Konflik Pembangunan dalam Monolog Demokrasi

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
 Konflik Pembangunan dalam Monolog Demokrasi 29/03/2024 602 view Lainnya Ilustrasi buldoser (Pixabay/PublicDomainPictures)

Romlah, warga Kampung Bulak, Sukmajaya, Depok, mengalami stres berat ketika menerima kabar bahwa rumahnya akan digusur. Ia tidak menyangka bahwa lahannya menjadi korban pertama penggusuran untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada November 2019.

Kemudian, Romlah menjelaskan bahwa warga Kampung Bulak sempat bernegosiasi dengan aparat yang datang. Namun, sayangnya negosiasi tidak berjalan lancar. Warga malah dipaksa aparat untuk mengeluarkan barang-barangnya dari rumah. Selain itu, aparat juga menghancurkan jembatan yang menjadi akses masuk warga Kampung Bulak.

Kisah di atas, mengingatkan saya pada monolog Putu Wijaya yang berjudul Demokrasi. Monolog ini menjadi cerminan dari realitas konflik pembangunan di Indonesia, di mana kepentingan pembangunan seringkali bertabrakan dengan hak-hak individu dan kaum minoritas.

Tawar-Menawar Demokrasi

Monolog Demokrasi karya Putu Wijaya menceritakan tentang situasi Gang Gugus Depan yang tadi tenang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan petugas dari kelurahan. Petugas tersebut membawa kabar rencana pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh perusahaan pabrik tekstil. Pelebaran tersebut memakan dua meter tanah dari setiap rumah di gang tersebut. Kemudian petugas mencoba meyakinkan warga di gang tersebut untuk merelakan rumahnya digusur untuk kepentingan pembangunan bersama.

Suasana semakin tegang ketika suara mesin buldoser mulai terdengar. Tanpa izin atau peringatan, buldoser itu mulai menggerus Gang Gugus Depan. Teriakan warga bergema memenuhi udara, namun buldoser tetap maju dengan ganasnya. Warga berusaha menghadang, buldoser dengan tegas. Warga menolak tunduk keputusan yang diambil tanpa adanya musyawarah.

Akhirnya, seorang RT dari Gang Gugus Depan dengan tekad kuat memasuki gedung kantor pabrik tekstil. Saat bertemu dengan direktur pabrik, dengan tegas ia menyampaikan bahwa mereka, sebagai rakyat kecil, tidak bersedia kehilangan dua meter tanah mereka demi jalan pintas yang diinginkan oleh perusahaan.

Kemudian pak RT ditawarkan makanan dan minuman, namun ia menolak dengan tegas. Ia tidak datang untuk bersantai atau bersuka ria, melainkan untuk menyuarakan keadilan bagi warganya yang merasa terancam. Namun, sebuah tiba-tiba direktur memberikan amplop coklat tebal. Jumlah uang yang tertera di amplop tersebut 250.000.000 rupiah. Dan, uang sebesar itu membuat pak RT tergoda. Lalu ia pun melupakan perjuangannya menyuarakan keadilan bagi warganya.

Esok harinya, warga Gang Gugus Depan berkumpul untuk mendengarkan hasil pertemuan pak RT dan Pak Direktur. Pak RT mengatakan kepada warga untuk merelakan dua meter tanahnya. Menurutnya, warga Gang Gugus Depan harus mengutamakan kepentingan bersama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi.

Namun, respon yang pak RT terima membuatnya terkejut. Para warga hanya diam dan meninggalkan tempat tanpa memberikan tanggapan apa pun. Kejadian tersebut mengakibatkan perubahan sikap warga terhadap demokrasi. Warga gang Gugus Depan pun mulai menolak konsep demokrasi.

Demokrasi Melindungi Kaum Terpinggirkan

Dalam monolog Demokrasi karya Putu Wijaya, keterkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sangat relevan. Monolog tersebut menggambarkan bagaimana tindakan penggusuran tanah dan pemindahan warga terkait pelebaran jalan secara tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan standar HAM yang diatur dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang diakui pemerintah melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Penggusuran yang sesuai dengan standar HAM seharusnya mengalihkan warga ke tempat tinggal baru yang layak sebelum melakukan penggusuran. Ini bertujuan agar saat penggusuran dilakukan, warga terdampak sudah tidak tinggal di lahan tersebut. Sebaliknya, penggusuran paksa adalah tindakan penggusuran yang melanggar standar HAM, seperti memindahkan warga tanpa musyawarah atau solusi yang memadai, atau mengosongkan lahan ketika warga masih tinggal di sana.

Dalam monolog tersebut, terlihat jelas ketidakpedulian terhadap nilai-nilai demokrasi dan standar HAM dalam pembangunan dan kebijakan publik. Meskipun standar-standar HAM telah ditetapkan dalam Komentar Umum No. 7 terkait pemindahan orang (penggusuran), seperti partisipasi, musyawarah, mencari solusi tanpa kekerasan, dan keterlibatan aktif semua pihak terkait, namun kewajiban ini tidak dipatuhi dalam monolog tersebut.

Padahal dalam demokrasi masyarakat seharusnya memiliki peran dalam menentukan nasib mereka sendiri. Melalui dialog yang terbuka, manusia dapat saling memahami dan memperjuangkan keadilan serta kesetaraan. Komunikasi yang melibatkan semua pihak adalah kunci dari sistem demokrasi. Dengan ini, demokrasi seharusnya memberi kesempatan kepada semua orang, termasuk orang yang terpinggirkan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya