Hidup Hanya Menunda Kekalahan
Pertama kali saya memikirkan kematian adalah ketika hal tersebut menjemput guru saya. Waktu itu, saya masih siswa kelas 6 Sekolah Dasar yang baru saja melewati tahap Ujian Nasional. Saya dan teman-teman masih cemas menunggu keluarnya hasil ujian. Namun, kabar kepulangan guru kami justru lebih dulu sampai di telinga kami.
Guru saya suka memperhatikan dan menghargai semua orang termasuk anak-anak. Beliau merupakan salah satu orang yang pernah membuat saya merasa tersanjung karena diajak berbicara dengan bahasa yang sangat santun. Ketika memberi nasihat, ketulusannya mampu membuat kami merasa bahwa beliau benar-benar menginginkan kebaikan untuk kami.
Saya juga pernah diundang menginap di rumah beliau beberapa kali untuk belajar. Oleh karena itu, kepulangan beliau membuat saya merasa kehilangan. Karena masih kecil, saya belum bisa mengartikulasikan perasaaan saya dengan benar. Namun saya memikirkannya lagi, waktu itu kematian mengajari saya satu hal: saya tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan orang yang telah dijemput-Nya.
Pengalaman selanjutnya adalah ketika kematian mendatangi kakek saya. Interaksi saya dengan kakek sebernanya tidak terlalu banyak. Beliau lebih sering menghabiskan waktu di ladang dan banyak diamnya saat pulang ke rumah. Tentu saja saya masih memiliki momen-momen di mana saya merasa beliau benar-benar peduli kepada saya.
Hanya saja, waktu itu saya merasa aneh. Kami bersedih dengan kepulangan kakek. Namun beberapa hari setelahnya, saya harus kembali melanjutkan rutinitas saya di kota Makassar sebagai mahasiswa. Segala rutinitas seakan tidak peduli jika saya masih berkabung atau tidak.
Karenanya, saya jadi membayangkan sesuatu yang menyakitkan di masa depan. Setelah saya dikuburkan nanti, dunia masih akan terus berlanjut seperti biasa. Hal yang membuat saya tercekat adalah semua itu akan terjadi tanpa saya lagi di dalamnya.
Kepulangan kakek lantas diikuti beberapa orang lagi dalam keluarga saya. Ayah dari nenek saya berpulang setahun setelah kepergian kakek. Setahun setelahnya, kini giliran adik dari nenek saya yang dijemput oleh kematian. Untuk alasan tertentu, kepulangan paman dari ayah saya inilah yang paling berkesan.
Saya sudah berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir waktu itu. Karena terlibat di beberapa organisasi yang menekankan pentingnya membaca, saya jadi sempat bertemu dengan beberapa buku yang membahas tentang kematian. Kematian kakek saya (bagi orang Bugis, saudara laki-laki dari nenek juga bisa dipanggil kakek) jadi lebih terasa. Apalagi, saya termasuk orang yang ada di sampingnya ketika keluarga kami masih ragu-ragu tentang kepulangannya. Saya juga turut menggali kubur, memasukkannya ke liang lahat, dan menginjakkan tanah di atas tubuh beliau.
Sepulang dari pemakaman, saya mendengar ibu saya mengatakan sesuatu yang kurang lebih seperti ini, “Rasanya saya masih tidak percaya kalau Puang Haji sudah tidak ada lagi. Setelah semua orang pulang dari pemakaman, sekarang beliau sendirian di dalam sana. Kau tahu? Kesendirian dalam kubur itulah yang sering saya takutkan dari kematian.”
Waktu itu, kesadaran bahwa semua orang akan dijemput oleh kematian jadi semakin terasa. Tidak peduli hari ini saya masih sehat, tidak ada jaminan kalau kematian tidak akan mendatangi saya besoknya. Kakek saya meninggal tanpa mengeluhkan sakit apapun sebelumnya. Beliau hanya mengatakan ingin makan Kapurung. Setelahnya, beliau pun pergi ke pasar membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Sayangnya, dia tidak sempat menghabiskan Kapurung dalam mangkuknya karena kematian lebih dulu datang menjemputnya.
Derai-derai Cemara dan Kematian yang Semakin Akrab
Selain kepulangan orang-orang di sekitar saya, hal lainnya yang membuat saya memikirkan kematian adalah buku Chairil Anwar. Puisi-puisinya yang dikumpulkan dalam Aku Ini Binatang Jalang sedikit banyak membentuk persepsi saya tentang kefanaan hidup manusia. Saya sendiri membaca buku tersebut beberapa bulan setelah kepulangan kakek saya (adik dari nenek).
Setelah membaca ulasan Arief Budiman mengenai puisi-puisi tersebut, saya jadi lebih sering memikirkan kematian dalam karya Chairil Anwar. Saya jadi suka membayangkan apa yang Chairil rasakan mengenai kematian dalam setiap karyanya. Terutama sekali dalam puisinya yang berjudul Derai-derai Cemara. Puisi tersebut ditulisnya sebagai berikut;
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Puisi tersebut ditulis pada tahun 1947. Chairil sendiri berpulang pada tahun yang sama, ketika penyakit semakin menggerogoti tubuhnya yang merapuh. Namun kata Sapardi DJoko Damono, keniscayaan kepulangan tampaknya telah disadari Chairil sejak lama. Puisi pertamanya yang berjudul "Nisan" dan diterbitkan pada tahun 1942, memang telah menunjukkan perenungannya mengenai kepulangan, yang waktu itu mendatangi neneknya, di mana dukanya, dirasanya maha tuan bertakhta.
Hanya saja, saat itu, Chairil masih bertikai dengan kenyataan mengenai kematian. Sebab seperti katanya, dulu memang ada suatu bahan yang tidak menjadi dasar perhitungan kini. Akan tetapi, Chairil yang menulis Derai-derai Cemara adalah Chairil yang sudah berbeda. Dalam puisi tersebut, dia sepertinya sudah menemukan cara untuk berdamai dengan kematian yang manusia memang selalu berusaha lari darinya.
Saya sendiri memahami larik “hidup hanya menunda kekalahan” dalam konteks kematian. Semua usaha manusia membentengi diri dengan kesehatan, kekayaan, kekuasaan, dan pengetahuan, hanyalah usaha menunda kekalahan. Kalau pun kita mampu menjaga kebugaran dan fungsi tubuh dalam rentang waktu tertentu, itu tidak lain hanya penundaan kekalahan. Meskipun hidup digenapkan sampai seribu tahun lagi, datangnya kematian tetap menaklukkan.
Dari sini, saya jadi berpikir bahwa sebaik-baiknya cara menyikapi kematian bukan dengan cara terus menjauh darinya. Sebaliknya, kita harus terus mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Suatu saat, hidup akan dikalahkan, jadi hidup hanya untuk bertahan hidup tak bisa dijadikan pegangan. Bait Chairil Anwar telah menghancurkan pandangan ini. Oleh karena itu, kita harus mencari sesuatu yang lebih penting dari sekedar bertahan hidup, yaitu tujuan hidup.
Jika memiliki ini, sekalipun yang diyakini itu pasti akan datang, semoga kita tak lagi memandang hidup sebagai penundaan kekalahan semata. Hidup mestinya menjadi lahan pacu mewujudkan tujuan hidup sebelum “pemutus kenikmatan” tersebut datang menjemput. Hanya saja, kita sangat mudah terlupa dengan kenyataan ini. Kita senang sekali berlomba dan bermegah-megahan dalam usaha bertahan hidup.
Namun setelah mendapatkan makanan, pakaian, dan rumah, kita seringkali tak tahu lagi harus melakukan apa. Kita pun akhirnya kembali tergoda untuk menumpuk sebanyak-banyaknya. Lalu ketika tiba saatnya kepulangan, kita pun baru tersentak, seolah baru terbangun dari tidur panjang. Seperti kata Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis asal Denmark, beberapa orang memang baru terbangun dan menyadari hidupnya saat kematian menjelang.
Akan tetapi, karena kita sendiri adalah sesuatu yang fana, menetapkan tujuan hidup hanya untuk kesuksesan sendiri tetap akan berakhir dalam keabsurdan. Begitu juga halnya dengan menetapkan tujuan yang dibatasi waktu atau umur dunia. Segala ini, pada akhirnya akan tetap didekati kekalahan.
Sebab itu, sebaik-baiknya tujuan adalah yang difokuskan pada sesuatu di luar diri dan mampu melintasi batas-batas waktu. Kalau bisa, semoga kita mampu menemukan sesuatu di luar diri kita yang tidak didekati kefanaan dan sebuah tempat di mana selang-selang waktu tidak lagi menjadi persoalan.
Di era pandemi, berita kepulangan semakin sering terdengar. Kita masih harus bersyukur jika kematian masih belum mendatangi kita dan orang-orang terdekat kita. Sebab itu artinya, kita masih bisa memahami kepulangan orang lain sebagai pesan. Bahwa suatu saat nanti, kita semua juga akan menyusul mereka.
Berita kepulangan ini telah ada di tahapan pengetahuan dalam keyakinan kita. Seiring berlalunya waktu, berita kepulangan akan terus bergerak menuju tahap penyaksian mata kepala dalam keyakinan kita. Di hari itu, semoga kita tidak termasuk dalam bagian dari orang-orang yang menyesal.
Semoga kita semua bisa selamat!
Artikel Lainnya
-
93911/10/2023
-
360812/09/2024
-
318422/02/2020
-
Menyoal Patologi 'Lupa Diri' Pilkada
228311/02/2020 -
‘New Normal,’ Lelucon Lama Konservatif yang Terus Direplikasi
161931/05/2020 -
Model Pendidikan Menuju Indonesia Emas
54604/05/2024
