Patung Pahatan dan Pemahat Politik: Sebuah Refleksi Kekuasaan

Marine Inspector di Jakarta
Patung Pahatan dan Pemahat Politik: Sebuah Refleksi Kekuasaan 26/05/2025 105 view Politik kompas.com

Apa yang bernilai dari sebuah patung? Pada dasarnya, patung adalah karya yang berasal dari bahan dasar berupa batu, kayu, atau media lain yang sebelumnya tidak memiliki nilai jual dan seni yang tinggi. Namun, di tangan seorang pemahat ulung, bahan-bahan itu berubah menjadi sesuatu yang bernilai—menjadi karya seni yang mampu memikat dan memberi makna. Nilai sebuah patung sejatinya bukan hanya pada bentuknya, melainkan pada tangan yang memahatnya. Oleh karena itu, tangan pemahatlah yang kemudian dinilai, dipuji, bahkan dikenang sebagai ahli pahat ternama.

Berpijak dari analogi ini, kita bisa melihat bahwa dalam dunia politik, sosok pemimpin—misalnya Jokowi—tidak lahir begitu saja dalam ruang hampa. Ia adalah “patung pahatan” yang dibentuk, dipahat, dan diukir oleh para pemahat politik yang ahli. Para pemahat inilah yang merancang, membentuk citra, dan menyiapkan jalan bagi sosok itu untuk melangkah dari walikota, menjadi gubernur, dan kemudian presiden. Namun ironisnya, setelah sosok tersebut terbentuk, orang lupa siapa pemahat sesungguhnya. Bahkan publik dan sang “patung” sendiri kerap menganggap bahwa dirinya hebat dan bernilai secara mandiri, tanpa mengakui peran besar para pembentuknya.

Yang lebih menyakitkan, sosok yang dibentuk itu—yang dalam hal ini adalah Jokowi—seolah merasa hebat dan pantas dihargai sendiri. Ia tidak memiliki rasa malu untuk mengabaikan sejarahnya, tidak tahu berterima kasih, bahkan pelan tapi pasti membunuh sang pemahat utama. Ini adalah gambaran klasik dari paradoks kekuasaan: ciptaan yang dibesarkan oleh tangan orang lain, justru melupakan dan mengingkari tangan tersebut saat ia mulai menikmati kemegahan.

Setelah terbentuk, sang patung meninggalkan rumah pemahatnya. Rumah itu bukan sekadar tempat fisik, melainkan simbol asal-usul dan proses perjuangan yang panjang. Kini, sang patung membanggakan diri karena sudah berada dalam ruang istimewa nan megah—sebuah istana yang dipenuhi puja-puji dan sorotan gemerlap. Di sana, tepuk tangan dan sorakan membuatnya lupa suara-suara lama yang pernah mengangkatnya. Cermin-cermin mewah memantulkan bayangan dirinya, hingga ia lupa betapa kecilnya ia dulu ketika pertama kali diketuk pintunya oleh para pemahat politik.

Sang pemahat politik itu kini dilupakan dan tak mampu berbuat apa-apa. Ia kalah oleh pesona ciptaannya sendiri. Sang patung berhasil merebut simpati banyak orang, memainkan narasi kehebatan, dan memonopoli panggung sebagai satu-satunya tokoh pembawa harapan. Sementara itu, pemahatnya perlahan hilang dari ingatan publik, dianggap masa lalu yang tak relevan, bahkan kadang disebut sebagai pengganggu masa depan. Padahal tanpa pemahat, patung tak akan pernah lahir.

Lebih ironis lagi, sang patung pahatan tak pernah sadar bahwa ia dulu hanyalah seonggok kayu atau sebongkah batu yang tak bernilai. Ia lupa bahwa keindahan dan kemegahan yang melekat padanya adalah hasil tangan orang lain—hasil proses panjang penuh pengorbanan. Ia tak mengerti bahwa setiap patung, seindah apa pun, pasti akan mengalami waktu: akan usang, rapuh, dan kehilangan daya tariknya. Seperti patung-patung lain dalam sejarah, ia mungkin akan disimpan dalam gudang, atau bahkan dibuang tanpa upacara, tergantikan oleh pahatan baru yang lebih muda dan segar.

Inilah hukum waktu dan kekuasaan: yang diagungkan hari ini, bisa dilupakan esok hari. Maka jika lupa pada pemahatnya, apa lagi yang tersisa dari nilai dirinya?

Lagi-lagi, sang pemahat dilupakan karena orang terlena oleh keunikan dan nilai pahatan sang patung. Jika ada yang menyebut Jokowi sebagai boneka, mungkin itu bukanlah sekadar sindiran. Ia memang boneka—boneka buatan yang dapat berbicara dan berbuat di bawah komando yang tersembunyi. Namun boneka itu memiliki nyawa dan nafsu sendiri. Boneka itu bahkan mulai melawan dan menyerang sang pembuat boneka yang dulu menggerakkannya.

Inilah ironi terparah dalam politik modern: ciptaan yang dilepaskan justru berbalik menggigit tangan yang membentuknya. Boneka yang seharusnya patuh, berubah menjadi penguasa yang tak terkendali.

Kembali pada analogi patung dan pemahat politik, sangat penting untuk diingat bahwa keunikan dan nilai sebuah patung bukanlah pada patung itu sendiri, melainkan pada siapa yang memahatnya. Sang pemahatlah yang layak dipuji, dihormati, dan dipercaya. Ia bukan hanya pencipta satu karya, melainkan sumber inspirasi yang terus memahat kayu atau batu lain, menciptakan pahatan-pahatan baru yang lebih baik dan bermakna.

Bukan sebaliknya, pahatan yang membanggakan dirinya sendiri, melupakan jatidirinya, dan menenggelamkan pemahatnya dalam lupa. Dalam politik, seperti dalam seni, menghargai pemahat berarti menjaga akar, menjaga kejujuran, dan membuka peluang untuk pembaruan yang sesungguhnya.

Patung tanpa pemahat hanyalah benda mati. Begitu pula pemimpin tanpa akar dan kesadaran sejarah akan kehilangan makna sejatinya. Oleh karena itu, sebagai warga yang kritis dan cerdas, kita harus mampu melihat proses di balik penciptaan sosok pemimpin, menghargai mereka yang membentuknya, dan tidak terbuai oleh kemegahan yang semu.

Jangan sampai kita hanya terpukau pada “patung” tanpa mengenal “pemahat” yang sesungguhnya. Karena dari sana, kita bisa belajar arti kesetiaan, kejujuran, dan keberlanjutan dalam berpolitik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya