sesuatu yang ditampilkan sekarang, tapi lihatlah sesuatu yang tidak ingin ditampilkan dan masa lalunya.
Melihat ruang publik saat ini, saya teringat kata Fahri Hamzah yang mengatakan bahwa sistem nominasi bakal calon eksekutif dan legislatif sudah gagal di negara ini. Karena untuk melegitimasi seseorang pantas menduduki jabatan publik yaitu popularitas bukan elektabilitas ataupun kapabilitas. Sehingga yang muncul di ruang publik adalah orang yang dengan tingkat popularitas yang tinggi, walaupun bukan melalui kaderisasi yang baik.
Partai politik juga turut mengikuti paradigma ini. Sekarang partai politik terkesan pragmatis mencomot orang di luar partai untuk dijadikan capres ataupun caleg, tanpa proses kaderisasi. Yang menjadi soal ialah setiap partai politik mempunyai ideologi masing-masing. Ketika cara pragmatis dilakukan untuk kepentingan sesaat dengan merekrut orang yang populer bukan kader untuk mengikuti kontestasi. Maka originalitas kader untuk memperjuangkan ideologi partai tidak optimal, sehingga arah partai politik di parlemen nantinya tidak jelas.
Pragmatisme partai politik yang sempat membuat publik ramai ialah Partai NasDem dengan Capresnya Anies Baswedan. Dengan mengusung nama koalisi perubahan Surya Paloh mendeklarasikan Anies Capres dari Partai NasDem. Aneh sebetulnya mengingat Partai Nasdem sendiri masih tergabung dalam koalisi pemerintah saat ini. Perubahan seperti apa yang ingin dilakukan kalau kadernya saat ini masih bekerja untuk keberlanjutan. Kita bisa menilai bahwa di sisa periodisasi hingga 2024, dua menteri dari NasDem bekerja untuk sesuatu yang mereka sudah tahu akan diubah nantinya kalau capresnya mereka menang. Mengingat Anies antitesis dari Jokowi itu sendiri.
Mencomot figur bukan hanya untuk dijadikan sebagai capres, cawapres atau caleg saja. Tetapi bisa juga digunakan sebagai simbol untuk menaikan popularitas dan elektoral partai. Lihat saja yang terjadi di internal Partai Solidaritas Indonesia, secara sadar dan meyakinkan mereka mengangkat Kaesang sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PSI. Kaesang sendiri baru saja bergabung dan langsung mendapatkan tanggung jawab yang besar untuk menahkodai sebuah partai politik.
Tidak masalah kalau Kaesang sendiri sudah melalui proses pengkaderan yang baik sehingga tidak hanya dijadikan simbol untuk mendapatkan dukungan. Tetapi didukung dengan kompetensi dirinya untuk memimpin. Ini bukti bahwa PSI dan NasDem bukan partai kader yang baik, sehingga tidak menghasilkan calon pemimpin yang diperhitungkan. Lebih membingungkan lagi PSI yang selama ini lantang berteriak anti politik identitas, mereka juga yang menggunakan indentitas untuk kepentingan partai.
Bagi saya politik identitas bukan soal agama semata, tetapi praktik yang menyimbolkan diri dari relasi keluarga adalah bagian politik identitas, karena mematikan rasionalitas berpikir dan daya kritis dengan simbol yang diidentikan dengan sosok yang dianggap besar. Sehingga kreativitas lumpuh dan pragmatisme menguat sebab adanya figur yang identik, padahal kompetensi dan integritasnya belum tentu sama. Dari sekian banyak stok anak muda yang kompeten dan berpengalaman dalam internal PSI, kenapa Kaesang yang pilih, kalau bukan efek kepuasan publik terhadap kepemimpinan Jokowi.
Praktik politik identitas yang berlandaskan pada agama saat ini seakan hilang dari ruang publik, lantas banyak orang yang bertanya kemanakah mereka sekarang? Saya tertarik dengan pendapat Cak Islah Bahrawi, yang mengatakan bahwa kelompok radikalisme saat ini sengaja disembunyikan oleh Prabowo untuk meraih simpati kelompok moderat. Belajar dari kekalahan masa lalu bahwa kekuatan voters dari kelompok radikal tidak akan menang dan berakibat pada menjauhnya kelompok moderat. Cukup 25% pemilih moderat ke Prabowo maka kekurangan di tahun 2019 akan terpenuhi.
Prabowo saat ini memang tergabung dalam kabinet kerja Presiden Jokowi, sebagai menteri. Tetapi pengalaman masa lalu tidak lantas membuat topeng Prabowo yang menggunakan politik identitas di masa lalu sirna. Justru pengalaman masa lalu yang dijadikan pertimbangan untuk menentukan masa depan (Teori Dramaturgi;Erving Goffman). Jikalau betul kelompok radikalisme masih ada di belakang Prabowo, yang dikhawatirkan ialah kebijakan Prabowo yang akan mengakomodasi dan mentolerir ketika terpilih jadi presiden. Distribusi kekuasaan Kebijakannya juga nanti akan banyak diisi dan dipengaruhi oleh kelompok intoleran tersebut.
Miris melihat kualifikasi pemimpin yang yang ada saat ini, integritas, kompetensi dan track record seakan tidak menjadi kriteria utama lagi. Untuk jadi pemimpin di saat ini modal simbol saja sudah cukup apalagi ditambah dengan finansial, semakin kuat pula potensinya. Praktik Demokrasi sekarang seakan menjadi boomerang untuk kualitasnya sendiri, kesetaraan, keadilan dan kebebasan yang diakomodasi dalam nilai demokrasi, justru kembali menjadi kontradiksi satu sama lain. Demokrasi sekarang sudah terkontaminasi oleh praktik buruk yang dilakukan oleh para oligarkis, dengan berbagai alasan.
Demokrasi kita lebih banyak memberi kesempatan untuk orang yang populer untuk menjadi pejabat publik. Padahal belum tentu orang populer bisa memimpin, popularitas berbeda dengan elektabilitas. Orang yang populer seperti artis, komedian, publik figur, influencer, anak politisi, dan lain sebagainya, telah mengambil ruang publik dan menghegemoni opini publik. Sehingga orang punya kapabilitas untuk jabatan itu kalah bersaing hanya karena mereka dikenal oleh kalangan tertentu saja.
Artikel Lainnya
-
38529/10/2023
-
37316/12/2024
-
83812/07/2024
-
54511/08/2024
-
516508/07/2020
-
99806/05/2020