Cacat Intelektual Oknum HMI yang Memukul Anggota LPM Progress Unindra

Salah satu anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Progress Universitas Indraprasta (Unindra) PGRI Jakarta, ARM menulis sebuah opini berjudul “Sesat Berpikir Kanda HMI dalam Menyikapi Omnibus Law” yang dimuat di website lpmprogress.com pada 21 Maret 2020. Isinya kurang lebih mengkritisi kebijakan pemerintah yang ngeyel ingin meloloskan draft Omnibus Law. Selain itu, ARM juga menyinggung sikap Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Teknik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FTMIPA) Unindra.
Buntutnya ARM harus bertemu dengan anggota HMI FTMIPA pada Minggu (22/3) malam. Siapa bisa menyangka, pertemuan itu justru membawa petaka. ARM harus menerima konsekuensi yang harusnya tidak ia terima sebegitu kejamnya. ARM dipukuli oknum yang belakangan, dilansir Tirto (23/3) diduga anggota HMI. Dalam berita random yang saya peroleh melalui Instagram dan kawan-kawan Pers Mahasiswa (Persma) lain, ARM dipukuli hingga babak belur dan berdarah. Ia diperlakukan selayaknya orang yang telah melakukan kejahatan yang sangat kejam. Padahal ia cuma menulis.
Pemukulan terhadap ARM menambah daftar panjang tindakan represi terhadap Persma. Lebih jauh sebelum itu Persma sejak dulu sangat rentan terhadap jaring represi. Pers yang beroperasi dan mempunyai kantor di kampus ini, berdasarkan riset Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sepanjang 2017-2019 telah menerima tindakan represif. Setidaknya ada 58 jenis represi dari 33 kasus.
Dilansir persma.org (31/12/2019), pelaku represi terhadap pers mahasiswa paling banyak justru datang dari pejabat kampus sendiri yaitu 18 kali, mahasiswa 7 kali, dosen tiga kali, satuan keamanan kampus tiga kali, oknum organisasi mahasiswa 2 kali, serta warganet kampus 2 kali. Ada pula represi yang dilakukan pihak luar kampus seperti polisi 7 kali, masyarakat sipil 1 kali, dan oknum organisasi masyarakat (ormas) 2 kali.
Ironisnya lagi, pemukulan ini dilakukan oleh mahasiswa yang diduga anggota HMI. Mereka disinyalir tidak terima atas tulisan ARM, dan meminta pihak redaksi menurunkan opini tersebut. Namun karena dari pihak LPM Progress enggan melakukannya, terjadilah diskusi yang memanas hingga berujung pemukulan. Sementara dari LPM Progress sudah membuka kesempatan bagi HMI FTMIPA Unindra untuk membuat tulisan tandingan.
Sayangnya mereka mengambil jalan keluar untuk melakukan pemukulan daripada sekadar membalas tulisan dengan menulis versinya sendiri. Kenapa hal ini bisa terjadi? Menulis bukan perkara mudah, tetapi tak seharusnya sebagai golongan intelektual (baca: mahasiswa) melakukan pemukulan yang justru mengarah pada tindakan premanisme. Mereka boleh dikatakan masuk kategori cacat intelektual. Mahasiswa sejatinya agent social of change sama sekali tidak tercermin pada kelakuan oknum tersebut.
Mahasiswa yang dinanti gagasannya, selalu membawa pasukan ratusan bahkan ribuan untuk berdemo menuntut hak rakyat, ciut nyalinya hanya karena kritikan dari salah satu anggota Persma. Saya tidak akan menyinggung Organisasi Mahasiswa Ekstra (Ormek) yang notabene banyak menghasilkan politikus dan menyuplai tikus berdasi di Senayan dan Istana itu. Oknum HMI macam begini, bukannya membawa angin segar buat demokrasi kita, tetapi malah meninggalkan bau busuk dengan menjadi perusak demokrasi itu sendiri.
Seperti yang saya utarakan di atas, bahwa oknum mahasiswa ini telah mengalami cacat intelektual. Apalagi sampai melakukan tindakan represi terhadap sesama mahasiswa yang ikut menyuarakan pendapat mengenai Omnibus Law. Oknum ormek tersebut juga gagal memahami rubrik opini dalam sebuah media massa. Gagal paham dalam artian keliru menamai opini sebagai salah satu produk berita yang harus mencantumkan narasumber. Sehingga sanggup menilai itu subjektif. Padahal sudah dari dulu kala, opini pasti sifatnya subjektif.
Meski terkadang mengandung data dan memerlukan sedikit riset dan observasi, tulisan opini tidak dapat terlepas dari unsur subjektivitas. Agaknya ini yang tidak dimengerti oknum HMI yang memukuli ARM. Mungkin karena terlanjur naik pitam menganggap tulisan opini tersebut menyudutkan, ormek yang bersangkutan langsung saja memukul. Pelaku telah kehilangan nalar intelektualnya. Sehingga tanpa pikir panjang tindakan yang menjurus penganiayaan pun terjadi.
Andaikata pelaku bisa berpikir lebih jernih lagi, harusnya memilih membalas tulisan tersebut dengan tulisan lain. Sehingga terwujudlah iklim akademis yang lebih sehat. Jika saja oknum HMI itu memakai nalar intelektual dengan baik tanpa cacat sedikit pun, saya juga tak menulis ini. Apalagi pelaku ini tidak berusaha untuk mencari tahu apa itu bentuk tulisan opini, dan bagaimana menanggapinya. Siapa tahu bisa tidak melakukan hal ceroboh semacam ini.
Entah sejak kapan anggota ormek sekelas HMI bisa melakukan tindakan buruk semacam itu. Sebagai mahasiswa, apalagi ditambah memiliki embel-embel Islam sepatutnya mengerti betul pemukulan secara brutal seperti merupakan perbuatan tecela. Sungguh memalukan. Padahal tanpa perlu melakukan pemukulan terhadap anggota Persma, sebelumnya kanda HMI FTMIPA Unindra sudah terebih dahulu tidak berhasil memahami Omnibus Law. Hampir seluruh kelompok, lebih-lebih yang berasal dari mahasiswa sepakat Omnibus Law adalah produk yang tidak bisa diterima.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cilaka yang termasuk dalam Omnibus Law itu nyatanya berpotensi merugikan kaum pekerja. Penghapusan upah minimum, sampai terbuka lebar investasi bagi para korporat dan golongan kapitalis. Belum lagi ihwal penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) berpeluang merusak tatanan lingkungan. Implikasinya adalah tanah dan rumah-rumah warga bisa digusur seenaknya. Apalagi jika ditambah RUU Pertanahan yang sama sekai tidak sesuai dengan agenda reforma agraria.
Wajar bila tak sepakat terhadap Omnibus Law. Bagian-bagian yang terwujud dalam RUU yang terkandung di dalamnya hampir seluruhnya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Namun bagi kakanda HMI, lebih khusus FTMIPA justru mendorong Ominibus Law segera disahkan.
Laporan yang dilansir inisiatifnews.com 17 Maret 2020 kemarin menunjukkan HMI Komisariat FTMIPA Unindra PGRI mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secepatnya mengesahkan Omnibus Law. Ditambah berita diberikan judul “HMI Dorong DPR Sahkan Omnibus Law’. Usut punya usut, ternyata Pemimpin Umumnya adalah Masduki Baidlowi, seorang Staff Khusus (Staffsus) Wakil Presiden Republik Indonesia. Loh?
Melalui kejadian ini, saya jadi ragu pada mahasiswa yang terlanjur masuk ke dalam ormek tertentu. Bukan meragukan prestasi karena mahasiswa seperti oknum tadi pasti memiliki prestasi yang gemilang. Dia bakal mendapat tempat nanti setelah lulus, kalau tidak di Senayan bisa di Istana, atau paling mentok menjadi gubernur, walikota, atau pengurus partai. Saya ragu pada idealisme mereka.
Oke, idealisme setiap orang boleh berbeda. Menurut si A idealisme itu bisa membela kepentingan rakyat dan menjunjung tinggi demokrasi, sedangkan menurut si B bisa jadi sama. Hanya saja si B ini tidak ragu kalau ditawari masuk pemerintahan, karena boleh jadi bisa mengubah keadaan lewat jalur dalam. Meski kadang bisa hanyut dalam arus politikus, bukannya menolong rakyat, tetapi menusuknya.
Bahaya yang berikutnya adalah mereka riskan terkena cacat intelektual. Masih tetap punya intelektual, dan masih bisa disebut golongan akademis. Namun, tak bisa menggunakan intelektualnya dengan baik. Apa namanya kalau bukan cacat?
Artikel Lainnya
-
129811/08/2020
-
102824/08/2021
-
130923/03/2020
-
533817/11/2019
-
Pertambahan Penduduk dan Kerusakan Lingkungan
530715/02/2021 -
Paus Fransiskus dan Peran Profetis Gereja
222812/02/2020