Pembangkang Larangan Mudik Yang Lagi Deg-Deg Serrr...

Admin The Columnist
Pembangkang Larangan Mudik Yang Lagi Deg-Deg Serrr... 24/04/2021 3774 view Iktirad Iyeng Pinterest.com

Anda-anda yang tetap ingin mudik tentu saat ini lagi deg-deg serrr… “Bagaimana kalau nanti dicegat petugas di jalan? Bagaimana kalau begini dan begitu…?”. Supaya psikologis tidak capek, rehat sejenak yukk.. Saya ingin bercerita tentang bagaimana saya membayangkan mudik saya tahun ini. Saya yakin kita punya banyak kesamaan.

Pada sebuah malam saya bertanya kepada peserta kelas virtual yang saya asuh, "Tahun ini, mudik apa gak mudik?". Sebagian besar bersorak "mudikkk....!". Lalu saya bertanya lagi, “kenapa, bukankah pemerintah sudah mengharamkan mudik lebaran?” Mereka bilang, karena mudik adalah budaya Indonesia dan tahun kemarin sudah tak mudik.

Percakapan ringan tiga minggu lalu itu menghidupkan kembali memori saya tentang mudik. Sudah belasan tahun saya merantau ke Jogja, belasan kali pula menikmati siksaan mudik.

Yang terekstrim, saya pernah mudik menggunakan bus ke Sumatera sana, dua hari tiga malam. Sudah pun sampai di rumah, pengalaman liar selama perjalanan masih bermain-main di sekitar saya. Jalan lintas Jawa-Sumatera menari-nari di pelupuk mata sebelum saya terlelap. Terkadang dipan pun terasa oleng seperti kapal Fery penyeberangan Merak-Bakauheni yang sedang dibuai gelombang. Dan tentu saja, bayangan tentang toilet milik restoran-restoran lintas Sumatera yang joroknya subhanallah itu membuat penganan berbuka puasa menjadi berkurang kelezatannya. Tapi ya gitu, saya selalu mudik tiap lebaran. Boleh dibilang, saya itu pemudik garis keras, sama seperti anda-anda sekalian.

Namun tahun ini suasananya berbeda. Pemerintah mengharamkan mudik untuk mencegah penambahan kasus Covid-19. "Tahun ini lebaran virtual dulu ya..", begitu pemerintah membujuk. Pemerintah juga menyiram perusaahaan belanja online dengan ratusan miliar agar rayuan mereka lebih bergairah. Tentu supaya saya tak mudik dan hanya lebaran virtual saja.

Padahal, yah, bagaimana ya... Semua anda juga tahu, lebaran virtual itu sama sekali tak masuk akal. Seperti iklan-iklan di tv itu. Memangnya ada di antara anda yang dengan mencium gambar tangan orang tua di layar Hp, mengirim hadiah ke saudara di kampung lewat aplikasi belanja online, atau da-da da-da di layar gadget dengan kerabat di desa sambil duduk di meja makan, maka dahaga mudik terpenuhi? Jelas tak ada kan?

Karenanya saya membangkang, sama seperti anda.

Mudik itu budaya Indonesia. Dan yang namanya budaya, ya itu tak lain dari acuan berperilaku yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat luas secara berulang dalam waktu lama untuk menyelesaikan persoalan bersama.

Di kampung orang tua saya dulu, seorang bibi pernah bilang, "kalau maghrib jangan lewat di jembatan itu, ada hantunya. Hitam, tinggi besar, mata merah menyala.. Kalau sempatlah terpeluk olehnya, hilang kau dibawanya!".

Tak jelas dari mana cerita mengerikan tersebut berasal, dan entah benar entah tidak pula. Tapi yang pasti di jembatan itu memang banyak hewan liar. Terlebih bila hari mulai gelap dan air sungai merangkak pasang. Kalau tak hati-hati, salah-salah kaki kita bisa diemut buaya. Jadi cerita mistis tadi sebetulnya untuk menjaga supaya jangan ada yang menjadi korban hewan buas.

Anda yang berasal dari Jawa dan pulau lainnya pasti sama. Saya pernah mendengar cerita mistis tentang hutan yang membuat masyarakat sekitarnya terbiasa menjaga kelestarian pepohonan. "Jangan sembarangan tebang pohon di sana, kalau tak mau celaka!", biasanya bunyi peringatannya begitu. Ancaman yang ngaudubillah angkernya ini sebetulnya bermaksud menjaga sumber mata air supaya sawah-sawah masyarakat tetap terairi.

Jadi yang namanya budaya ya sesederhana itu. Solutif dan diterima masyarakat luas.

Begitu pula dengan mudik. Setiap keluarga punya ikatan sosial di antara anggotanya dan dengan keluarga lain di sebuah desa. Karena beberapa orang dari keluarga tersebut pergi merantau, maka muncullah budaya mudik supaya tiap tahun bisa bertemu kembali. Jadi mudik itu semacam kebiasaan yang diterima dan dilakukan orang-orang untuk menyegarkan kembali ikatan sosial.

Lantas ketika pemerintah mengharamkan mudik dan menawarkan lebaran virtual, lengkap dengan iklan-iklan belanja online yang kian hari kian memanjakan itu, saya ya terkekeh-kekeh…. Karena kehidupan virtual setahun terakhir gagal menciptakan budaya digital, aktivitas virtual belum bisa sepenuhnya mengganti aktivitas dunia fisik yang semua orang merasa horee melakukannya.

Covid-19 membuat kehidupan kita sangat virtual setahun terakhir. Itu betul. Tapi ya maaf saja, yaa.. Kebiasaan virtual tersebut solutif bagi sebagian urusan dan orang saja.

Betul, kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan tetap bisa bekerja, kegiatan belajar-mengajar terus berjalan. Tapi berapa banyak yang berbahagia dengan kehidupan virtual yang baru itu?

Teman saya mengeluh tuh di grup WhatsApp, "work from home ini membuat mumet... si bos jadi bisa ngasih kerjaan 24 jam sehari, termasuk sabtu-minggu…". Istri saya juga sama, "sekolah di rumah ini malah merepotkan orang tua... PR jadi banyak, aneh-aneh pula..". Guru juga serupa, "… orang-orang melihat guru itu enak. Kerjanya di rumah, cuma pakai Hp, tapi gajinya lancar. Mereka gak tahu pusingnya guru mempersiapkan materi…".

Seperti yang saya bilang tadi, tak mungkin sebagian besar kebutuhan hidup di dunia fisik bisa dilakukan secara virtual dengan bahagia. Artinya, jangan berharap lebaran virtual itu bisa menggantikan budaya mudik, lha wong setahun terakhir banyak yang tersiksa kok oleh onlen-onlenan itu.

Trus lagi, bagi saya, yang namanya mudik itu tak akan pernah bisa tergantikan oleh teknologi informasi apapun. Mudik itu artinya merasakan eforia selama perjalanan pulang, suasana hangat di kampung halaman, dan bara optimisme ketika kembali ke perantauan.

Mana ada platform media sosial yang bisa membuat dada saya berdegup kencang ketika melangkah keluar rumah menuju terminal, stasiun, bandara, atau pintu mobil di hari mudik. Belum lagi suasana perjalanan. Di sudut jendela kendaraan, segala macam bayangan menyenangkan ketika sampai di tujuan nanti beradu lintas dengan hamparan pemandangan. Atau terjebak macet di pantura yang rasanya wowww... Atau juga butiran-butiran pulau selama menyeberangi Selat Sunda.

Teknologi informasi juga tak akan bisa menghadirkan suasana di kampung halaman. Rumah panggung tua dengan ruangan tengah yang luas. Pilar-pilar kayu gagah berdiri menjadi penyanggahnya, lengkap dengan atap usang sebagai peneduh. Cahaya matahari menyelinap membasuh meja rombeng. Tampak hidup oleh bau asap dapur berbahan kayu bakar dan suara nyiitt… nyittt serangga hutan di belakang rumah. Dalam suasana demikianlah perbincangan hangat antara saya dan kerabat terjadi. Media sosial jelas tak akan pernah bisa menghadirkan nuansa ini di rumah saya di perantauan.

Dan tak akan pernah pula ada teknologi yang mampu memberi bara optimisme ketika saya kembali pergi merantau. Pertemuan, percakapan dan nasehat wajah-wajah keriput orang tua akan bergejolak di dada selama perjalanan kembali menuju perantauan. Sensasinya amat khas.

Saya itu sama seperti anda semua, punya banyak alasan untuk membangkang larangan mudik. Pemerintah silahkan mengharamkan mudik lebaran, namun saya akan tetap mudik. Tak ada yang namanya lebaran virtual kalau kehidupan digital setahun terakhir adalah siksaan. Dan tak akan pernah ada ceritanya teknologi informasi mampu menghadirkan pengalaman mudik ke rumah saya di perantuan.

Karena itulah saya kini mulai membayangkan persiapan mudik tahun ini secara serius. Karena mungkin inilah kali terakhir saya mencecap nikmatnya mudik. Sebab beberapa hari setibanya di kampung, orang tua dan saudara saya akan terkapar di ruang ICU. Tenaga medis berbaju hazmat menatap saya sambil menggelengkan kepala, tanda bahwa mereka akhirnya tiada. Mayat mereka dibungkus dan langsung dikebumikan tanpa saya boleh memberi kecupan terakhir, bahkan mendekatpun jangan.

Tahun depan saya pasti mudik lagi. Tapi tentu semua akan berbeda. Eforia di perjalanan mudik akan berganti dengan perasaan remuk. Percakapan hangat di kampung halaman pasti berubah menjadi suram, semua kerabat menatap saya dengan tajam. Dan tak ada bara optimisme yang saya bawa ke perantauan, hanya pedih. Semua lantaran saya menghadiahi para kerabat seekor monster laknat pencabut nyawa pada mudik sebelumnya. Dan demikian mudik-mudik saya seterusnya.

Yah… begitulah. Saya membayangkan mudik tahun ini adalah mudik indah saya yang terakhir. Dan seperti yang saya bilang tadi, kita punya banyak kesamaan kan?*** 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya