Pembajakan Buku dan Orientasi Pembusukan Literasi

Mahasiswa
Pembajakan Buku dan Orientasi Pembusukan Literasi 02/03/2020 2031 view Opini Mingguan pixabay.com

Pada tahun 1450-an, Johannes Gutenberg berhasil mempropagandakan sebuah kekaguman baru bagi dunia melalui penemuan mesin cetak. Penemuan teknologi percetakan (baca: mesin cetak) ala Gutenberg menjadi awal kebangkitan media serentak juga awal kebangkitan gagasan literasi.

Apabila dalam periode sebelumnya, orang memperkuat literasi melalui informasi yang bersifat spontan saja berupa tuturan lisan maupun tulisan tangan maka Gutenberg memberi kesempurnaan baru yakni dengan melengkapi karya tersebut dalam sebuah cetakan yang utuh dan permanen.

Era percetakan yang dipelopori Gutenberg ini memberi keawetan tersendiri terhadap sebuah karya sehingga karya tersebut bisa bertahan lama dan tetap diregenerasi dari waktu ke waktu.

Namun, satu hal yang niscaya luput dari perhatian Gutenberg bahwa di masa depan, mesin cetak turut menjanjikan sebuah ekses negatif terselubung seperti menguatnya spiral peralihan makna dan fungsi media cetak. Spiral peralihan makna dan fungsi yang dimaksud adalah kemunduran orientasi dan perubahan haluan dari sebuah perjuangan membumikan literasi dan mempertahankan originalitas sebuah karya menuju kepada orientasi mencari keuntungan (money oriented).

Terciumnya orientasi ini nyata terjadi pasca terendusnya isu pembajakan buku yang terjadi di berbagai belahan wilayah dunia termasuk juga Indonesia.

Persoalan ini kemudian digadang-gadang dan distigmatisasi sebagai adalah salah satu persoalan eksplosif serius yang berpengaruh terhadap masa depan mesin cetak.

Kerunyaman persoalan ini turut diperparah oleh kehadiran sebuah wujud ciptaan baru yakni e-commerce (perdagangan elektronik). Seturut definisi Wikipedia Bahasa Indonesia, perdagangan elektronik (bahasa Inggris: electronic commerce atau e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.

Efek lanjutan dari keberadaan e-commerce berpengaruh besar terhadap posisi pengarang selaku penyedia informasi. Biasanya keterkejutan yang sontak dialami oleh seorang pengarang ketika berhadapan dengan e-commerce adalah rapuhnya kualitas ide, terjual murahnya reputasi dan perjuangan seorang penulis hingga berujung pada kerugian finansial yang menimpa pengarang dan penerbit.

Kemunculan e-commerce sebagai sebuah predator teknologi terbaru mengubah wajah dan kualitas dari sebuah karya.

Sebagai teknologi tandingan, e-commerce melabrak pengarang dan penerbit dengan menjamu sejumlah data melalui penyediaan informasi murah meriah di berbagai media dan jaringan internet lainnya.

Sejak dulu, para ahli sudah mengingatkan, teknologi baru menuntut manusia-manusia berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New Technology x Old Mindset= Fail! Gagal! Jadi, teknologi baru butuh mindset baru. Baru hasilnya adalah kesejahteraan (Kasali, 2017: 81).

Itu berarti, fenomena pembajakan yang dilakukan oleh e-commerce secara berturut-turut bisa dipahami sebagai kegagalan cara pikir manusia dalam merespons kehadiran corak teknologi yang baru. Memang tak dapat dinafikan bahwa di balik penciptaan e-commerce terlampir juga orientasi yang berbau bisnis dan kapitalis.

Untuk konteks Indonesia, pemantik fenomena ini adalah orang-orang yang berusaha untuk memperoleh dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Membahasakan kembali gagasan Drucker, para pengendali teknologi ini menggunakan cara dan corak berpikir lama hanya untuk menggodok keuntungan dan mengesampingkan kualitas dan kekuatan dari sebuah karya.

Selain kehadiran e-commerce, absen dan rendahnya minat baca adalah persoalan mendasar bagi terpacunya pembajakan terhadap sebuah karya.

Penelitian dilakukan organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi yang dipublikasikan dengan nama “The World’s Most Literate Nations”, menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke 60, hanya satu tingkat di atas Botswana.

Penyebab rendah minat dan kebiasaan membaca itu antara lain kurangnya akses, terutama untuk daerah terpencil. Hasil survei yang dicapai untuk dimensi akses adalah 23,09 persen (Bdk. Kompas.com 23 Juni 2019).

Sementara itu, data dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan, presentase minat baca anak Indonesia hanya 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca (Kompas.com 22 Juni 2017).

Deretan persoalan publik tersebut, turut memperkuat asumsi bersama bahwa kita sedang dilanda oleh patologi pemudaran terhadap orientasi literasi. Bias pengaruh dari pemudaran orientasi ini bukan lagi berpatok pada kecendrungan mempertebal semangat untuk mengagungkan literasi melainkan pengagungan terhadap orientasi untuk mengejar keuntungan.

Dari persoalan ini termuat beberapa pertanyaan mendasar. Pertama, di mana letak kecurangan dari pembajakan sebuah buku terhadap masa depan literasi? Kedua, jika pembajakan adalah sebuah disorientasi terhadap nilai-nilai literasi, mengapa sebagian orang gemar mencetak buku pada percetakan yang liar tersebut? Ketiga, sejauh mana perlindungan negara terhadap originalitas sebuah karya dari seorang pengarang? Keempat, apa opsi yang dibuat oleh pemerintah terhadap pencegahan atas pembusukan orientasi literasi?

Arah dasar yang perlu dijawab dari persoalan pertama terletak pada melemahnya semangat dari para pengarang untuk menghasilkan sebuah karya yang berkualitas. Logika yang dipakai dalam persoalan ini adalah logika pasar yang hanya menuntut pemerolehan keuntungan dari golongan atau elit tertentu.

Lebih lanjut, pelemahan ide dari para pengarang diperkuat juga oleh kehadiran buku-buku bajakan sebab di sana para pengarang dan sejumlah percetakan resmi tidak mendapatkan keuntungan finansial sedikit pun.

Prinsip pembajakkan adalah menurunkan harga asli sebuah buku dan berbeda dengan harga buku yang dicetak oleh penerbit yang diakui publik. Rangkuman keseluruhan dari persoalan ini terletak pada lemahnya superioritas hukum dalam memberikan sanksi bagi para penjiplak dan para pembajak buku.

Berhadapan dengan persoalan seperti ini, hemat saya terdapat beberapa opsi yang bisa menjadi gebrakan bersama. Pertama, pemerintah harus bertindak tegas dalam memperjuangkan superioritas hukum melalui penerapan serentak pelaksanan UU No. 28 Tahun 2014 tentang perlindungan hak cipta sebuah karya. Langkah sederhana yang bisa dibuat adalah menangkap sejumlah oknum yang memiliki kecenderungan untuk membuka tempat pembajakan liar.

Kedua, pemerintah harus sanggup menajamkan peran teknologi melalui pengontrolan dan pemberantasan laju penggunaan teknologi yang berkeadaban. Dalam hal ini, negara harus sanggup menghadang peran dari para e-commerce agar menghindari orientasi yang berbau bisnis. Dengan opsi demikian, maka publik akan terbebaskan dari cekikan dan patologi pembajakan sebuah karya.

Proses pembebasan ini hanya terjadi apabila hukum berjalan dalam alurnya tanpa diinstrumentalisasi oleh orientasi untuk mengejar keuntungan semata.

Akhirulkalam, perjuangan untuk menjaga originalitas karya dan mengembalikan reputasi pengarang adalah perjuangan panjang yang perlu dobrakan bersama. Mari merawat marwah literasi dalam frame memperjuangkan harga dari sebuah pengetahuan dan bukan orientasi finansial. Sekian!!!.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya