Korona dan Ketanggapan Kita

Korona dan Ketanggapan Kita 17/07/2020 1408 view Lainnya army.mil

"Tiap orang mau masuk firdaus, tetapi tidak seorangpun yang mau mati"

Demikianlah sepenggal lagu populer beberapa tahun lalu di Amerika. Lagu ini menyajikan sebuah kebenaran mendasar dalam hidup bahwa manusia selalu ingin masuk firdaus, tempat bercokolnya kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian, dan sukacita.

Sekarang ini, corona tengah meluluh-lantakkan dunia. Umat manusia sekarang kini berduka, ratusan ribu nyawa melayang sia-sia akibat pandemi Covid-19. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat pun tak bergeming menghalaunya. Seolah diperkosa, negara super power ini menduduki rangking tertinggi penderita Covid-19 terbanyak di dunia.

Situasi ini mencekam. Mata manusia terbuka bahwa ia sangat rapuh, terbatas, dan kematian menjadi sangat dekat. Manusia dipaksa pandemi ini melawan hasrat paling mendasar manusia untuk tidak ingin mati. Manusia ditendang dari Firdaus menuju kebinasaan; mati!

Pertanyaan besar yang kemudian muncul di tengah situasi ini adalah apa yang harus dilakukan manusia untuk menghindari kematian?

Kerendahan Hati

Rasa-rasanya nilai ini sudah sering digaungakan dalam berbagai khotbah keagamaan, agama apapun itu. Namun sayang, masih banyak orang yang berlagak sok tahu dan tidak rendah hati mematuhi protokol kesehatan. Nilai kerendahan hati yang baik yang sering didengarkan hanya jadi jargon suci, yang hanya pas didengar tapi tidak layak diterapkan.

Padahal, ketika orang mau menghidupi nilai ini di tengah pandemi, setidak-tidaknya resiko kematian sia-sia bisa dihindari. Paus Fransiskus pun sebagai pemimpin umat Katolik sejagat beberapa waktu lalu mengimbau agar orang-orang mematuhi protokol kesehatan guna mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 (Reuters, 18/5/20).

Merasa Lebih Pintar

Sebagai sebuah bukti, harus diakui bahwa saat ini tidak sedikit orang yang merasa lebih pintar daripada para dokter, ahli kesehatan, dan perawat. Mereka merasa bahwa apa yang disampaikan orang-orang di bidang kesehatan itu terlalu berlebihan. Mereka menolak untuk mengikuti. Akibatnya, ribuan nyawa di Barat misalnya, terkhusus Amerika banyak yang mati sia-sia. Mereka terlampau percaya diri sehingga korona membawa mereka lebih cepat ke alam baka dalam kesia-sian. Hal yang sama pula terjadi di Indonesia.

Selain itu, saat ini hasil penelitian para ahli di berbagai belahan dunia tidak sedikit yang bertolak belakang satu sama lain. Apa itu Covid-19 dan bagaimana cara terbaik melumpuhkannya masih sebuah misteri. Terobosan terbaik saat ini adalah patuhilah protokol kesehatan. Di situasi ini masihkah kita berani untuk sok hebat dan melawan protokol kesehatan yang sekurang-kurangnya sudah terbukti mengurangi penyebaran Covid-19 secara masif seperti di Cina, Jepang, dan Singapura?

Firdaus yang Hilang

Masalah lain yang kini muncul akibat pandemi ini adalah hancurnya perekonomian. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara besar-besaran terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Banyak orang yang sebelumnya hidup bak dalam Firdaus atau sekurang-kurang cukup untuk hidup pun jatuh miskin.

Bank Dunia pun memperkirakan bahwa 40-60 juta orang akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2020. Angka kemiskinan dunia, termasuk Indonesia membengkak.

Selain itu, para ahli hampir semuanya sepakat bahwa situasi dunia pasca pandemi ini akan berubah. Era baru atau yang getol didengungkan dengan new normal semakin populer kendati menemui aneka kontroversi di sana-sini, kini mulai berjalan.

Robert Glazer dalam tulisannya, “Covid-19 Will Permanently Change The Way every Generations lives Here’s How” menunjukkan bahwa krisis kali ini bakal mengubah gaya hidup setiap generasi. Memang perubahan yang dialami setiap generasi itu berbeda-beda, tetapi semua kita dipaksa untuk menghidupi kenormalan hidup baru.

Nah, jika demikian, apakah semua orang siap?

Ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Mungkin bagi yang kaya dan mapan, tentu mudah. Namun, bagi keluarga-keluarga yang sudah terlanjur miskin atau dimiskinkan oleh korona apakah mereka punya harapan di masa depan? Apakah ada jaminan bahwa harapan akan masa depan itu ada?

Pertanyaan ini, pertama-tama perlu dilayangkan kepada pemerintah, apa jaminan mereka untuk memberikan masa depan yang baik dan menjanjikan bagi anak bangsa, sebuah firdaus yang sebelumnya sudah ada atau diharapkan akan ada, yang porak poranda akibat Covid-19?

Berkaca dari dari pengalaman menghadapi Flu Spanyol, pada 1918 silam, negara-negara dengan langkah pertahanan baik mampu lebih cepat dalam lima tahun setelah pandemi (Kompas, 28/6/2020). Artinya jika pemerintah kita bisa dengan cepat dan tepat memecahkan masalah ini kita butuh waktu lima tahun untuk masa pemulihan.

Jika nantinya pemerintah gagal atau kurang mampu meyakinkan, tentu akan lebih lama lagi masa pemulihannya. Sebagai pribadi yang bertanggung jawab atas hidup kita sendiri, apa yang harus kita lakukan jika skenario terburuknya adalah gelap dan tidak ada harapan?

Menciptakan Harapan

Mantan presiden Amerika, Abraham Lincoln pernah berkata, “cara terbaik memperkirakan masa depan adalah dengan menciptakannya”. Atau dengan kata lain, jika kita ingin menjauhi kematian dan mendekati firdaus, meskipun situasinya gelap dan susah, berusahalah, optimis, kenali kemampuan diri dan tanggaplah terhadap situasi ini.

Artinya selain berusaha untuk bertahan hidup di situasi ini, kita perlu mulai memikirkan peluang, pekerjaan macam apa yang bisa kita lakukan sesuai kemampuan kita untuk membuat kita hidup di era new normal yang sekarang sudah mulai kita jalani.

Lebih lanjut sebagai manusia yang diciptakan lebih istimewa dari yang lain, kita perlu merenungkan perkataan Charles Darwin ini “hanya makhluk yang tanggap terhadap perubahanlah yang dapat bertahan hidup." Tanggap berarti bukan cuma mampu beradaptasi, tetapi juga mampu berinovasi dan kreatif menciptakan peluang dalam gempuran perubahan.

Semoga sikap rendah hati dan tanggap, kita mampu menuju rumah impian kita, Firdaus.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya