Pamuk: Semua Orang Benar Sebagian

Kurang-lebih seminggu sudah saya mengalami kekusutan pikiran, nyaris membuat saya tidak mampu menulis se-gembira dan se-serius sebagaimana saya biasanya geluti. Entah mengapa, kondisi ini tiba-tiba saja terasa tanpa kejelasan sebab yang mudah dilacak. Bisa dibilang hadirnya bak hantu; tanpa aba-aba dan sangat mengganggu kekhusyukan ibadah.
Akhirnya, kemarin siang, dengan modal rupiah tak seberapa, jika diestimasikan jumlahnya untuk makan tiga hari saja, saya pikir, hampir tidak cukup bila ditambahkan dengan biaya rokok yang kian hari semakin berat akibat permintaan lebih banyak dari ketersediaanya. Meski pun begitu, saya tetap paksakan diri untuk melangkah berkunjung ke Warung Buku Dialektika demi membeli beberapa buku sebagai obat atau penangkal setan pembawa kekusutan agar tak gampang mampir di dalam peribadatan pikiran.
Setiba di sana, saya mengusap dada, meratapi payahnya isi saku, setelah sepasang mata saya bergerak melihat ke sekeliling ruangan buku favorit mahasiswa juga para akademisi di Makassar yang satu ini ternyata tidak banyak mengalami perubahan, bisa dikatakan masih sama seperti dulu: senantiasa menyediakan buku-buku yang terkadang dayanya bisa berlipat-lipat kali menyita rasa ingin tahu orang-orang kemudian tergerak membelinya, begitu pun demikian yang saya alami setiap kali berkunjung langsung ke sana atau sekadar menengok di story instagram-nya.
Banyak buku yang ingin saya beli di toko buku tersebut. Tetapi, kali ini saya hanya datang dengan modal seadanya—saya hanya mampu membeli satu buah buku, itu pun melalui pertimbangan harga secara matang agar sisanya dapat saya gunakan untuk makan sekali-dua kali dalam sehari agar tidak mati mengenaskan di negeri orang. "Biarpun mati tak apa, asal hati senang," kata seorang kawan yang saya suruh kemarin temani saya ke sana.
Dalam hidup, kematian kedudukannya adalah barang pasti: apa pun dan siapa pun yang bernyawa niscaya menjumpainya, yakni kematian. Tapi menurut saya, mati di negeri orang—jauh dari orang tua, akibat kelaparan bukanlah parodi melainkan tragedi sadis. Bila manusia bisa menjalani hidupnya selaras dengan pilihan-pilihanya, semestinya kita tidak usah bersusah payah memilih mengorbankan selera atau hal-hal yang kita gemari, membaca buku, misalnya. Andai kata tidak bisa, bersyukur adalah kunci.
Di lain waktu saya berniat membeli buku "The Art of The Good Life: Filosofi Kehidupan Klasik untuk Hidup Abad ke-21" karangan Rolf Dobelli, penulis tampan kebangsaan Swiss. Kalau buku yang tadi siang saya beli judulnya "The Red-Haired Woman", karangan Orhan Pamuk. Saya tidak tahu siapa itu Orhan Pamuk, namanya pun baru saya dengar. Selera saya berspekulatif seperti apa dirinya belum ada. Alasan saya membeli buku adalah bukan karena saya suka, kendatipun sinopsisnya menurut saya cukup memikat:
"The Red-Haired Women membawa kita menyusuri pencarian Pamuk terhadap bagaimana sastra menjadi dasar sebuah peradaban. Lewat perjumpaan mitos besar Oedipus Rex dari barat serta kisah Rostam dan Sohrab dari timur, Pamuk mencoba mengulas hubungan antara ayah dan anak, juga negara dan kebebasan individu."
Sekali lagi, saya memilih buku ini di antara sekian banyak buku bagus yang ada di sana untuk dibawa pulang menemani keseharian saya bukan lantaran saya menyukainya. Jujur saja, selain harganya yang agak bersahabat dengan kondisi finansial saya saat ini, saya hanya terdorong oleh rasa keingintahuan saya tentang bagaimana penulisnya meramu diksi hingga mengargumentasikannya. Hanya itu saja alasannya, tidak lebih, malah kurang, ya, kurang, kurang isi kantong.
Saya penasaran siapa sebenarnya Orhan Pamuk; seperti apa biografinya, bagaimana gayanya bernarasi sehingga membuat dirinya disebut-sebut sebagai seorang sastrawan post modern terkemuka di abad ini. Saya benar-benar penasaran setangguh apa jiwa laki-laki ini menyusuri jagat kehidupan ini sampai ia tiba pada titik terpuncak dalam dunia kesusastraan modern.
Pamuk sendiri telah banyak menerima penghargaan di dalam negeri maupun internasional. Pada tahun 2003 novelnya yang berjudul, "My Name is Red" memenangi IMPAC Dublin Literary Award. Puncaknya, saya pikir, adalah pada tahun 2006 ia dianugerahi Nobel untuk bidang kesusastraan. Karya-karyanya kini telah diterjemahkan ke dalam 60 bahasa dan menyebar dari Istanbul alias Turki ke berbagai penjuru di dunia, termasuk di Indonesia.
Mula-mulanya saya agak cemas, takut buku yang diterbitkan oleh Bertang Pustaka pada tahun 2018 dengan ketebalan 341 halaman ini mengecewakan saya. Saya kemudian berusaha mengetahui biografi penulisnya melalui internet, tak disangka semakin membuat saya merasa terdorong untuk membeli ini. Kecemasan saya pun seketika lenyap dan berhap buku ini memberikan banyak hal baik kepada saya.
Dan rupanya, segera setelah membacanya, saya sepakat bahwa Orhan Pamuk layak menerima segala sanjungan juga penghargaan itu. Ia hebat dalam berbahasa, aksaranya penuh daya pikat, epik, kaya esensi, dan terkadang mudah membuat para pembacanya merasa sedan sendu. Di halaman 84 ia menyindir kita melalui seorang anak remaja bernama Cem Celik:
"Aku bisa menjadi diriku sendiri sepenuhnya ketika tidak ada orang yang melihat. Aku baru menemukan kebenaran ini. Ketika tidak ada yang mengawasi kita, sisi pribadi lain yang kita sembunyikan akan keluar dan melakukan sesukanya. Namun, ketika kita mempunyai ayah yang cukup dekat untuk mengawasi, sisi kedua itu akan tetap terkubur."
Di buku ini, Pamuk menunjukkan tentang kemampuan manusia yang pandai menyembunyikan esensinya melalui perilaku dan gagasan beradab. Cem Celik, remaja di dalam novel ini, selalu senang setiap kali perlakuannya bisa membuat orang lain senang terhadap dirinya, tapi di lain di waktu bersamaan Cem menemukan ketidak-jujuran yang ia berikan pada dirinya sendiri. Cem sama dengan kita—yang sangat membenci kebohongan dan senang ketika bisa membuat orang lain merasa senang.
Buku ini juga sekilas bercerita tentang Yusuf dan saudara-saudaranya, di mana Yakub, ayah mereka, lebih mengistimewakan Yusuf dari semua anak laki-lakinya yang lain sehingga anak-anaknya yang cemburu itu mengakali Yusuf dan melemparkannya ke dalam sumur gelap. Pamuk memakai kisah ini untuk mengatakan bahwa ayah haruslah adil—ayah yang tidak adil akan membutakan anaknya sendiri.
Malam ini, saya menemukan diri saya berada dalam semesta keberuntungan karena telah membeli buku ini. Di lain sisi, di waktu yang sama pula, saya juga menemukan diri saya tergeletak diguncang kesesalan—saya menyesal baru sekarang mengenal Pamuk, saat di mana usia saya sebentar lagi akan memasuki fase kesibukan luar biasa.
Apa kondisi semacam ini yang membuat Fiersa Besari tergerak menciptakan lagu yang berjudul "Waktu yang Salah"? Lagu ini liriknya bagus, sedan sendu, melankolis, saya menyukainya begitu pun dengan pemuda-pemudi lain di luar sana. "Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah."
Terakhir dan paling terpenting, seperti kata pengagum sastra post modern, tulisan Orhan Pamuk tidak pernah membuat pembacanya kecewa dan merasa paling benar di dunia. "Saya menulis sebuah dunia di mana semua orang benar sebagian," tutur Pamuk.
Artikel Lainnya
-
134428/06/2020
-
97705/02/2023
-
56910/05/2024
-
Kode Merah Krisis Perubahan Iklim
118419/08/2021 -
Impunitas: Saat Kasus Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Usai
203214/08/2024 -
26 Tahun Reformasi, Pemberantasan Korupsi, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia
187522/05/2024