Pasang Surut Demokrasi

Guru di SMAS St. Klaus Werang
Pasang Surut Demokrasi 27/03/2020 7365 view Politik Pxhere.com

Pasang surut kehidupan demokrasi mulai era demokrasi parlementer sampai dengan reformasi membawa nuansa tersendiri dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia ini. Orde Lama yang notabene sebagai peletak dasar demokrasi Indonesia ternyata juga gagal memenuhi harapan terbentuknya demokrasi di Indonesia. Demikian juga dengan Orde Baru yang mencoba sekuat tenaga untuk melahirkan demokrasi Pancasila, ternyata terjebak kepada kekakuan-kekakuan penerapan.

Kini Indonesia terlanjur terjebak kepada arus demokrasi nir-identitas bangsa yang tegas dan jelas. Demokrasi bergulir seperti arus besar yang susah terkendalikan, dia menabrak alur hidup elemen bangsa. Sehingga semuanya menjadi porak poranda jatuh berkeping-keping tanpa sisa dan daya. Akibatnya, Indonesia menjadi tidak kenal lagi jati diri bangsanya.

Dampak langsung yang bisa kita rasakan adalah kita seperti menjadi sebuah bangsa yang tidak memiliki adab dan budaya. Kini setelah hampir 22 tahun kita lepas dari kungkungan Orde Baru ternyata kita belum juga menemukan bentuk demokrasi yang cocok untuk Indonesia.

Demokrasi justru terkunci oleh pemaknaan simbol dari pada makna substansi. Karakter demokrasi berada pada elite yang sebenarnya berwatak oligarkis. Persaingan di kalangan mereka hanya dalam rangka merebut kekuasaan, tapi tidak dalam kerangka memberdayakan rakyat keseluruhan dan mewujudkan bonum commune.

Dalam konteks ini memang elit tidaklah monolit, secara politik mereka terbelah ke dalam faksi-faksi. Tetapi, kepentingan terbesar mereka adalah bagaimana mencegah agar massa di luar oligarki melawan kepentingannya. Akibatnya masyarakat menjadi apatis dan skeptis terhadap kehidupan politik dewasa ini.

Ketidakpuasan ini diwujudkan dalam bentuk golput, dan bentuk-bentuk keputusasaan yang lain. Sedangkan yang diharapkan sebenarnya demokrasi subtansial/maximalist democracy, mengaitkan demokrasi bukan saja dengan sistem politik, melainkan pula dengan aspek-aspek kehidupan di berbagai sektor lain, seperti sosial, ekonomi dan budaya.

Dalam pandangan kelompok ini, suatu negara belum bisa dikatakan demokratis jika tidak memberikan kesempatan yang sama, misalnya dalam aspek ekonomi dan keadilan sosial meskipun telah mengimplementasikan nilai atau prinsip demokrasi dalam aspek politik.

Demokrasi menurut Jurgen Habermas seoarang filsuf politik Jerman harus selalu memadukan dua hal penting dalam kehidupanya ”the quality of discourse" dan "the quantity of participation”. Praktik partisipasi yang besar dan luas tanpa kualitas wacana yang kokoh akan menghasilkan demokrasi yang nir-identitas.

Sebaliknya, terlalu kokoh kualitas wacana politik tanpa partisipasi politik warga negara, demokrasi akan digenggam oleh segelintir para ahli. Substansi demokrasi Indonesia telah direduksi oleh parpol dengan mengurangi substansi dari demokrasi. keputusan politik dibajak oleh firma dengan membatasi ruang partisipasi politik dari warga negara. Kualitas diskursus dan kualitas partisipasi demokrasi oleh Habermas masih jauh panggang dari api.

Indonesia sudah mengalami perubahan bentuk demokrasi selama empat kali. Demokrasi yang pertama pada tahun 1945-1949 dengan menganut demokrasi parlementer, pada tahun 1959-1965 menganut demokrasi terpimpin, kemudian pada tahun 1965-1998 yang dalam masa kepemimpinan Soeharto menganut suatu sistem demokrasi Pancasila, dan tahun 1998 sampai sekarang adalah demokrasi masa transisi.

Demokrasi yang dijalankan pada masa reformasi mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Proses penyempurnaan pelaksanaan demokrasi pada masa reformasi dan peraturan-peraturan dinilai tidak demokrastis. Pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai dampak dari peningkatan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara.

Semua sistem demokrasi yang dianut bangsa ini sebenarnya mempunyai cita-cita yang sama yakni kedaulatan rakyat, namun perubahan sistem demokrasi yang terjadi belum mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat (bonum commune). Asas demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat masih jauh panggang dari api. Pemilu yang dijalankan hanya sebatas asas dari rakyat dan oleh rakyat. Demokrasi menjadi pincang. Suatu panorama kurang menarik dalam lanskap demokrasi bangsa ini.

Saatnya demokrasi beralih dari pemaknaan simbol dan menuju pada makna substansi demokrasi yang merakyat, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Watak elite yang oligarkis yang mengesampingkan kedalutan rakyat dibersihkan. Kepentingan sektor mesti dibersihkan dari wajah demokrasi. Para elite politik mesti bersih dari KKN.

Saatnya demokrasi Indonesia berbenah dan merefleksikan kembali makna substansinya. Kualitas diskursus dan kuantitas dari demokrasi mesti terjadi keseimbangan (balance). Dengan demikian kesamaan dalam berbagai sektor kehiduapan berbangsa dan bernegara terpenuhi.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya