Jakarta Sudah Bukan, IKN Belum Siap

Jakarta Sudah Bukan,  IKN Belum Siap 19/06/2025 82 view Lainnya instagram (@ikn_id)

Belakangan ini publik dibuat bingung soal status ibu kota negara. Jakarta, yang selama ini kita kenal sebagai pusat pemerintahan Indonesia, sudah tidak lagi menyandang status sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 115 Tahun 2024. Statusnya kini berubah menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Namun yang membingungkan, meskipun secara hukum status DKI sudah dicabut, pusat pemerintahan masih tetap beroperasi dari Jakarta. Sementara Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yang digadang-gadang akan menggantikan Jakarta, belum benar-benar siap menjalankan fungsi sebagai ibu kota baru.

Kondisi ini tentu membuat masyarakat bertanya-tanya: sebenarnya, sekarang ibu kota Indonesia itu di mana? Apakah masih di Jakarta? Ataukah sudah pindah ke Kalimantan Timur? Kalau memang sudah pindah, kenapa semua aktivitas pemerintahan—rapat-rapat penting, pengambilan keputusan nasional, bahkan aktivitas kenegaraan—masih berlangsung di Jakarta?

Pemerintah memang punya niat baik dengan rencana pemindahan ini. Tujuannya cukup jelas: mengurangi beban Jakarta yang selama ini menanggung tekanan sebagai pusat politik, ekonomi, bisnis, hingga populasi. Jakarta sudah terlalu penuh. Infrastruktur kota tua ini sudah tidak lagi cukup menampung segala beban tersebut, dan wajar jika pemerintah ingin menyebarkan pusat pertumbuhan ke wilayah lain. Dalam hal ini, Kalimantan Timur dianggap sebagai lokasi strategis karena berada di tengah wilayah Indonesia secara geografis.

Namun, yang jadi persoalan adalah proses pemindahan ini terasa sangat tergesa-gesa. Infrastruktur di IKN belum sepenuhnya siap. Gedung-gedung pemerintahan belum semuanya dibangun, konektivitas belum sempurna, dan bahkan fasilitas dasar seperti pemukiman untuk ASN dan akses transportasi publik belum benar-benar layak. Di saat yang sama, belum ada keputusan resmi yang menyatakan bahwa pusat pemerintahan secara fungsional sudah berpindah. Akibatnya, terjadi kekosongan makna: Jakarta sudah tidak berstatus ibu kota, tapi IKN juga belum bisa menjalankan tugasnya. Ini ibarat rumah lama sudah dikunci dan ditinggal, tapi rumah baru belum selesai dibangun. Mau tidur di mana?

Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, tapi juga menciptakan ketidakpastian dalam sistem pemerintahan. Siapa yang sekarang memegang kendali penuh? Di mana pusat koordinasi nasional seharusnya berada? Dalam konteks tata kelola negara, ini bukan masalah sepele.

Dalam teori pembangunan wilayah, dikenal apa yang disebut sebagai Teori Pusat-Pinggiran. Teori ini menekankan bahwa pusat kekuasaan atau pusat pertumbuhan tidak bisa dipindahkan begitu saja tanpa memastikan bahwa wilayah baru sudah siap menanggung beban yang ditinggalkan. Jika pusat lama dilemahkan sebelum yang baru benar-benar kuat, justru akan menimbulkan kekacauan. Indonesia, sebagai negara besar dengan sistem pemerintahan kompleks, tidak boleh menjalankan proses ini tanpa perencanaan yang matang.

Menurut saya, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru dalam menetapkan pemindahan status ibu kota. Perubahan besar seperti ini seharusnya dilakukan secara bertahap dan dengan komunikasi yang jelas kepada publik. Siapkan dulu semua yang dibutuhkan di IKN—dari infrastruktur fisik, sistem birokrasi, hingga ekosistem sosial pendukungnya. Setelah semuanya siap, baru dilakukan perpindahan secara menyeluruh.

Sementara itu, Jakarta tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai pusat pemerintahan, meskipun statusnya sudah berubah. Tidak perlu tergesa-gesa mencabut seluruh peran Jakarta sebelum ada kepastian dan kesiapan di tempat baru. Kita tidak sedang berpindah toko atau rumah kontrakan. Kita sedang membicarakan masa depan sistem pemerintahan negara.

Keinginan untuk mempercepat perubahan memang baik. Tapi jika dilakukan tanpa perhitungan matang, justru bisa menciptakan arah negara yang kabur. Apalagi ini menyangkut hal yang sangat fundamental: pengelolaan negara, stabilitas pemerintahan, dan kepercayaan publik. Sebab pada akhirnya, ini bukan cuma soal gedung dan lokasi, tapi tentang bagaimana negara ini dikelola dengan baik, rasional, dan tetap berpijak pada akal sehat.

Lebih dari itu, pemerintah juga perlu mengingat bahwa masyarakat bukan sekadar penonton dalam proses ini. Mereka adalah pemangku kepentingan utama. Maka keterlibatan publik, transparansi informasi, serta penjelasan yang jujur dan mudah dipahami sangat penting agar masyarakat merasa ikut memiliki dan memahami arah perubahan ini.

Sebuah negara tidak akan maju hanya dengan keputusan besar dari atas. Kemajuan sejati datang ketika rakyat merasa dilibatkan dan dilayani, bukan dibiarkan bingung dalam ketidakpastian. Dan saat ini, kita butuh arah yang pasti, bukan sekadar simbolisme pemindahan ibu kota yang belum punya wujud nyata.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya