Kala Demokrasi Kehilangan Akal dan Hati Nurani

Kala Demokrasi Kehilangan Akal dan Hati Nurani 07/06/2025 149 view Hukum lpmprogress.com

Dalam beberapa hari terakhir, publik kembali diguncang oleh ulah segelintir pejabat yang mencoreng etika kekuasaan—dari korupsi hingga skandal moral. Semuanya tidak jauh-jauh dari urusan-urusan sekitaran perut hingga ke bawahnya. Mulai dari korupsi triliunan hingga urusan selangkangan.

Di tengah derasnya informasi, respons masyarakat pun beragam: ada yang diam, ada yang bersuara. Sayangnya, suara-suara kritis kerap dibalas dengan cercaan pribadi, bukan dengan argumen. Ruang publik kita pun perlahan berubah: bukan menjadi arena tukar pikiran, melainkan ajang saling menyudutkan tanpa logika.

Akhirnya terjadi pembelahan di masyarakat antara mereka yang mendukung penguasa dan mereka yang mengkritik penguasa. Namun perdebatan yang terjadi di antara kedua kelompok ini seringkali tidak dasari dengan argumen, sehingga yang terjadi adalah debat kusir.

Mereka yang berada pada kubu penguasa selalu melontarkan respon-respon sentimen yang bersifat pribadi terhadap mereka yang mengkritik penguasa. Dari respon yang diberikan, banyak terdapat bentuk sesat berpikir (logical fallacy) yang dilakukan oleh para pembela penguasa.

Pembelaan yang dilakukan oleh para pembela penguasa seringkali dilakukan secara membabi buta—tidak melihat sisi positif dari kritikan yang disampaikan, serta tidak melihat kekurangan yang terdapat pada sosok tokoh yang dibela. Bahkan pembelaan secara mati-matian dilakukan untuk orang yang secara terang dan jelas telah bersalah.

Ruang Publik tanpa Logika

Logical fallacies (sesat pikir) merupakan sebuah cara berpikir yang kelihatannya masuk akal, tapi sebenarnya salah. Hal sering ditemukan pada argumen yang dilontarkan oleh para pendukung penguasa.

Bentuk sesat pikir yang sering mereka lakukan adalah seperti; ad hominem—menyerang pribadi pengkritik, strawman—memelintir argumen kritik, false dilemma—seolah hanya ada dua pilihan, dukung atau anti, dan appeal to accomplishment—membenarkan diri dengan prestasi.

Jadi ketika ada yang mengkritik perilaku pejabat yang amoral atau kebijakan yang dilakukan merugikan masyarakat. Biasanya responnya seperti yang disebutkan di atas, misal “Kalian mengatakan Dia seperti itu karena Kalian benci pada Dia, Kalian memiliki penyakit hati”, argumen seperti ini disebut sebagai ad hominem, di mana bukan argumen yang direspon malah menyerang pribadi. Contoh lainnya "Dia itu walaupun telah melakukan tindakan amoral, namun Dia adalah pejabat yang sudah banyak berprestasi", pernyataan seperti ini termasuk dalam kategori appeal to accomplishment, Dikatakan sesat, sebab tindakan amoral dan prestasi merupakan dua hal yang berbeda, artinya prestasi seseorang tidak bisa menghapus atau membenarkan tindakan amoralnya.

Terakhir, bentuk sesat pikir yang seringkali dilakukan juga adalah tu quoque, dengan menyerang konsistensi lawan bicara alih-alih argumennya, ini termasuk dalam jenis ad hominem fallacy. Contohnya “Kamu mengatakan Dia tidak bermoral, namun Kamu kan juga pernah melakukan hal yang sama”, disebut sesat pikir karena walaupun apa yang disampaikan tidak sesuai dengan perilakunya, itu tidak membuat apa yang disampaikan itu salah. Sebab valid atau benar sebuah argument tidak bergantung pada orang yang mengatakannya, tapi pada alasan dan bukti-bukti yang mendukungnya.

Kondisi ini menggambarkan sebuah fenomena nirlogika suatu bentuk pemikiran yang tidak logis atau berlawanan dengan prinsip-prinsip logika, seperti; argumen yang tidak didukung oleh bukti atau alasan yang jelas, menggunakan perasaan daripada logika untuk membangun argument, mengemukakan klaim yang bertentangan dengan fakta atau diri sendiri.

Logika sebagai perangkat berpikir menjadi syarat dalam berdemokrasi, sebab demokrasi merupakan jalan tol bagi lalu lintas informasi. Maka sangat dibutuhkan logika untuk mengolah berbagai informasi yang lalu lalang—salah satunya adalah kritikan—sebagai informasi yang mesti diolah oleh pikiran.

Mereka yang sudah cakap dalam berlogika—menggunakan hukum-hukum logika untuk berpikir, sudah tidak lagi tersinggung apalagi marah. Sebab mereka paham, bahwa ada keterpisahan antara subjek (sebagai yang berpikir) dan pikiran (alat berpikir yang menghasilkan pemikiran), jadi ketika ada yang mengkritik, itu bukan menyerang kehormatan pribadi (subjek) tapi menyerang pemikirannya yang dihasilkan oleh pikiran. Fokus pada apa yang disampaikan yakni ide, bukan pada yang memberi kritik.

Fanatisme Membunuh Demokrasi

Imbas dari ketidakmampuan berlogika adalah fanatisme—sikap berlebihan dalam mendukung atau mempercayai sesuatu, sehingga membuat mereka tidak terbuka terhadap pandangan lain. Kritik dianggap sebuah ancaman sehingga responnya bisa dilakukan secara agresif atau intoleran terhadap pendapat yang berbeda.

Fanatisme merusak semangat deliberasi yang menjadi fondasi utama demokrasi. Dalam sistem demokratis, perbedaan pendapat adalah sumber kekuatan, bukan ancaman. Namun, ketika fanatisme menguasai ruang publik, maka diskusi digantikan dengan doktrin, dan argumen digantikan dengan cercaan.

Lebih parahnya, fanatisme membuat masyarakat kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai moral atau keadilan dan kebenaran. Ukuran benar dan salah tidak lagi ditentukan oleh prinsip moral universal, tetapi oleh siapa yang berbicara dan kelompok mana yang didukung. Dalam situasi ini, tindakan-tindakan amoral bisa dianggap sepele jika dilakukan oleh “orang kita”. Ketika hati nurani mati, maka demokrasi hanya menjadi panggung untuk pembenaran, bukan pencarian kebenaran.

Demokrasi seharusnya menjadi tanah subur untuk tumbuh kembangnya kritik, namun di tangan kaum fanatik, pemimpin dianggap suci, kebijakan tidak boleh dibantah, dan kritik dimaknai sebagai serangan terhadap identitas. Dalam iklim seperti ini, demokrasi perlahan kehilangan rohnya: kebebasan berpikir, berekspresi, berpendapat, serta partisipasi masyarakat yang menjadi alat kontrol untuk setiap kebijakan pemerintah.

Demokrasi yang tumbuh di tengah masyarakat yang surplus fanatisme dan defisit akal sehat hanyalah menunggu waktu untuk runtuh

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya