Wabah Corona dan Ujian Kemanusiaan Kita

Wabah penyebaran corona semakin akut dan meluas. Sampai saat ini sudah begitu banyak korban akibat penularan virus corona (covid 19). Banyaknya korban yang berjatuhan memerlukan upaya dan penanganan serius dan komperhensif dari semua pihak. Kondisi ini memaksa pemerintah segera menetapkan wabah ini sebagai situasi darurat yang perlu direspon dengan cepat.
Penetapan situasi darurat terhadap wabah corona bukan hal mudah dan dianggap enteng, sebab penularan yang massif dari beberapa tempat telah mengakibatkan segala aktivitas publik menjadi lumpuh. Instruksi pemerintah melalui bekerja dari rumah (work from home) dan menjauhi perkumpulan banyak orang (social distancing) merupakan beberapa solusi yang ditawarkan.
Namun tidak hanya bergantung pada alternatif solusi tersebut, sebab merembesnya virus ini hingga ke beberapa daerah dan kemungkinan besar akan merembes kebeberapa daerah lain menjadi amat sangat diperlukan untuk mengaktifkan solusi lain seperti penguncian wilayah atau daerah atau negara dari keluar-masuk warga (lock down). Solusi ini hingga saat ini masih diperdebatkan karena mempertimbangkan beragam aspek yang nanti akan fatal jika solusi ini diputuskan dengan gegabah.
Tidak seperti negara Italia dan beberapa negara lain yang sudah mengaktifkan kebijakan lock down karena tingkat penyebaran virus yang semakin massif dan destruktif. Pola penyebaran virus yang cepat sangat rentan dengan kepanikan sehingga menimbulkan disinformasi hingga menyebabkan masyarakat kehilangan kendali memahami virus corona.
Persoalan paling fundamen sebenarnya karena kurangnya informasi yang bisa dipublikasikan kepada masyarakat berkaitan dengan penyebaran virus serta tanda-tanda orang sudah terjangkit virus corona. Hal ini sangat berdampak kuat terhadap masyarakat sehingga penyakit yang timbul di kalangan masyarakat (katakanlah bukan karena virus corona) menyebabkan kepanikan karena informasi dan pemahaman yang diberikan kepada masyarakat masih sangat minim dan simpang siur.
Ibaratnya informasi virus corona masih seputar kabar burung ke tengah masyarakat kita karena pemberitaan yang mengalir masih mengalami tumpang tindih informasi (information overleaping). Apalagi dengan keterbatasan di daerah dari informasi seputar virus corona menambah rumit dan panik masyarakat di tengah semakin meluasnya wabah corona. Hal ini perlu disadari bahwa di tengah kekacauan seperti ini masyarakat di akar rumput (grass root) sebetulnya membutuhkan informasi yang tepat, jelas dan akuntabel.
Lantas pertanyaan paling tepat, dimana sikap kemanusiaan kita di tengah wabah corona? Sedangkan di satu sisi virus ini makin mengakar dan merambat hampir semua daerah, sedangkan informasi publik masih sangat berseliweran dan tumpang tindih. Bukankah dengan ini kita malah menciptakan kerusuhan yang meluas sehingga menyebabkan orang lain merasa takut dan akhirnya bersikap egois terhadap manusia lain?
Di sinilah sebetulnya kehadiran wabah corona ke tengah masyarakat menjadi batu ujian bagi kemanusiaan kita, apakah kita betul-betul menghadirkan nuansa kemanusiaan di tengah wabah corona yang terus menggempur dan destruktif. Atau malah wabah corona menumpulkan kemanusiaan itu sendiri dan malah menciptakan manusia yang dalam bahasa Thomas Hobbes “Bellum omnium contra omnes” karena kegagapan kita memahami virus corona akhirnya bersaing untuk menundukan manusia lain demi menjaga diri agar kita tidak tertular.
Dalam hal apapun, kemanusiaan sebagai nilai tertinggi dari manusia mesti tetap ditancapkan dalam setiap situasi. Kemanusiaan adalah nilai dan puncak dari kehidupan yang tanpanya manusia akan mudah tenggelam dalam arus egoisme diri. Situasi saat ini di tengah wabah corona yang semakin akut membutuhkan sikap kemanusiaan kita bagi orang lain.
Kita harus mengakui bahwa di tengah ancaman corona, sikap kemanusiaan kita masih dibayangi dengan rasa takut. Rasa takut yang menghantui kita telah membawa kita pada sikap untuk menjadi takut dan waspada terhadap orang lain. Kita mulai berjaga-jaga dengan menyimpan rasa kekhawatiran terhadap orang lain, “jangan-jangan orang yang berada di dekat kita mengidap penyakit corona”. Dengan dibayangi sikap seperti ini kita mulai bersikap egois, mudah menstigma orang lain mengidap virus corona dan lebih mudah menyalahkan yang lain.
Sikap ini akan terus tumbuh dan menjalar dalam diri kita karena ketidakmampuan kita menghadirkan di satu sisi informasi yang tepat, jelas dan akuntabel berkaitan dengan virus corona dan sisi lain sikap kemanusiaan kita yang tumpul. Penyebaran virus corona telah menghadirkan beragam sikap manusia yang menggerus aspek kemanusiaan sebagai puncak bagi kemanusiaan.
Untuk itu, di tengah masifnya penyebaran virus ini, kita tetap menjadi manusia yang bertitik pada rasa kemanusiaan yang berarti sigap dalam membantu yang lain. Puncak kemanusiaan seperti ini lahir karena kita merasa bahwa wabah corona merupakan masalah kemanusiaan yang dapat merusak kemanusiaan itu sendiri. Pada aras ini, wabah corona akan kita perangi secara bersama jika aspek kemanusiaan itu betul-betul berangkat dari sikap mulia bahwa ini merupakan persoalan kemanusiaan yang membutuhkan respon semua pihak.
Pada akhirnya, tulisan ini hendak menyadarkan rasa kemanusiaan kita di tengah wabah corona. Hal ini dimulai dari sikap bahwa kita harus berjibaku mendukung dan mengupayakan langkah bersama memerangi virus ini. Pemerintah dan masyarakat punya porsi yang diberikan sebagai tanggung jawab dalam menyelesaikan wabah corona dan dengan itu keduanya harus sejalan dalam misi besar yakni mengatasi wabah corona. Di sinilah tanggung jawab kemanusiaan itu melekat dalam diri kita.
Artikel Lainnya
-
134209/03/2020
-
131603/04/2020
-
110429/12/2020
-
Menakar Peran Pemuda Pada Pemilu Serentak Tahun 2024
47125/12/2022 -
11915/07/2023
-
Menggugat Hipotesa Kubu Kontra Pabrik Semen Di Matim-NTT: Sumber Air Bisa Berkurang/Mati
146923/06/2020