Pemerintah Lokal, Oligarki dan Korupsi Pasca Pilkada

Mahasiswa STFK Ledalero
Pemerintah Lokal, Oligarki dan Korupsi Pasca Pilkada 14/03/2020 1355 view Politik pixabay.com

"Amat sering Indonesia memamerkan batik sebagai budaya bangsa. Mengapa korupsi tidak dipamerkan? Padahal, korupsilah budaya paling mahal di Indonesia." (Sudjiwo Tejo).

Secara eksplisit, Sudjiwo Tejo sebenarnya mau mengkritik penguasa tertentu yang tidak mau melepaskan diri dari geliat mamon. Hari-hari ini geliat mamon itu bisa saya terjemahkan sebagai korupsi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb), untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Hemat saya, penyelewangan atau penyalahgunaan tersebut erat kaitannya dengan adanya desakan yang berarti dari pihak tertentu. Dapat dimengerti bahwa pihak tertentu yang dimaksudkan ialah oknum-oknum terkait yang turut memerintah atau membuat kebijakan dalam suatu pemerintahan.

Pada titik ini, pemerintahan sejatinya digerakkan bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak-pihak lain demi kepentingan mereka. Di sini, pihak-pihak itu melindungi diri di bawah payung raksasa bernama oligarki.

Menurut KBBI, oligarki merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Orang-orang yang menjalankan pemerintahan ini biasanya disebut oligark.

Basis legitimasi oligark dalam mengatur kekuasaan pemerintah ialah praktik injeksi dana sebelum pilkada. Yang menarik bahwa sebagai upaya balas jasa, pemerintah kemudian mencari cara agar dana yang disumbangkan oligark mesti dikembalikan saat pemerintahannya berlangsung.

Pada tulisan ini, tesis utama saya ialah kekuasaan pemerintah lokal digerakkan demi kepentingan oligarki sehingga korupsi pasca pilkada bisa dipahami sebagai jalan keluar atau cara dalam memenuhi keuntungan oligark.

Mutualisme Ala Pemerintah Lokal dan Oligark

Terminologi desentralisasi kiranya menjadi jauh panggang dari api kebebasan berdemokrasi. Kendati desentralisasi membawa angin segar tentang otonomi pada aras lokal, tetapi tidak demikian segarnya bagi masyarakat. Angin segar bagi pemerintah dan oligark namun bagi akar rumput desentralisasi menjadi semacam "angin ribut" saja. Bisa dipahami bahwa hasil buah pikir pasca-reformasi tersebut hanya mutualistis bagi pemerintah lokal dan oligarki, bukan dengan masyarakat.

Bagi Pemerintah lokal dan oligark, perhelatan politik merupakan peluang besar dalam menakar keuntungan. Mereka kemudian bekerja sama agar kekuasaan di depan mata menjadi sepenuhnya milik mereka. Kerja sama itu berciri mutual, memberi keuntungan bagi keduanya.

Ada alasan kuat mengapa di tengah pilkada, pemerintah lokal saling membonceng kepentingan politik dengan oligark. Pemerintah tentu saja membutuhkan dana oligark tersebut. Dana itu biasanya untuk ongkos politik, baliho, stiker, kaos, ongkos logistik kampanye dan uang bagi tim suksesnya. Semua itu hanyalah demokrasi prosedural dan belum menyentuh yang substansial yakni kesejahteraan masyarakat.

Mutualisme ala pemerintah lokal dan oligark sebetulnya erat berkaitan dengan keuntungan yang diterima pada saat proses pilkada dan sesudah pemerintah mendapat kursi pemerintahan. Dalam meraup suara rakyat demi kepentingan politiknya, kandidat (nama sebelum pemerintah lokal terpilih) dibonsai dengan pelbagai unsur seperti suntikan dana, sumbang sih tenaga tim sukses, alokasi untuk jatah kampanye, logistik kampanye ataupun stiker paslon. Yang menarik bahwa yang mengiming-iming mereka ialah uang dari oligark.

Hal senada juga berasal dari hasil riset Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Indonesia. Menurutnya, salah satu faktor penyebab kepala daerah (baca: pemerintah lokal) melakukan korupsi ialah karena biaya pemilukada langsung yang terbilang mahal (dalam www.bpkp.go.id). Sekali lagi, pemerintah lokal lupa bahwa semuanya itu sebatas sarana prosedural yang belum tentu secara substansial, mensejahterakan akar rumput di waktu mendatang.

Sebagai balas jasa, konsekuensi logis yang terkuak ke permukaan ialah bahwa pemerintah lokal yang terpilih itu didesak untuk membayar lunas bantuan ongkos politik yang sudah ia pakai kepada oligarki. Pada saat pemerintahannya, pemerintah lokal tentu saja mulai terjebak dalam kubangan sentripetal versi oligarki, mendekati oligark sebagai pusat legitimasi kekuasaannya. Pada titik ini, bisa dipahami jika masifnya korupsi yang dibuat oleh pemerintah lokal ialah jalan keluarnya untuk mendekati oligarki, melunasi uang sebagai ongkos politik sebagai aktus balas jasa.

Hari-hari ini yang mesti kita buat ialah melawan korupsi itu agar pemilukada serentak 2020 mendatang tidak dilunturi dengan logika pemerintah lokal dan oligarki.

Hemat saya, ada sebuah solusi dalam melampaui korupsi. Pada aras ini, semua kandidat mesti memiliki kesadaran otentik dalam dirinya sebagai calon orang berteladan bagi masyarakat. Keteladanan ini mesti bermuara pada penolakan terhadap iming-iming uang oligark tertentu yang membuat kandidat harus membayar kembali semua biaya politik tersebut sewaktu pemerintahannya. Sudah seharusnya, sebagai orang yang kelak akan diberi julukan "orang nomor satu", kandidat mesti melawan tindakan tidak terpuji itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya