Mewaspadai Gelombang Hoax di Era Normal Baru
Era normal baru (new normal) secara langsung merubah interaksi sosial antara manusia beralih ke dunia digital. Di sisi lain, mungkin akan semakin efektif dan efisien, akan tetapi ada sisi negatif yang patut diwaspadai, yakni gelombang hoax di dijagat maya.
Berbicara tentang hoax atau berita bohong memang menjadi bahasan yang tak ada ujungnya. Bahkan, di tengah-tengah wabah pandemi Covid-19 ini hoax bukan hilang, malah justru peredarannya semakin liar tak terkontrol.
Lesatan perkembangan medsos telah menyeret dimensi ruang dan waktu tanpa sekat. Kondisi ini menjadikan pesan berantai hoax berkaitan Covid-19 di medsos menjadi liar tak terkendali. Itu artinya, yang kita perangi saat ini bukan hanya Covid-19 saja, akan tetapi juga berita bohong Covid-19. Apalagi, kalau memang normal baru diterapkan, potensi gelombang hoax akan semakin berbahaya.
Di tengah-tengah derita dunia global dan merananya negeri ini imbas gempuran Covid-19 yang masif menjalar, alih-alih kita turut ikut empati malah dimanfaatkan oleh sebagian oknum tak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan menyebar hoax berkaitan Covid-19. Karenanya, informasi yang beredar, khususnya di jagad maya atau pun di medsos patut dan terus kita kawal setiap saat.
Kalau kita tengok Survey Mastel (2017) yang menyebutkan bahwa dari 1.146 responden, 44,3% diantaranya menerima berita hoax setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Bahkan media arus utama juga tak luput menjadi saluran penyebaran informasi/berita hoax, masing-masing sebesar 1,20% (radio), 5% (media cetak) dan 8,70% (televisi). Dan setidaknya hingga Kamis (12/3/2020) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan 196 hoax dan disinformasi seputar Covid-19 di tanah air.
Berkaitan dengan berbagai persoalan imbas hoax Covid-19, kejujuran dan kebenaran informasi menjadi hal yang vital. Menjunjung kebenaran dapat dilakukan oleh seorang jurnalis dan warganet dengan jurnalisme profetik atau jurnalisme kenabian (prophetic journalism).
Menurut Muhtadiah (2018) jurnalisme profetik merupakan jurnalisme yang mengemban tugas kenabian, yakni menyampaikan risalah yang bermanfaat untuk semua orang berdasar cinta sebagai ibadah kepada Allah SWT dengan cara: mengungkapkan kebenaran (truth), menegakkan keadilan (justice), mendukung terciptanya kesejahteraan (prosperity), menciptakan perdamaian (peace), dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal (universal humanity).
Jurnalisme profetik tentu relevan dengan jurnalisme Islami yakni jurnalisme yang meneladani empat kode etik Nabi Muhammad SAW yang ternyata sesuai dengan fungsi media, yakni shiddiq (menyampaikan, to inform), amanah (mendidik, to educate), tabligh (menghibur, to entertain), dan fathanah (melakukan kontrol sosial, social kontrol). Keempatnya juga bisa diartikan: shiddiq (berdasar kebenaran), tabligh (disampaikan dengan cara mendidik), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (dengan penuh kearifan).
Oleh karena itu, jurnalisme profetik 4.0 sangat diperlukan dalam memutus peredaran berita bohong berkaitan Covid-19. Apalagi, ketika kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan sangat cepat dan menjangkau seluruh jagat oleh siapa pun, termasuk penyebaran hoax. Harapannya informasi yang ada di ruang-ruang digital adalah informasi yang sehat, sejuk, dan tidak meresahkan serta bebas dari hoax, sehingga masyarakat tidak panik.
Selain itu, perlu dipahami bahwa dalam mengakses informasi yang beredar di medsos atau pun jagad maya, perlu memahami arah yang baik dan jalan yang lurus,. Oleh karenanya, perlu adanya counter narrative yang berdasarkan nilai kejujuran dan kebenaran. Dalam melakukan hal ini kita bisa merujuk sebagaimana yang pernah diinisiasi Buya Ahmad Syafi’i Maarif yang didasari dengan tiga hal, yakni berpijak pada konsep negara berkeadilan, mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, serta menolak dengan keras politik identitas.
Pandangan Ahmad Syafii Maarif ini sangat relevan untuk kondisi saat ini di tengah-tengah wabah pandemik Covid-19, sehingga perlu dikembangkan sayapnya di ruang-ruang virtual dan media sosial guna menangkal hoax. Dengan model kontekstualisasi ajaran Islam menuju kepada konsepsi riil (kontekstual) memecahkan problematika umat seperti hoax. Sesegera mungkin hoax Covid-19 dapat kita tumpas sampai ke akar-akarnya. Pun demikian masyarakat digital tidak mudah panik karena menyerap informasi yang benar dengan sumber yang kredibel, sehingga tentu dapat berpengaruh dan mendukung warga masyarakat dalam menghadapi pandemik Covid-19.
Meredam Hoax dengan Digital Forensik
Di tengah wabah pandemi Covid-19 ini, konten hoax sangat rentan dijadikan sebagai sarana agar konten viral serta meresahkan netizen. Tentunya ini sangat berbahaya serta dapat membuat panik masyarakat. Salah satu pendekatan yang selaras dengan perkembangan TIK untuk memberangus berbagai kejahatan di dunia maya termasuk meredam konten-konten hoax ialah dengan teknik digital forensik.
Teknik digital forensik digunakan untuk tujuan hukum, bersifat tidak memihak yang merupakan bukti ilmiah untuk digunakan dalam kepentingan peradilan serta penyelidikan. Meiyanti dan Ismaniah (2015) menjelaskan bahwa digital forensik merupakan salah satu cabang ilmu forensik yang berkaitan dengan bukti legal yang masih terdapat pada sebuah atau lebih komputer pada media penyimpanan digital lainnya sebagai bukti-bukti digital yang digunakan sebagai kejahatan di dunia maya.
Dalam menerapkan digital forensik tentu membutuhkan pakar digital forensik. Seorang pakar digital forensik harus benar-benar melatih dan berpengalaman dalam menggunakan cara untuk mengumpulkan semua data-data yang diperlukan sehingga bisa dijadikan bukti legal, sebagaimana telah diatur dalam UU-ITE. Selain itu, diperlukan juga peralatan investigasi dan aplikasi-aplikasi yang dapat digunakan di dunia sekuriti maya serta dapat digunakan untuk digital forensik pada saat ini dan mendatang.
Ada beberapa peralatan investigasi yang digunakan dalam digital forensik dewasa ini (Dezfoli, 2013) yaitu, Pertama, Digital Media Exploitation Kit (MEK) yaitu mengambil data dari hard drive PC sehingga dapat diketahui siapa yang telah menggunakan komputer yang tidak sesuai dengan otoritasnya. Kedua, pencarian kata kunci, hal ini sering terjadi dan dapat menimbulkan bahaya dalam kesalahan menganalisa kata kunci yang dilakukan dalam berbagai bahasa yang dapat digunakan dalam komputer yang menggunakan Unicode sebagai standard encoding yang meliputi 16 bahasa dunia yang terdiri dari 12 bahasa Eropa, beberapa bahasa Timur Tengah dan Asia yang dipelopori oleh Rosette Core Library for Unicode.
Ketiga, perluasan format penyimpanan data atau sering disebut dengan Advanced Forensic Format (AFF) dimana dapat dilakukan tindak kejahatan dengan menyembunyikan atau menghapus data yang terdapat di dalam tempat penyimpanan data. Dalam cloud computing system investigasi forensik menjadi lebih kompleks lagi karena menyangkut otoritas dengan pemeriksaan enkripsi data sebelum dan sesudah data dihantarkan ke jaringan publik.
Harapannya dengan berbagai upaya tersebut dan ditunjang peralatan investigasi serta didukung masyarakat digital yang melek literasi digital mampu meredam konten hoax di tengah pandemi Covid-19 ini.
Literasi digital penting bagi masyarakat dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproteksi diri dari informasi yang mengundang keresahan bahkan perpecahan masyarakat.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia mampu menjadi generasi digital native yang cerdas dalam mengakses informasi. Tidak asal share informasi yang belum tentu valid kebenarannya. Masyarakat harus bisa menjadi kontrol dan filter informasi yang beredar untuk meredam berbagai konten-konten hoax. Semua itu perlu kita persiapkan matang, agar kita siap menghadapi jika normal baru diterapkan.
Artikel Lainnya
-
135502/08/2020
-
363502/03/2020
-
116231/08/2020
-
Perokok Anak: Titik Kritis Menurunkan Jumlah Perokok di Indonesia
139624/01/2021 -
Pertambahan Penduduk dan Kerusakan Lingkungan
479715/02/2021 -
Modelling dan Marketing Social: Strategi Mengubah Perilaku Menyampah
174213/07/2020