Pembajakan Buku, Bisnis yang Jahat, dan Kemalasan

Penulis lepas yang meminati kajian-kajian sastra, agama, dan isu kontemporer
Pembajakan Buku, Bisnis yang Jahat, dan Kemalasan 02/03/2020 3789 view Opini Mingguan pixabay.com

Beberapa tahun lalu, saat masih SMA, saya kerap mengunjungi kompleks toko buku di Blok M, Jakarta.

Ada puluhan lapak penjual buku di sana. Mereka menjual buku-buku baru dan bekas. Saya dibuat terkejut dan terpincut ketika singgah di beberapa lapak. Sebab, mereka menjual buku-buku yang setahu saya masih baru dan gampang dijumpai dengan harga miring.

Bayangkan, novel Cantik Itu Luka Eka Kurniawan yang setebal bantal dilego seharga Rp. 25 ribu dan sepaket Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dapat ditebus dengan uang Rp. 100 ribu saja!

Waktu itu saya tidak paham betul legalitas barang jualan mereka. Saya tidak tahu bahwa menjual buku bajakan adalah tindakan ilegal dan haram. Pikiran polos saya menganggap sah-sah saja jualan buku bajakan. Toh, buku bajakan yang umumnya berharga sangat murah bisa memudahkan orang-orang semacam mahasiswa untuk mendapat buku bermutu.

Barulah belakangan, setelah banyak berkecimpung dan bergaul dengan orang-orang perbukuan, saya sadar bahwa menjual buku bajakan bukan hanya ilegal, tapi juga jahat. Para penjual buku bajakan tak ubahnya lintah pengisap darah orang-orang yang bertungkus-lumus saat memproduksi buku.

Pembajakan Buku Merugikan Banyak Orang

Sejumlah pegiat literasi dan aktivis perbukuan sudah menulis kritik khusus terhadap pembajakan buku. Eka Kurniawan, Muhidin M. Dahlan, Ronny Agustinus, dan Safar Banggai adalah di antara pelaku perbukuan yang terang-terangan menyatakan permusuhan kepada para pembajak buku.

Safar dalam “Pembajakan Buku Membunuh Pekerjaan Banyak Orang” di Geotimes.co.id, menyebutkan bahwa pembajakan buku merugikan semua komponen perbukuan. Para penulis, desainer, editor, penerbit, hingga penjual buku legal jelas dirugikan dengan kehadiran pembajak.

Dalam skema produksi buku legal keuntungan penjualan per buku akan dirasakan oleh semua komponen. Penulis, desainer, editor, penerbit, dan penjual memperoleh keuntungan masing-masing.

Sementara penjualan buku bajakan hanya menguntungkan si pembajak. Apa pun alasan yang ia gunakan, pembajak buku hanyalah maling yang amat rakus. Ia adalah penjahat, walaupun ia menjual buku dengan niat “mulia” untuk memudahkan orang-orang mendapat buku dengan harga murah.

Sesungguhnya kita sudah punya undang-undang khusus mengenai hak cipta. Bahkan, UU Hak Cipta hampir pasti terlampir dalam setiap cetakan buku. Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta menyebutkan, “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan.” Hukuman bagi pelanggar hak cipta juga tidak main-main, yaitu penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar.

Sayangnya, UU Hak Cipta tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap penerapan UU tersebut dan kehidupan perbukuan membuat perjuangan kita memerangi pembajakan buku tak berjalan mulus. Padahal, pembukaan UUD 1945 secara tersurat mengamanatkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Salah satu aplikasi “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah dengan memedulikan masalah terkait perbukuan, termasuk memberantas para pembajak buku.

Pada Agustus 2019, Konsorsium Penerbit Yogya yang terdiri atas 12 penerbit bertempat di Yogya memproklamirkan perlawanan mereka terhadap pembajakan buku.

Mereka juga melaporkan para pembajak buku ke polisi. Kita perlu mengadakan perlawanan sejenis di tempat-tempat lain. Sebab, meskipun telah ada pelaporan sebagaimana yang dilakukan Konsorsium Penerbit Yogya, sampai sekarang para pembajak masih berlalu-lalang di mana-mana.

Saya masih sering menemukan orang-orang menjual buku bajakan di marketplace dan media sosial seperti Instagram dan Facebook. Parahnya, sebagian dari mereka tidak terang-terangan menyebut buku jualannya bajakan sehingga banyak orang terkecoh.

Solusi Pembajakan Buku? Jangan Malas!

Banyak dalih yang diungkapkan pembajak buku untuk menormalkan tindakannya. Harga buku mahal, niat memudahkan orang, hingga alasan klasik “namanya saja cari uang” adalah di antara yang sering mereka kemukakan.

Semua alasan itu dapat kita sanggah dengan mudah. Sebab, akar dari pembajakan buku hanyalah usaha mengeruk keuntungan tanpa mau usaha keras, atau singkatnya: kemalasan.

Soal harga buku mahal sebagai alasan membajak buku adalah klise yang seharusnya tidak lagi dikatakan oleh siapa pun. Sebab, sekarang sudah banyak toko buku daring maupun luring yang menjual buku dengan harga khusus. Festival dan pameran buku juga banyak menawarkan buku dengan harga di bawah rata-rata.

Selain itu, kita tidak harus membeli suatu buku untuk bisa membacanya. Kita bisa meminjamnya ke teman, perpustakaan daerah, taman bacaan, atau melalui aplikasi perpustakaan daring yang berintegrasi dengan Perpustakaan Nasional.

Sementara alasan berniat memudahkan orang (yaitu pembeli, untuk memperoleh bacaan murah) langsung terbantahkan dengan tindakan pembajakan itu sendiri. Pembajakan buku sejak dari awal sudah menyusahkan orang, menyempitkan rezeki para pelaku perbukuan, lalu bagaimana mungkin bisa disebut memudahkan orang?

“Namanya saja cari uang” juga alasan absurd. Semua orang membutuhkan uang. Namun, bukan berarti dengan alasan itu lantas semuanya jadi boleh. Kita sepakat mengutuk maling dan koruptor karena mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya. Demikian pulalah semestinya kita bersikap kepada para pembajak buku. Mereka juga telah mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Mereka telah memanfaatkan kerja keras banyak orang hanya untuk memperkaya diri sendiri.

Kalau kita perhatikan, alasan-alasan tersebut akan mengerucut pada satu hal: kemalasan.

Orang-orang malas pergi ke perpustakaan, meminjam buku ke teman, dan mengunduh aplikasi perpustakaan daring, lantas mereka pun membeli buku bajakan.
Orang-orang malas berusaha dan mencari kerja yang legal, lantas mereka pun mengeruk keuntungan dengan jalan pintas lewat membajak buku.

Akhirulkalam, kita berharap pemerintah bisa bersikap tegas kepada para pembajak buku dan menegakkan UU Hak Cipta. Lalu, bagi masyarakat, semestinyalah untuk kompak memerangi pelaku pembajakan yang jelas telah merugikan banyak orang.

Bagi para penjual maupun pembeli buku bajakan, rasanya solusi ampuh untuk mereka hanyalah dua kata ini: jangan malas. Tentu dua kata ini bukan truisme belaka, melainkan sesuatu yang mesti kita praktikkan bersama

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya