Cuaca Panas Menunjukan Perubahan Iklim itu Nyata

Pengamat Senja
Cuaca Panas Menunjukan Perubahan Iklim itu Nyata 04/12/2019 2696 view Lainnya Sains.kompas.com

Akhir-akhir ini kita disuguhi dengan semakin meningkatnya suhu udara di sekitar kita hidup. Linimasa media sosial mulai ramai mengunggah meme tentang tempat mereka yang diironikan dekat dengan matahari. Timeline twitter penuh dengan suara-suara parau yang mengeluh kepanasan.

Di waktu yang sama ada pula yang 'sambat' tentang tagihan listrik membengkak akibat sering memakai pendingin ruangan.

Panas yang melanda Indonesia memang hal yang biasa, tetapi peningkatan suhu yang dapat dikatakan drastis ini telah menyiksa banyak 'netizen' manusia.

Perlu diketahui temperatur di Indonesia akan diprediksi naik di angka 0.2 - 0.3 derajat celcius pada tahun 2020-2030. Belum juga sampai di tahun 2020 kenaikan ini sudah cukup terasa dan hampir mendekati angka 0.2 derajat celcius peningkatannya. Bahkan melalui penelitian dari

Rina Oktaviani dkk (2011) yang berjudul "The impact of global climate change on the Indonesian economy" mengatakan jika ditahun 2030 kira-kira suhu di Indonesia akan naik sampai pada angka 0.8 derajat celcius.

Menurut Rina dampak dari peningkatan suhu tersebut tak main-main. Akan ada situasi di mana pertanian akan hancur lembur, karena singkatnya musim penghujan dan panjanganya musim kemarau. Peningkatan temperatur telah mengacaukan tata iklim, sehingga akan ada anomali-anomali cuaca yang tentu akan mempengaruhi pertanian. Dan, secara tidak langsung berdampak pada keberlanjutan keamanan pangan nasional.

Tidak hanya itu saja, keamanan pangan juga ditunjang oleh ketersediaan air. Proses-proses rantai pasokan air tentu akan terganggu, kala terjadi perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan temperatur udara. Sumber mata air merupakan proses panjang hidrologi, yang salah satu pendukung utamanya adalah musim hujan. Jikalau musim hujan pendek, kawasan resapan rusak, maka sudah dapat dibayangkan jika keamanan air kita pun terancam.

Masih banyak lagi yang bisa diceritakan mengenai relasi dari kenaikan temperatur udara, dengan kacaunya tata iklim yang berpengaruh pada hancurnya siklus cuaca. Namun yang perlu dipahami lebih lanjut, terkait kondisi tersebut sebenarnya adalah dampak dari hancurnya sistem ekologi kita. Perubahan iklim tidak berdiri sendiri, ada yang menyebabkan dan ada yang mempercepat. Semuanya tak lepas dari peran manusia, khususnya mereka yang rakus.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan hutan hujan terbesar setelah amazon. Namun laju deforestasinya juga cukup besar. Penelitian Hidayah Hamzah dkk (2017) dari World Resources Institute, mengemukakan jika di tengah tahun 2017, merupakan kali kedua kehilangan tutupan pohon hutan tropis terbesar.

Walaupun Indonesia sendiri saat itu sedang beranjak berbenah, karena telah berhasil menurunkan sekitar 60 persen hilangnya tutupan pohon di hutan primer dibandingkan dengan tahun 2016. Namun jika dihitung dengan pendekatan jumlah emisi karbondioksida, kehilangan tutupan pohon hutan primer di tahun 2017 ini setara dengan 0,2 gigaton karbondioksida, kira-kira sama dengan emisi yang dikeluarkan dari pembakaran lebih dari 199 miliar pound batubara.

Lalu bagaimana dengan 2019? Kira-kira bisa dibayangkan berapa beban emisi kita, pasca kebakaran hutan yang diakibatkan oleh perubahan iklim hingga pembukaan lahan untuk korporasi baik perkebunan maupun industri ekstraktif.

Perubahan iklim mengakibatkan cuaca panas, akhirnya merusak tutupan hutan. Tapi perubahan iklim dipicu salah satunya oleh deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk akumulasi kapital. Tentu ini dilematis, bahwa kenaikan temperatur udara kita ternyata diakibatkan oleh banyak faktor. Semua terjadi secara interseksional, berkaitan satu sama lainnya.

Ada peran sangat penting dari pemerintah di sini, karena merupakan pembuat kebijakan. Jikalau pemerintahnya melupakan keselamatan ruang hidup rakyat, dan hanya mementingkan investasi saja. Maka bisa dibayangkan, bagaimana kehidupan kita kelak. Kalian pun akan terus dan terus mengeluh kepanasan, biaya hidup makin tinggi dan akhirnya terjerat hutang.

Mulai dari sinilah pentingnya bersuara, bisa beranjak dengan mengkritisi pemerintah dengan fakta yang telah terpampang nyata. Kalau perlu aksi, aksi dan aksi, sampai ada perubahan yang dihasilkan. Mulailah tanam, tanam, dan menanam pohon, kalau tanahmu tidak digusur.

Terakhir, kepanasan ini menyiksa semua orang. Apalagi kaum miskin, buruh dan petani menengah bawah yang semakin dirugikan dengan anomali cuaca ini. Selain mereka ditindas secara struktur kuasa dan ekonomi, keberlanjutan hidup mereka pun terancam. Tidak hanya itu keamanan pangan nasional sangat rentan. Tinggal menunggu waktu bencana hebat akan datang, dan kita mulai menyalahkan Tuhan yang maha esa, padahal kita sendiri yang diamanahi, namun mengingkari dengan berdiam diri kala semua diamanahnya dikhianati oleh 'kafir' ekologis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya