Betapa Kacaunya Komunikasi Publik Pemerintah Di Tengah Pandemi

Pandemi Covid-19 belum surut setidaknya dalam waktu dekat ini. Hampir seluruh dunia dibuat tak berkutik menghadapi gelombang penularan, pasien positif dan korban jiwa termasuk merenggut tenaga medis.
Di Indonesia, Covid-19 adalah pandemi pertama sejak pemerintahan republik berdiri. Tetapi apabila melihat ke belakang dalam lintasan sejarah, ada wabah pes atau sampar di era kolonial dan menewaskan belasan ribu orang di Jawa sepanjang 1910 sampai 1916. Eropa pernah dihantam pes dalam apa yang disebut peristiwa Maut Hitam pada abad ke-14. Setengah populasi penduduk Eropa tewas atau setara dengan sekitar 50 juta orang. Baik sebelum dan tahun-tahun kemudian, wabah ini timbul tenggelam di Eropa. Sebelum masuk ke Hindia Belanda, masyarakat hanya tahu penyakit ini dari surat kabar ataupun obrolan. Sampai akhirnya penyakit mematikan itu benar-benar datang dan menyerang Jawa.
Wilayah Malang menjadi episentrum wabah pes yang dalam tahun-tahun berikutnya menyebar ke banyak kota di Jawa. Penyebabnya diperkirakan dari kebijakan pemerintah kolonial yang mengimpor beras dari Myanmar guna memenuhi kelangkaan akibat paceklik. Padahal waktu itu Myanmar sedang dihantam wabah pes. Sial nasib rakyat jelata yang kebagian beras dan kemudian terjangkit pes. Mereka dikucilkan warga. Pagi masih sehat, siangnya bisa meregang nyawa. Dokter-dokter Eropa enggan menangani, hingga membikin dokter pribumi seperti Cipto Mangunkusumo merasa pilu melihat nasib bangsanya dan tergerak turun ke Malang. Kecerobohan mengimpor beras tanpa memeriksa, tidak percaya pes telah mewabah dan merenggut nyawa, ditambah rasisme yang menjadi fondasi berpikir dan bertindak menjadi kombinasi perilaku pemerintah kolonial yang inkompeten menangani pagebluk pes pertama.
Selang sekitar dua tahun wabah pes, giliran pandemi flu Spanyol datang dan lebih ganas lagi dalam merenggut nyawa. Menurut Siddharth Chandra dalam ”Mortality from the influenza pandemic of 1918-19 in Indonesia” (2013), setidaknya 1,5 juta orang tewas akibat pandemi ini. Hampir tidak ada wilayah di Hindia Belanda yang luput dari virus flu Spanyol. Besarnya korban jiwa adalah bagian dari kegagalan pemerintah.
Mereka mengabaikan peringatan dini dari otoritas negara lain terkait potensi masuknya flu Spanyol dari kapal-kapal asing yang berlabuh di Batavia. Penanganannya keliru dengan malah memberikan vaksin kolera. Tidak ada protokoler pencegahan wabah yang jelas mencerminkan rendahnya kemauan pemerintah untuk membasmi flu Spanyol. Ini ditambah situasi Perang Dunia Pertama membuat negara-negara saling menutup-nutupi akan penyaakit ini.
Lebih dari seabad berlalu, tatanan pemerintahan telah berganti rupa menjadi republik. Tapi para pembuat kebijakan tampaknya tidak pernah belajar dari sejarah. Ingatan masa lalu menjadi sangat pendek atau bahkan mungkin terputus. Apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 malah mirip dengan yang dilakukan pemerintahan kolonial.
Hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang pada Senin (6/4) dalam rilisnya menyatakan bahwa dalam kurun waktu 1 Januari hingga 5 April 2020, LP3ES mencatat ada 37 pernyataan blunder pemerintah terkait virus corona. Pola sejak awal yang terlihat adalah sikap denial, penolakan yang berlarut-larut termasuk mengabaikan peringatan para ahli.
Hal ini masih diperparah dengan kacaunya komunikasi publik jajaran pemerintah pusat selama penanganan krisis. Sebut saja seperti yang teranyar silang pendapat antara Menkumham Yassona Laoly dengan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) tentang rencana pembebasan napi korupsi, aturan mudik lebaran yang berbeda antara jubir presiden Fadjroel Rachman dengan Mensesneg Pratikno, perbedaan data Covid-19 yang dimiliki BNPB dengan Kemenkes, dan banyak lagi.
Tampaknya tidak ada koordinasi yang benar-benar matang antar lembaga maupun pejabat tinggi ketika mengeluarkan keputusan atau kebijakan ke publik menjadi penyebab munculnya saling silang pendapat dan bantah membantah di dalam tubuh pemerintah pusat sendiri. Semua seperti memiliki otoritas sendiri dan seperti tidak ada koordinasi bersama. Banyak sekali aktor-aktor yang ditunjuk untuk berbicara di publik terkait penanganan pandemi.
Di sisi lain, ini seperti membuka kebobrokan pemerintah dengan tidak memiliki kecakapan atas penguasaan masalah lewat koordinasi lintas sektoral. Begitu juga dengan performa Achmad Yurianto yang ditunjuk sebagai juru bicara pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Ia belum mumpuni menjadi komunikator andal di tengah krisis. Malahan beberapa kali ia kedapatan mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan kegaduhan seperti "yang kaya melindungi yang miskin dan yang miskin tidak menularkan penyakit" yang salah kaprah dan tidak perlu.
Menurut Coombs & Sherry dalam The Handbook of Crisis Communication (2010), komunikasi krisis dapat didefinisikan secara luas sebagai pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk mengatasi situasi krisis. Dengan kata lain, komunikasi krisis adalah bagian integral dari manajemen krisis seperti situasi pandemi saat ini.
Pengertian tersebut terlihat gagal dicapai pemerintah yang wujudnya adalah kesimpangsiuran kebijakan yang tidak satu suara hingga kerap saling mengkoreksi. Sedangkan Coombs dalam Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and Responding (2007) menyebut bahwa krisis komunikasi terjadi ketika peristiwa yang tidak terduga dan mengancam harapan para pemangku kepentingan yang berdampak serius terhadap kinerja organisasi.
Di masa-masa pandemi seperti ini, pemerintah seharusnya membuat informasi yang terkoordinir dengan baik, transparan dan akurat. Kesimpangsiuran informasi di kalangan pejabat pemerintah harus diminimalisir sekuat mungkin agar tidak menimbulkan kebingungan bagi publik.
Bila tidak ada perbaikan dalam segi komunikasi publik, apa yang dipertontonkan pemerintah hanya akan menambah berat penyelesaian pandemi dan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin besar. Pemerintah juga tidak pernah belajar dari peristiwa masa lalu.
Artikel Lainnya
-
171519/12/2020
-
103831/12/2021
-
170308/10/2020
-
Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Platform Merdeka Mengajar
54407/05/2024 -
111404/02/2022
-
Moralitas Kant dan Rekonstruksi Pendidikan Budi Pekerti
201708/05/2020