Jokowi 404 Not Found: Kontroversi dalam Media Aspirasi
Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Tersurat bahwa berpendapat guna menyalurkan aspirasi merupakan kebebasan setiap orang dalam negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Sarana yang ada pun bermacam-macam, seperti televisi, radio, media sosial, maupun seni dan sastra.
Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan mural bergambar wajah yang mirip Presiden Jokowi yang berada di Batuceper, Kota Tangerang. Pada bagian mata wajah tersebut ditimpa cat merah dengan tulisan putih “404: Not Found” yang akhirnya ditimpa cat hitam oleh aparat setempat. Aparat mengatakan bahwa mural tersebut dinilai menghina presiden sebagai lambang negara.
Perihal lambang negara, jelas tercantum dalam Pasal 36A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu saja alasan dari aparat tersebut menimbulkan banyak kontra dari masyarakat karena tidak ada undang-undang yang menyebutkan bahwa presiden adalah lambang negara.
Aparat kepolisian juga sempat melakukan pencarian terhadap pelaku yang menggambar mural tersebut. Hal tersebut mengundang tanggapan dari pengamat komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menilai bahwa sebelum dilakukan pencarian, aparat kepolisian dan pemerintah daerah seharusnya menjelaskan terlebih dahulu letak kesalahan mural tersebut.
Sebelumnya, di Jalan Diponegoro, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur juga terdapat mural yang bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Mural itu juga berujung penghapusan oleh aparat setempat karena dinilai melanggar Perda Pemkab Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 mengenai larangan untuk mencoret-coret tembok.
Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubaedilah Badrun juga turut menanggapi fenomena ini. Ubaedilah menyatakan bahwa mural merupakan ekspresi jiwa, perasaan, maupun aspirasi melalui suatu lukisan di tembok yang merupakan suatu karya seni. Sebagai suatu karya seni, mural yang tak jarang mengandung kritik dan aspirasi hanya bisa dinilai dan diperdebatkan, bukannya dihakimi maupun dihapus tanpa diskusi.
Apabila dilihat, ruang demokrasi di Indonesia terasa semakin sempit. UU ITE siap menjerat masyarakat yang menyalurkan kritik dan aspirasinya melalui media sosial dengan dalih pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Demonstrasi juga tidak memungkinkan untuk dilakukan di tengah pandemi yang masih berkelanjutan. Kemudian, mural muncul sebagai salah satu sarana yang menjawab kebuntuan ruang demokrasi tersebut.
Namun, respon pemerintah yang terkesan membungkam dan tidak mendengarkan aspirasi masyarakat seakan memperlihatkan bahwa pemerintah bersikap antikritik. Negara yang menggaungkan kalimat, "kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat" ini merespon aspirasi masyarakat dengan dalih keamanan dan ketertiban.
Bukankah hal ini membuat kebebasan berekspresi dan berpendapat semakin sempit? Lalu, dimanakah tempat yang bebas untuk berpendapat? Dimanakah ruang yang layak untuk menyalurkan aspirasi?
Staf Khusus Menteri Sekretaris negara Bidang Komunikasi, Faldo Maldini, menyangkal dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah antikritik. Pemerintah selalu membuka ruang dialog bagi publik, termasuk mural.
Ia juga mengatakan bahwa mural yang berujung penghapusan itu pasti melanggar peraturan yang ada. Namun, dalam kasus mural 404: Not Found, tidak ada transparansi terkait kesalahan apa yang ada pada mural tersebut sehingga publik tidak mendapatkan kejelasan mengapa mural tersebut dihapus.
Dilansir dari BBC Indonesia, Ubedilah Badrun, sebagaimana diungkapkan oleh Damar Juniarto, kritik melalui mural bukanlah hal yang membahayakan. Berdasarkan analisisnya, aparat akan menindak suatu peristiwa didasarkan pada tiga hal, yakni jika hal tersebut melanggar aturan, membahayakan warga sekitar, atau adanya perintah dari atasan.
Entah alasan keberapa yang membuat mural tersebut ditindak oleh aparat. Bukankah bisa dikatakan hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Faldo Maldini?
Aspirasi menjadi atribut yang sewajarnya ada dalam negara demokrasi. Namun, bagaimana jika aspirasi akhirnya berujung pada suatu penghapusan, represi, dan ancaman kriminalisasi? Bukankah hal tersebut termasuk dalam pembungkaman kebebasan ekspresi dan aspirasi? Apakah dengan adanya pembungkaman tersebut menyiratkan bahwa penguasa seakan takut kekuasaannya akan terancam?
Berkaca pada fenomena yang terjadi, aspirasi seharusnya mampu direspon dan ditanggapi oleh pemerintah bukannya dibungkam karena aspirasi merupakan hak setiap warga negara tanpa terkecuali. Kebebasan berekspresi seharusnya juga menjadi perhatian dan hal yang wajar dan tidak hanya menjadi ilusi yang hanya digaungkan di negara demokrasi, Indonesia.
Artikel Lainnya
-
110326/05/2022
-
144618/09/2021
-
83705/12/2021
-
Mengukur Kinerja Pemerintah dari Aspek Kebijakan
113803/04/2022 -
Tontonan (Belum Tentu) Jadi Tuntunan
144618/09/2021 -
169813/07/2020
