Refleksi Perlindungan Anak Tahun 2019: Tahun Buram Dunia Perundungan
Tahun 2019 segera berakhir dan hanya tinggal menunggu hari. Bagi anda yang memiliki anak-anak usia sekolah, ada yang patut kita renungkan bersama mengenai perlindungan terhadap anak pada tahun ini, terutama pada kasus perundungan.
Sudahkah anda, keponakan anda, anak tetangga anda dan juga anak-anak di lingkungan anda tinggal atau bekerja, bebas dari dunia perundungan yang sering kali terjadi pada tahun 2019? Sudahkah anak-anak anda hidup nyaman dan aman di lingkungannya tanpa bayang-bayang perundungan?
Sepertinya jalan menuju rasa aman dan nyaman bagi hidup anak-anak Indonesia untuk terbebas dari perundungan masih jauh dari harapan. Tahun 2019 ini bisa kita katakan menjadi tahun buram dunia perundungan kita.
Betapa tidak, kejadian kasus perundungan terjadi secara susul menyusul dan silih berganti. Di sekitar bulan April tahun 2019 ada peristiwa yang menghebohkan masyarakat mengenai kasus perundungan dan pengeroyokan yang terjadi pada siswi SMP berinisial AU yang dilakukan oleh sekolompok anak SMA di Pontianak.
Kasus perundungan ini kemudian cepat menyebar ke media massa dan media online. Dari informasi yang berkembang di dunia maya saat itu, netizen merasa geram pada kasus ini, lalu mereka pun menyuarakan tagar #JusticeForAudrey sebagai dukungan.
Setelah peristiwa di Pontianak tersebut, muncul lagi kasus perundungan di Tangerang Selatan sekitar Agustus. Dilaporkan bahwa 13 siswi kelas XI SMK Negeri 7 Tangerang Selatan menjadi korban perundungan oleh sembilan orang kakak kelasnya. Mereka dikumpulkan di sebuah lapangan di kawasan Pondok Cabe, kemudian ditampar dan dimintai uang oleh kakak kelasnya.
TheColumnist.id lewat intermediate writer-nya yaitu Fajar Ruddin juga pernah melaporkan dan membahas secara bernas mengenai kasus yang menimpa seorang bocah YSS (14) yang nekad mengakhiri hidupnya karena dirundung teman-temannya. Padahal prestasi anak tersebut begitu bersinar.
Beberapa peristiwa di atas adalah kasus perundungan pada tahun 2019 yang mencuat ke publik, dipastikan bahwa kasus perudungan yang terjadi bukan hanya itu saja namun pasti masih banyak lagi. Hal ini seperti fenomena gunung es, dimana yang mencuat di permukaan hanya segelintir saja tapi senyatanya kasus ini banyak terjadi.
Efek dari perundungan itu sendiri selain bisa menyakiti secara fisik, mental dan sosial kasus perundungan juga bisa mengakibatkan kematian, entah itu karena bunuh diri dimana anak yang selalu dirundung menjadi minder, tak percaya diri, merasa bersalah, malu dan memilih mengakhiri hidupnya karena tak tahan selalu dirundung atau juga kematian karena peristiwa perundungan disertai dengan kekerasan.
Kita sepakat bahwa kasus perundungan terutama pada anak apapun bentuknya harus kita lawan dan kita akhiri. Penegakan secara hukum, jika memang terbukti benar bahwa pelaku perundungan itu bersalah harus kita tegakkan. Namun demikian jika hal ini kita lakukan maka ini pun bisa mengakibatkan persoalan baru sebab tidak jarang kasus perundungan yang terjadi adalah antara anak dengan anak. Artinya bahwa antara yang melakukan perundungan dan yang dirundung adalah sama-sama masih anak-anak.
Jika kasus tersebut kemudian ditarik ke ranah hukum akan mengakibatkan permasalahan lain yang berhubungan dengan perlindungan anak juga, yaitu anak yang berhadapan dengan hukum. Padahal pada usia anak tersebut seharusnya mereka berada di bangku sekolah menikmati masa-masa pertumbuhan dan perkembangan sebagai anak dan remaja dengan belajar, bukan kemudian harus berhadapan dengan hukum.
Hukuman bukan sesuatu yang ideal untuk melakukan pembinaan terhadap anak. Hukuman, apa lagi penjara bisa berdampak negatif bagi anak kelak di kemudian hari. Anak-anak yang hidup di penjara bisa tumbuh menjadi calon-calon kriminal profesional jika mereka kelak keluar dari penjara, karena anak-anak tersebut terkontaminasi dan tumbuh pada lingkungan penjara yang bisa dikatakan lingkungan yang kurang ideal atau buruk untuk tumbuh dan berkembangnya kepribadian si anak, meskipun anak tersebut melakukan kesalahan dengan melakukan perundungan.
Untuk itu, kita harus mengedepankan prinsip pencegahan, agar kasus-kasus perundungan di masa depan tidak terjadi lagi.
Langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan menyadarkan pentingnya peran keluarga terutama orang tua untuk mendidik anak-anaknya agar tidak melakukan perundungan kepada siapapun. Apalagi kepada temannya sendiri.
Orang tua bisa mendidik karakter anaknya untuk bisa menghormati perbedaan, kekurangan dan kelebihan orang lain, tepo seliro, hidup saling menghargai, tidak mengejek dan menghina orang lain, tidak mempermalukan dan mngolok-olok orang lain, tidak menyakiti orang lain dan sederet nilai baik disertai contoh dan teladan dari orang tuanya masing-masing.
Orang tua dan keluarga juga perlu mengawasi secara terus menerus perilaku anak-anak mereka. Sikap dan perilaku anak perlu diawasi dan harus direspon secara positif jika terjadi perubahan-perubahan pada sikap dan perilaku anaknya. Karena perubahan sikap dan perilaku bisa jadi merupakan tanda atau ciri anak tersebut menjadi korban perundungan atau pada kelompok anak-anak yang melakukan perundungan. Orang tua jangan ragu-ragu untuk meluruskan sikap dan perilaku anak jika anak telah menunjukan gejala dan tanda-tanda perilaku yang tidak benar.
Sekolah juga bisa mengambil peran yang strategis terhadap pencegahan kasus-kasus perundungan, agar hal ini tidak terjadi. Sekolah harus mampu membangun suasana psikologis dan sosial yang sehat bagi setiap warga yang ada di sekolah tersebut. Harus ada suasana nyaman, aman dan saling menghormati antara pimpinan sekolah, staf, guru dan juga siswa. Kejelasan aturan, norma sekolah dan juga keharmonisan hubungan antara guru dengan siswa, guru dengan guru, dan siswa dengan siswa serta guru, siswa dengan staf dan pimpinan sekolah harus terbangun dengan baik.
Selain itu, guru juga bisa berperan dengan cara memberikan penghargaan pada perkembangan sosial siswa seperti kemampuan bekerja sama, saling menghormati, saling menghargai, kemampuan untuk bertoleransi, kemampuan untuk berbagi dan sikap-sikap serta perilaku positip lainnya.
Penghargaan-penghargaan pada perkembangan sosial seperti ini masih jarang dilakukan oleh guru, karena guru lebih suka memberikan penghargaan pada perkembangan kognitif anak saja dan melupakan dimensi yang lainnya. Padahal tujuan pendidikan yang sebenarnya adalah memanusikan manusia dengan segala aspek kemanusiaannya yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik atau cipta, rasa dan karsa. Jadi bukan hanya sekedar kognitif saja yang harus mendapatkan pernghargaan namun semua dimensi kemanusiannya.
Masyarakat dari tingkatan terendah yaitu RT atau RW harus memiliki kesadaran kolektif terhadap kasus-kasus perundungan yang terjadi pada anak. Pada lingkungan tersebut harus dibangun kepekaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perundungan kepada anak yang juga dilakukan oleh anak-anak. Jika masyarakat melihat atau merasakan bahwa ada peistiwa perundungan yang terjadi di lingkungannya maka masyarakat harus memberikan pembinaan bukan justru dibiarkan saja. Sikap apatis ini yang mungkin menyebabkan kasus perundungan masih sering terjadi di Indonesia.
Meskipun refleksi akhir tahun mengenai perlindungan anak terutama pada kasus perundungan terkesan buram, namun kita harus optimis dan yakin bahwa tahun-tahun ke depan tidak akan ada lagi kasus-kasus perundungan yang sejatinya merugikan pada anak-anak yang dirundung dan yang merundung. Semoga ke depan anak-anak Indonesia terhindar dari cerita perundungan dalam kisah hidupnya. Aamiin.
Artikel Lainnya
-
299913/07/2020
-
87731/05/2020
-
29204/05/2024
-
Sebenarnya Negeri Ini Punya Siapa?
18921/06/2024 -
94906/06/2021
-
Skeptis-Kritis di Saat Pandemi
164926/07/2020