Presiden Juga Manusia

Kemarahan Presiden kepada para bawahannya tempo hari sontak membuat masyarakat riuh rendah. Pro kontra menghiasi laman-laman media sosial, walau sering hanya berupa agitasi murahan belaka. Seolah-olah kita lupa bahwa Jokowi juga manusia.
Janganlah terlalu risau dengan murkanya pemimpin kepada bawahannya. Apakah ada kelainan? Tidak, itu hal yang wajar kok. Yang tidak wajar adalah jika pemimpin tidak pernah marah. Ini gawat, karena bisa jadi sosok yang tidak pernah marah itu menandakan bahwa ia lemah, atau bisa jadi ia sosok yang tak peduli. Lebih pilih mana, sosok yang lemah atau yang cuek? Kalau saya sih, tidak dua-duanya.
Maka tidak perlu terlalu berlebihan reaksinya jika seorang Presiden bisa marah. Wong yang beliau marahi itu bawahan-bawahannya sendiri, dan bukan bawahanmu. Menteri itu kan pembantu Presiden, emang nggak boleh marahin pembantu? Apa kamu para kaum nyinyir nggak pernah marah? Lagian masih banyak hal yang perlu kita pikirkan daripada memikirkan hal yang tidak penting bagi dirimu.
Lebih baik mikir yang jelas-jelas saja, seperti masa depanmu yang belum terlalu terang lebih patut untuk dipikirkan. Memang ya sudah dari sononya hidup ini terasa lebih asyik jika kita bisa memperbincangkan orang lain. Apalagi yang kita bincangkan adalah orang-orang yang berada di level atas kita. Kebiasaan yang senantiasa memikirkan orang lain, hingga kadang lupa memikirkan diri sendiri.
Tapi kalau yang kita pikirkan adalah manusia sekelas Presiden yang sedang menunjukkan kemanusiaannya, kok rasanya kita ini kurang kerjaan, ya kan, iyain aja deh.
Sejak Ir. Joko Widodo muncul ke permukaan dengan karir politik cemerlangnya, merambah dari seorang walikota melompat dengan cekatan menuju pucuk pimpinan negara. Dalam waktu yang tepat, ia telah menciptakan Jokowi effect. Dari sosok yang bukan siapa-siapa, dan bukan pula seorang putra mahkota dari kampiun politikus mana pun, dengan jalan Tuhan ia menjadi Presiden kita.
Dengan tagline ‘Blusukan’ ia telah menjadi fenomena, seolah seperti bukan manusia saja. Ia yang selalu tampil sederhana, selalu senyum kepada siapa saja, dan ini yang penting, beliau tidak pernah marah, bahkan bermuka masam pun serasa tidak pernah. Padahal ia tetaplah seorang manusia, seperti kita, yang dibekali potensi kesabaran sekaligus kemarahan.
“Saya tetap berpendirian Jokowi wajar marah”, begitu seloroh saya bercampur agak ngotot pada seorang teman di suatu sore, di beranda rumah sambil ditemani kopi susu hangat. “Marah sih boleh”, jawab teman saya sedikit melunak, “Ya tapi jangan disebar-sebarkan begitu terang di media sosial dong” kembali meninggi suaranya, suara yang sedikit lantang khas orang pesisir pantai utara.
Oh jadi permasalahannya bukan di kemarahannya, tapi pada media sosialnya. Lagi-lagi media sosial kena getahnya, selalu jadi kambing hitam. Siapa sih manusia zaman sekarang yang tak kenal dengan media sosial. Mulai dari anak-anak sampai tua renta, asyik bertik-tok ria. Mulai dari petani, pedagang, sampai pejabat bergairah menjadi Youtuber. Mulai dari pemuda putus sekolah sampai para profesor tak lelah menskrol timeline di laman Twitter mereka. Intinya media sosial sekarang ini diposisikan sebagai Sembako urutan kesepuluh. Slogannya adalah “Harta, Tahta, Kuota”.
Toh media sosial nggak kejam-kejam amat. Masih banyak manfaat positif dari akitivitas mengasyikkan ini. Aktivitas pujaan manusia zaman Now. Kenapa manusia selalu berpikiran negatif terhadap orang lain. Sekedar ingin eksis di media sosial saja kok ya dibuat masalah. “Lho, Presiden kan sudah terkenal, ngapain juga butuh ngeksis di media sosial?” begitu gencar pertanyaan lanjutan dari teman saya tadi.
“Eksis bukan dari keterkenalan orangnya, nggak salah kan kalau ingin menunjukkan ke-akuan” jawab saya tak kalah cepat. “Oh jadi Presiden juga butuh diakui tho?”.
“Ya, kenapa tidak, toh Presiden juga manusia”. Presiden tetaplah manusia biasa, ia bukanlah sosok yang jatuh secara tiba-tiba dari langit, atau semacam makhluk robotik ciptaan NASA. Bukan, ia tetap sosok yang membutuhkan makan dan minum. Ia juga sosok yang tetap tertawa ketika ada yang lucu, tetap menangis manakala sedang dilanda kesedihan, tetap marah jika ada sesuatu yang kurang berkenan di kalbunya.
Kenapa kita-kita malah sewot ketika Presiden kita yang juga seorang manusia itu marah. Atau jangan-jangan kitalah sebenarnya yang sedang pelan-pelan meninggalkan kemanusiaan kita.
Artikel Lainnya
-
138730/06/2021
-
400028/10/2019
-
44307/12/2023
-
Kasus Pembunuhan Brigadir J dalam Perspektif Etika
260020/08/2022 -
Childfree dan Ancaman Risiko Kesehatan
265230/08/2021 -
Hilangnya Nilai Luhur Manusia di Bumi Indonesia
17124/09/2024