Penyelesaian Kasus Indonesia-Malaysia Atas Kasus Sengketa Pulau Sipadan Ligitan

Pada tahun 1969, kedua delegasi yang berasal dari Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan rapat dan merundingkan batas landas kontinen masing-masing negara. Namun dalam pertemuan itu, negara Indonesia serta Malaysia mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan ke perbatasan negaranya.
Sipadan dan Ligitan merupakan 2 pulau yang berlokasi di Selat Makassar, pada perbatasan Kalimantan Timur dan juga tepian Sabah yang lebih tepatnya berada di Malaysia Timur. Sehingga hal inilah yang membuat adanya kasus batas wilayah atau laut antara Indonesia dan Malaysia.
Demi menjaga perdamaian antar negara, maka diharapkan Indonesia dan Malaysia membuat kemufakatan jika pulau Sipadan dan Ligitan harus diberikan pada posisi status quo, yang berarti tidak melakukan aktivitas apapun pada kedua pulau tersebut sampai adanya keputusan yang dikeluarkan terkait siapa yang berhak terhadap kedua pulau tersebut. Akan tetapi Malaysia masih menganggap bahwa pulau tersebut masih berada dalam pimpinan pemerintahan Malaysia, sehingga Malaysia melakukan pengembangan terhadap pulau tersebut dengan tujuan agar pulau tersebut lebih berkembang. Hal ini yang membuat Indonesia berpikir jika negara Malaysia sudah melanggar konsensus yang dibuat.
Tanggapan Indonesia terkait pelanggaran yang telah dilakukan oleh Malaysia, akhirnya memutuskan dan sepakat untuk mendirikan forum “Joint Working Group on Sipadan and Ligitan”, tujuan dibentuknya forum agar dapat memecahkan permasalahan sengketa Sipadan dan pulau Ligitan (Hendrapati, 2013). Perundingan dan negosiasi telah dilakukan, akan tetapi kedua negara tidak menemukan titik terang, karena permasalahan persengketaan ini merupakan hal yang cukup rumit.
Dalam negosiasi yang dilakukan, kedua negara saling mematahkan argumentasi yang dilontarkan dengan tujuan untuk memperkuat dalil hukum dan asumsi terkait klaimnya masing-masing, serta tidak memilih penyelesaian masalah dengan jalur politis atau membagi kedua pulau yang disengketakan dan dapat mengelola kedua pulau secara bersama.
Karena sengketa ini sulit diselesaikan secara bilateral dan terdapat aspek sengketa klaim atas pulau ini yang merupakan persoalan hukum yang sensitif dalam interaksi antar kedua negara. Oleh sebab itu, kedua delegasi tersebut sepakat untuk merujuk masalah ini ke Mahkamah Internasional karena telah menandatangani “Special Agreement with the International Court in Disputes Between Indonesia and Malaysia Concerning Separate and Associated Sovereignty” Kuala Lumpur pada 31 Mei.
Penyelesaian persengketaan ini dibawa ke jalur hukum (adjudication) dengan tujuan, agar penyelesaian kasus ini lebih terlihat berwibawa dan juga netral. Permasalahan persengketaan yang dibawa ke ICJ oleh negara ASEAN ini tentunya merupakan sebuah batu loncatan yang cukup jauh, karena pada dasarnya negara ASEAN biasanya menyelesaikan masalahnya secara politis. Tetapi dengan adanya kesepakatan ini, tentunya hal ini merupakan pembentukan tatanan regional terkait penyelesaian konflik Internasional dengan opsi penyelesaian sengketa melalui jalur damai.
Masalah persengketaan ini dibawa ke Mahkamah Internasional tepatnya di Den Haag pada tanggal 2 November 1998. Dengan dikirimnya surat ini, banyak pihak yang merasa bahwa keputusan yang akan diberikan merupakan keputusan yang paling adil terkait negara mana yang berdaulat atas kedaulatan dari pulau Sipadan dan Ligitan, sebagaimana kedaulatan Indonesia terhadap pulau-pulau yang landasannya terdapat dalam Pasal IV Konvensi 1891 terkait Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia memiliki bukti terkait kedua pulau yang telah dikelola sejak 1878, pertama kali oleh Inggris kemudian jatuh kepada Malaysia. Malaysia juga mempunyai dua saluran: saluran Sultan Sulu-Spanyol-AS-Inggris-Malaysia dan saluran kedua adalah Sulu-Den dan Overbeck BNBC-Malaysia.
Akan tetapi, untuk membuktikan kebenaran terkait klaim kedua negara, maka Mahkamah Internasional meminta kedua negara untuk menulis serta memaparkan terkait pengajuan dan memorandum serta duplikat banding.
Setelah pemberian argumentasi tulisan, maka tibalah argumentasi lisan yang dilakukan pada tanggal 3-12 Juni 2002. Debat argumentasi ini dibagi menjadi dua sesi, dengan Indonesia menggelar argumentasi lisan pada 3-4 Juni 2002 dan Malaysia pada 6-7 Juni 2002, kemudian Indonesia pada 10 Juni dan Malaysia pada 12 Juni kembali mendapat kesempatan. Perihal klaim Indonesia, yaitu klaim Indonesia berdasarkan perjanjian antara Inggris Raya dan Belanda pada tanggal 20 Juni 1891, Indonesia mengatakan bahwa Indonesia adalah pewaris Sultan Bulungan yang berkuasa atas pulau Sipadan dan Ligitan, serta beberapa bukti yang dipaparkan. Sedangkan Malaysia didasarkan pada kedaulatan yang berasal dari gelar asli Sultan Sulu yang juga memberikan bukti pendudukan Malaysia (Merrills, 2003).
Setelah selesainya segala prosedur yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional, maka Majelis hakim MI yang berjumlah 15 orang mulai melakukan studi banding terkait pernyataan yang dikemukakan oleh kedua negara dengan tujuan untuk pengambilan keputusan atas persengketaan. Pada tahun 2002 tepatnya tanggal 17 Desember, Mahkamah Internasional memberi keputusan jika Malaysia mendapat hak penuh terhadap pulau Sipadan dan juga Ligitan, hal ini dikarenakan argumentasi pertama yang diberikan oleh Indonesia terkait Konvensi 1891 dirasa tidak signifikan dan tidak adanya kejelasan terkait pembatasan perpulauan.
Namun awalnya argumen yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia juga mendapat penolakan terkait pewaris pulau, karena tidak adanya bukti yang mendukung sehingga argumen kedua negara sangat lemah. Tetapi karena adanya indikasi effective occupation yang disajikan oleh Indonesia maupun Malaysia, sehingga Pengadilan Internasional dapat melakukan kembali studi banding, dan hasilnya adalah indikasi yang dipaparkan dari negara Malaysia cukup effective administration tentang pulau Sipadan dan Ligitan. Akibat dari kalahnya Indonesia untuk mendapatkan pulau Sipadan dan Ligitan memberikan dampak domestik yang cukup besar, banyaknya anggapan ataupun komentar terkait Departemen Luar Negeri yang menjadi penyebab hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan jika kita meninjau bahwa kepemimpinan lembaga Luar Negeri seharusnya berada dalam naungan Kementerian Luar Negeri, dan karena kehilangan sebuah pulau juga akan mengancam dan membahayakan integritas teritorial Indonesia.
Meski temuan Mahkamah Internasional mengecewakan Indonesia, di mana kepulauan Sipadan-Ligitan jatuh ke pihak Malaysia, namun langkah yang diambil untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan bantuan Mahkamah Internasional sudah sangat tepat. Karena kita tahu jika hasil yang diberikan Mahkamah Internasional bersifat tetap, mengikat dan tidak bisa dibantah, namun hal ini juga mencegah pecahnya perang bersenjata sehingga kasus ini dapat diselesaikan secara damai, juga sejalan dengan prinsip dunia, Indonesia memutuskan dan juga dengan hormat menerima keputusan pengadilan tersebut. Walaupun hasil dari keputusan Mahkamah Internasional membawa dampak dan konsekuensi terhadap Indonesia yang mana Indonesia harus merelakan dua pulaunya dan berubahnya batas perairan di Laut Sulawesi, serta Indonesia wajib mengatur kembali status zona teritorial dan zona laut negara pantai lainnya yang sebelumnya ditetapkan dan disusun dalam undang-undang nasional.
Artikel Lainnya
-
8219/06/2025
-
135514/03/2020
-
44822/08/2023
-
Betapa Kacaunya Komunikasi Publik Pemerintah Di Tengah Pandemi
136913/04/2020 -
792202/09/2020
-
Pendidikan Kreatif di Tengah PTM
111306/01/2022